BAB 5
Sofa itu cukup besar untuk menampung kami bertiga. Aku duduk di satu ujung, Mira dan Febi meringkuk lain jauh dariku saling berpelukan. Mereka minum cukup banyak tadi dan sepertinya mabuk.
Aku menyandarkan kepalaku di bantal dan memperhatikan mereka. Lengan mereka melingkari bahu satu sama lain dan mata mereka saling memandang. Febi meletakkan tangannya di pipi Mira dan menarik wajahnya kearahnya.
Aku cuma bisa memandang saat mereka mulai berciuman dan lama kelamaan ciumannya semakin panas. Aku yang juga sedikit terpengaruh alkohol terpesona dengan adegan didepanku. Mulut mereka terbuka dan aku melihat lidah mereka saling membelit satu sama lain.
Tiba-tiba Mira berhenti lalu duduk, ingat aku masih ada di sana. Dia tampak bingung, sama sekali lupa tentang aku. Febi mengulurkan tangan ke wajahnya lagi, tetapi Mira menepisnya.
"Kita seharusnya ga godain Yohan yang malang, ntar dia kepingin lho" katanya
Febi berbalik untuk menatapku. Aku melihat ada kancing yang terlepas di blusnya dan gerakan mengeser badan membuat kainnya tertarik makin lebar. Putingnya terlihat samar-samar menembus bahan tipis bajunya yang sepertinya basah karena keringat.
"Kita bisa kasih live show buat dia," kata Febi.
"Ga ah," kata Mira, melirik ke arahku dan mengangkat bahu. "Maaf Yo, Febi tadi kebawa nafsu."
"Enak aja, Lu juga udah nafsu kan," kata Febi. "Pindah ke kamar aja yuk, Mir."
Mira menatapku lagi dan aku mengangguk, "Santai, Mir. Aku tidur di sini aja, aku sudah bilang ga mau menghalangi."
Seandainya ga mabuk, Mira pasti akan membujuk Febi untuk pulang, tetapi karena dia mabuk, dan terlanjur nafsu, jadi dia cuma mengangguk dan menarik tangan Febi ke kamar tidur.
Aku menunggu sebentar lalu bangkit untuk kencing, mematikan lampu, membuka kaso dan celana jinsku lalu berbaring di sofa hanya memakai celana pendek, menarik selimut menutupi badanku. Masih terbayang adegan panas yang baru saja kulihat tadi. Aku merasa penisku mulai mengeliat di dalam celana.
Aku tentu ga mau melakukan yang aneh-aneh karena aku sedang numpang di tempat sepupuku sendiri. Aku menghela nafas panjang untuk menangkan diri dan memilih untuk tidur. Aku hampir berhasil saat aku mendengar rintihan dari arah pintu kamar.
"Acchh... yaaa.. shhh.. lagi disitu.. Yesss..!"
Terdengar gumaman, lalu sunyi selama lima menit. Tapi ga lama suara-suara kecil mulai terdengar keluar lagi. Derakan springbed, decak bibir saat berciuman, erangan yang lebih keras. Aku berguling dari satu sisi ke sisi yang lain dan menarik bantal menutupi telingaku mencoba memblokir suara masuk ke telinggaku.
Setelah beberapa lama semuanya jadi sunyi. Aku mulai tertidur lagi sampai cahaya menerpa mataku saat pintu kamar terbuka. Aku mengintip ke seberang saat Febi keluar telanjang dari dalam kamar, untuk sesaat tubuhnya terlihat jelas olehku.
Payudaranya sangat besar, setidaknya 36D, pinggulnya lebar dan bulu kemaluannya dicukur bersih. Dia berjingkat menuju ke kamar mandi dan masuk ke dalam. Aku mendengar dia buang air kecil dan kemudian menyiram toilet. Dia berjingkat-jingkat kembali dan aku melihat pantatnya yang bulat terkena sinar lampu saat dia kembali, dan mendengar dia berteriak, "Goodnight Yo," dan terkikik.
