Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

Dua jam kemudian aku melihat Mira menunggu di depan gerbang dan saat dia melihat aku, dia melompat-lompat, persis seperti anak kecil. "Gimana?"

"Gimana apanya?"

"Gimana hasilnya? Diterima ga?"

"Kayaknya sih bagus," kataku. "Mas Ricky bilang akan dikabari dalam beberapa minggu."

"Emang gitu sih prosesnya," katanya, "Tapi gimana menurutmu sendiri?"

"Aku cocok sih. Aku suka tempatnya. Aku suka gambaran kuliahnya."

"Berapa lama tadi didalam?" dia bertanya.

"Ini baru selesai langsung kesini," kataku. "Sekitar sepuluh menit lalu."

Mira melompat-lompat lagi, lalu memelukku erat-erat. "Ya ampun, Yo, itu pertanda bagus! Ga ada yang pernah diinterview selama itu kecuali mereka bakal diterima. Ayo, malam ini kita rayain."

"Tapi," kataku, "apa ga mending nunggu pengumuman hasilnya dulu?."

"Dasar," kata Mira, "Pasti diterima lah. Ayo."

Kami naik bus kembali ke apartemennya dan Mira membuatkan makan siang. Aku harus menceritakan ulang detail interviewku tadi ke Mira. Saat kami selesai tanpa sadar sudah jam 3 sore. "Wow, cepet banget udah jam segini. Yo, aku mau mandi sebelum kita pergi. Kamu mau mandi lagi ga?"

"Aku tadi kan sudah mandi."

Mira mencondongkan tubuh ke arahku dan mengendus-endus, mengernyitkan hidungnya, "Bau keringat, bro. Ntar mandi lagi setelahku."

Aku mengangkat lenganku dan mengendus, "Ya, emang rada bau dikit sih.”

Mira melompat ke kamarnya dan beberapa menit kemudian keluar lagi memakai jubah satin putih dengan tali di pinggang menuju ke kamar mandi.

Mira mandi cukup lama, tetapi saat dia keluar dia keliatan luar biasa cantik. Masih cuma memakai jubah satin yang tadi kulitnya terlihat putih, dan bercahaya.

"Giliranmu," katanya.

Aku bangkit dan masuk ke kamar mandi yang penuh aroma harum. Aku baru mandi selama lima menit ketika aku mendengar pintu terbuka.

"Permisi," Mira berteriak, "Janji ga ngintip, aku lupa lipstikku. Ya ampun! maaf - aku melihat."

Aku berdiri tegang tidak berani bergerak di kamar mandi, menghadap ke dinding.

Lalu Mira bilang, "Ya ampun Yo, badanmu bagus banget."

"Ya, memang," kataku ke ubin.

"Serius, aku ga bohong. Hampir bikin aku suka sama cowo."

"Cuma hampir?" Aku bercanda.

Dia tertawa, "Iya, hampir aja," katanya, dan aku mendengar pintu tertutup.

Aku menghela napas lega, mulai membilas diri dan mendengar pintu terbuka lagi.

"Yo, besok, aku mau minta tolong. Tolong banget."

"Boleh, apapun yang kamu mau," kataku, berbalik untuk menyembunyikan bagian depanku.

"Aku ingin menggambarmu," kata Mira.

"Oke."

Pintunya tertutup lagi. Sekali lagi aku menghela napas, tepat saat pintu terbuka untuk ketiga kalinya.

"Telanjang, tentu saja," kata Mira, dan pintu tertutup dan ga terbuka lagi.

Aku mematikan pancuran dan melangkah keluar, dengan handuk kering. Aku melihat ke bawah ke penisku yang sudah mengeras dari tadi. Sial, kupikir, Mira mungkin ga nafsu sama cowo, tapi kan bukan berarti cowo ga nafsu sama dia. Aku melanjutkan berpakaian, bercukur, dan keluar dari kamar mandi.

Mira duduk di sofa. Dia sudah pakai gaun biru tua panjang dengan motif putih kecil di atasnya. Gaun itu model kancing di depan dan potongannya cukup rendah yang menunjukkan belahan dadanya, panjang sampai antara lutut dan pergelangan kaki. Rambutnya diikat keatas sehingga lehernya yang jenjang terbuka. Bibirnya pucat berwarna natural, dan dia menggunakan eyeliner.

"Wow, Mir, kamu kelihatan cantik," kataku.

"Terima kasih. Yuk kita berangkat."

"Eh, ya, yuk." Aku memakai sepatuku dan melangkah keluar. Mira menyusupkan tangannya di sikuku dan mengandengku keluar. Kami berjalan kaki dari apartemen menuju ke sebuah komplek ruko yang tidak terlalu jauh dari apartemen Mira. Kami berjalan ke ruko paling ujung lalu turun melalui tangga ke semacam ruang bawah tanah yang pintunya dijaga seorang berbadan besar. Mira tampaknya sudah dikenal dan disapa oleh penjaga itu.

