BAB 6
"Laper ga?" dia bertanya.
Aku menggelengkan kepalaku, "Ga terlalu. Seharusnya sih laper tapi ga pingin makan. Kopi aja cukup."
Setelah bikin kopi, Mira duduk kembali di ujung sofa sambil menyeruput cangkirnya, menatapku. Aku masih terpesona oleh gambar erotisnya dan bertanya apa dia punya yang lain.
Dia mengangguk, "Ya, beberapa."
"Semua cewe?" Aku bertanya.
"Lebih baik gambar apa yang kita sudah hafal kan?" dia tertawa. "Aku ga punya banyak kenalan cowo."
"Tapi kamu kan bisa... cari di internet atau... membayangkan gitu?"
"Aku lebih suka menggambar langsung pakai model. Pernah sih gambar model cowo telanjang, di kampus juga ada mata kuliahnya, tetapi susah nyari model cowo, karena kalau mereka sampai ereksi, mereka bakal dipecat. Jadi ya, sejauh ini cuma cewe. Meskipun aku tahu lebih banyak pembeli yang nyari gambar cowo."
"Masa sih?"
"Oh banyak, pembeli yang gay lebih banyak malah dibanding yang normal. Dan harganya juga lebih mahal. Tapi aku senang dengan apa yang kupunya sekarang. Kecuali ..." dia berhenti dan memalingkan muka.
Aku minum kopiku sebentar, lalu berkata, "Tadi malam katanya kamu mau menggambar aku. Apa maksudnya gambar kayak gitu?"
"Mungkin aku cuma kebawa suasana, karena kamu disini, terus aku ngeliat bentuk badanmu pas kamu mandi kemarin.."
"Kirain serius" kataku.
"Yah ... kalau kamu bersedia sih, aku mau aja. Tapi kamu nyaman ga? Kamu tahu kan maksudku? Kamu nanti harus telanjang terus berpose didepanku?"
Aku mengangkat bahu, "Aku ga tahu... dan ga akan tahu kalau belum dicoba kan? Itu juga kalau kamu serius."
"Oke kalau kamu yakin" Dia menatapku dari atas cangkirnya.
"Terus aku harus...?" Aku merentangkan tangan aku.
"Kamu bisa buka baju di kamar mandi terus keluar ke sini, pakai handuk dulu juga boleh. Nanti aku arahin posenya. Tapi Yo, asal kamu beneran yakin aja sih tentang ini. Aku ga mau maksa. "
Aku mengangkat bahu lagi, "Itung-itung ini sebagai pengganti ongkos sewa selama aku numpang disini." Aku bangkit dan pergi ke kamar mandi sebelum salah satu dari kami berubah pikiran. Aku melepas kausku, melepas celana jinsku dan kemudian setelah ragu-ragu sebentar lepas celana dalam. Aku menunduk dan menghela nafas lega bahwa burungku masih tenang-tenang dibawah sana. Bakal malu banget kalau belum apa-apa sudah ngaceng duluan. Ya semoga dia bisa jinak sampai selesai nanti.
Aku melilitkan salah satu handuk putih besar di pinggangku lalu keluar.
Mira sudah memindahkan tripod dan kamera lebih dekat ke sofa, dan menumpuk semua bantal di salah satu ujungnya.
Dia menatapku dan tersenyum, "Aku cuma lihat sekilas kemarin, tapi aku ga salah. Badanmu benar-benar keren, Yo. Aku ga ingat kau punya otot seperti ini sebelumnya."
"Mungkin karena beberapa bulan ini aku kerja di kontraktor, jadi kuli bangunan" kataku.
"Bisa jadi," kata Mira, "Tapi ini bagus malahan. Ototmu kelihatan alami dan gedenya ga berlebihan. "
Aku mengangkat bahu, malu atas pujian itu. "Aku mesti pose gimana nih?" Aku bertanya.
"Oke," Mira berbicara dengan nada datar, mungkin dia mencoba membuat ini terkesan normal agar aku lebih nyaman. "Lepaskan handuk dan duduk di bantal."
Aku menarik handuk dan menjatuhkannya, memperhatikan bahwa mata Mira sempat melirik kebawah dan kemudian kembali ke wajahku dengan cepat. Aku duduk menyamping setengah berbaring di sofa dan bergeser sedikit ke belakang, "Seperti ini?"
"Sedikit lebih rendah. Aku mau satu kakimu selonjor ke depan... ya, seperti itu. Sekarang, yang satunya nempel di sandaran belakang sofa jadi kakimu terpisah ... sedikit lagi, ya, seperti itu." Dia mengamati aku, matanya lebih fokus sekarang, memindai dari wajah ke kakiku lalu kembali.
"Letakkan tangan kananmu di belakang sofa ... ya, bagus ... Dan lengan satunya diatas pahamu ... bukan gitu, telapak tangannya rata, sedikit lagi... sedikit lagi ... bagus. "
Dia berdiri sejenak mengamati aku, lalu berlutut dan menyetel kamera. Saat dia berdiri lagi, dia memegang remote control kamera dan menekan dua kali.
"Buat jaga-jaga kalau aku bikin salah pas ngegambar, jadi aku foto. Kalau kamu pegel dan butuh break gerak-gerak aja, nanti bisa lihat pose sebelumnya dari hasil foto juga.”
"Emang butuh berapa lama ini?" Aku bertanya.
"Biasanya cuma sekitar sejam. Aku masih akan tambah-tambahin lagi setelah itu, tetapi buat sketsa awal ga akan terlalu lama. Sekarang, santai saja."
Mira mengambil buku sketsa lalu duduk bersila di lantai. Dia melihat ke arahku, menarik garis di bukunya, melihat ke atas lagi berulang-ulang.
Setelah sepuluh menit dia makin tenggelam dalam pekerjaannya, matanya terus-menerus melesat ke arahku dan kemudian kembali ke bawah.
Kira-kira lima belas menit kemudian aku mulai ga fokus. Aku mulai membayangkan betapa senangnya kalau aku diterima di kampus ini. Aku bisa ketemu Mira tiap hari, bisa ngeliatin wajahnya yang cantik, kulitnya yang mulus, pinggangnya yang ramping, dadanya yang bulat. Lalu tanpa sadar aku mulai melirik ke arah Mira. Kali ini dia ga sadar aku menatapnya. Dia masih duduk dengan kaki bersila, pahanya yang ramping terbungkus celana jins biru. Dia memakai kaus berleher lebar yang sedikit turun saat dia menunduk, aku bisa melihat belahan dadanya yang dalam dan tali bra putih di bahunya.
Saat itulah aku sadar penisku mulai mengeliat dan membesar.
Mira terus menggambar untuk sementara waktu, lalu saat dia melihat ke atas lagi, pensilnya berhenti bergerak dan dia cuma diam menatap penisku.
Shit.