Aku baru bisa tidur setelah jam dua pagi, dan tidur sampai jam sembilan Sabtu pagi saat Febi keluar dari kamar dan meninggalkan apartemen Mira. Langit tampak cerah dan sinar matahari menyinari tirai jendela. Aku bangkit, hanya memakai celana pendek dan berjalan-jalan di ruang tamu kecil sambil melihat koleksi buku-buku tentang Seni dan tumpukan map yang berisi gambar-gambar hitam putih yang sepertinya dibuat oleh Mira. Mira membuat suara di kamarnya dan kemudian keluar sambil mengikat jubahnya.
"Pagi bro," katanya, "Bentar, aku pipis dulu." Dia berlari ke kamar mandi dan menutup pintu.
Aku terus menelusuri dan mulai mencari-cari di antara tumpukan Map. Aku memutuskan untuk memulai dari yang paling bawah karena aku berasumsi itu yang paling awal dibuat, jadi aku bisa lihat perkembangan Mira. Bahkan yang paling awal ini jauh lebih bagus dibanding apa yang sudah aku buat, dan aku mulai berpikir apa aku benar-benar punya bakat setidaknya seperti Mira. Aku selesai melihat halaman terakhir dan lalu menarik map lain yang terselip di bawah tumpukan kertas.
"Jangan!" Mira berkata dari belakangku, "itu koleksi pribadi."
Aku berhenti dengan tangan masih memegang map itu, "Maaf, aku ga bermaksud bongkar-bongkar."
"Ga apa-apa," katanya, "Cuma yang itu beda dari yang lain."
Kata-katanya malah bikin aku penasaran, dan sebelum Mira bisa mengambil map itu, aku membukanya.
Aku sedang melihat gambar seorang wanita muda, telanjang cuma memakai stoking putih, berbaring telentang di sofa. Tangannya menangkup bukit kemaluannya dan sebuah jari didorong masuk ke dalam vaginanya.
"Um, maaf, Mir," kataku, menutup map. "Aku ga ngira ..."
"Ah, sial, udah terlanjur ketahuan juga!" dia mengumam lalu melanjutkan. "Begitulah caraku membiayai kuliahku."
"Apa? Dengan jadi model-" Aku terkejut.
"Bukan gitu, bego!" dia berkata, "Dengan menggambar seperti itu. Aku dapat menghasilkan Rp 100.000,- untuk satu sketsa seperti itu, beberapa lebih mahal malahan. Aku pernah jual satu seharga Rp 500.000,-."
"Wow. Jadi, sudah berapa banyak gambar yang pernah kamu buat?" Kekagetanku sekarang berubah jadi kagum.
"Ratusan," katanya. "Aku menjual hasil gambarnya lewat internet."
"Emang ada yang beli?"
"Banyak orang yang menganggap gambar lukisan lebih erotis daripada foto. Yang jelas lebih erotis daripada pornografi," kata Miranda.
"Tapi.. tapi maksudku, ini juga pornografi, kan?"
"Ga juga. Atau seenggaknya, aku ga berpikir gitu. Gambar, lukisan, bahkan yang cuma sketsa, lebih misterius, mereka lebih bisa membuat orang berimajinasi."
Dia merebut map dari tanganku dan menutupnya. "kalau kamu ga masalah dengan itu, aku bisa tunjukin gambar yang lain. Tapi aku pikirin dulu, oke?"
"Oke," aku mengangguk.
"Ayo," katanya, "kita beli sarapan trus kita jalan-jalan keliling."
Saat kami berjalan mencari sarapan, aku tersadar sesuatu dan berkata, "Mir – Kenapa kamu butuh uang buat kuliah? Ayahmu orang kaya, kan?"
Mulutnya sedikit merengut dan dia berkata, "Aku ga mau apa pun dari keparat itu!"
"Mir?" Aku tahu dia ga akur sama ayahnya, tetapi kemarahannya ini cukup mengagetkan.
Dia menggelengkan kepalanya dan memaksa senyum. "Lupakan aja, Yo. Aku bisa hidup sendiri, aku ga butuh apa pun darinya."
Kami kembali ke apartemen menjelang sore, wajah kami merah padam karena kepanasan, dan Mira menyalakan AC dan membuat kopi.