"Boleh bawa temen baru ga, Mas?"

"Boleh aja. Tapi dia sudah tahu kan disini tempat macam apa?"

"Tahu kok," kata Mira acuh tak acuh, menandatangani buku tamu sebelum membawaku ke sebuah ruangan besar, diterangi lampu redup dengan panggung kecil di satu ujung, dilengkapi dengan drum dan gitar, tetapi ga ada pemusiknya.

"Kamu biasa nongkrong disini?" Aku bertanya.

"Biasanya," kata Mira. "Kamu gapapa kan, Yo?"

"Ini klub gay, kan?" Aku bertanya.

Mira mengangguk.

"Termasuk cowo?"

Dia tersenyum. "Beberapa, tapi kamu aman kok, kebanyakan aku sudah kenal dan nanti aku kasih tau ke mereka kalau kamu cowo normal."

"Bagus," kataku, dan baru sadar kalau suaraku terdengar tegang.

"Mira!" Seorang gadis muda menjerit dan mendatangi kami, meraih bahu Mira dan tanpa basa-basi mencium bibir Mira.

Mira mengangguk. "Iya. Yo, kenalin ini Febi, Febi ini Yohan."

Aku mengulurkan tangan, tetapi Febi meraih pundakku lalu karena dia jauh lebih pendek, menarik leherku menunduk agar bisa menciumku di mulut.

Wow, batinku. Lipstiknya terasa seperti ceri, dan ini pengalaman pertamaku ciuman di bibir.

"Hai, Yo. Udah lama gue pingin ketemu elo sejak Mira cerita kalau elo ada disini. Ayo, kita beli minum."

"Eh," kataku, "Emang boleh?."

"Oh, boleh lah, siapa yang ngelarang," kata Febi.

Aku memandangi Mira dan dia hanya mengangkat bahu dan tersenyum. Febi mengandeng kedua tangan kami dan menarik kami ke meja bar untuk memesan minum. Bartendernya seorang pria berusia 40 tahunan berambut pink dan memakai singlet jaring-jaring hitam ketat.

Febi pesan koktail buat dia dan Mira, serta bir untukku. Aku berdiri memandang sekeliling ruangan, berusaha ga merhatiin bartender yang dari tadi masih melihat ke arahku.

Untungnya, isi ruangan itu sembilan puluh persen cewe. Aku ga masalah dengan orientasi seksual orang lain, tetapi kan serem juga kalau seruangan sama banyak cowo gay yang agresif.

Untungnya, isi ruangan itu sembilan puluh persen cewe. Aku ga masalah dengan orientasi seksual orang lain, tetapi kan serem juga kalau seruangan sama banyak cowo gay yang agresif.

Aku cowo normal. Kalau lihat dua cewe yang ciuman atau malah grepe-grepe satu sama lain aku juga nafsu. Tapi kalau dua cowo bermesraan.. eh.. mending jangan dibayangin lah. Tapi disini aku cuma ngikut Mira dan aku ga mau dia kapok sudah ngajak aku. Ini adalah kotanya, tempat nongkrongnya, aku akan menyesuaikan diri asal ga ada sesuatu yang aneh-aneh.

Kami menemukan meja yang masih kosong dan duduk disana.

"Mira," kata Febi, "Lo bilang dia ganteng, tapi wow!"

Aku merasakan wajah memerah. Masa sih Mira cerita ke temen-temennya kalau aku ganteng?

"Dan ya ampun, imut banget sih!" Febi menjerit karena melihat wajahku memerah. "Jadi pingin diremes terus dicaplok deh?" Mereka berdua ketawa.

Febi memaksaku untuk cerita tentang tempat asalku, sekolahku, cita-citaku, dan aku pelan-pelan sudah mulai nyaman ngobrol dengannya. Dia ceria dan rada konyol, tetapi kelihatan kalau dia orang yang tulus ke orang lain.

Kebalikan dari Mira yang tinggi dan langsing, Febi pendek dan tubuhnya terlihat berisi. Rambutnya diwarna pirang dan sepasang payudara yang besar dibungkus oleh baju yang sangat ketat sehingga kelihatan dadanya hampir melompat keluar. Yang lebih mengagetkan, belakangan aku tahu ternyata dia dan Mira pacaran.

Aku mulai rileks, menghabiskan sebotol bir dan merasa cukup pede untuk pesan satu botol lagi dari bar, bahkan mengobrol dengan bartender. Ini memang bukan pertama kali aku mengkonsumsi alkohol, tapi ga terlalu sering juga sebelumnya.

Saat aku kembali ke meja, gantian aku memaksa Febi untuk bercerita tentang dia. Mira tersenyum kepadaku di seberang meja, sepertinya senang karena aku bisa akrab dengan Febi.

Beberapa saat sebelum tengah malam, kami keluar dari klub dan pulang ke apartment Mira, Febi juga ikut bersama kami.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel