Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3

Mira menarik napas dalam-dalam dan menatapku. "Bukan gitu, Yo. Aku cuma ga mau kamu mengira..." Dia ragu-ragu, menunggu lama, lalu berkata, "Kamu tahu aku lesbian, kan?"

"hah.. eh.. gimana-gimana?" kataku.

"Kupikir kamu tahu" katanya.

Aku menggelengkan kepala antara kaget dan ga percaya.

"Aku mau ajak kamu ketemu temenku besok, tapi kamu mungkin ga cocok sama tempat kami janjian. Kamu cowok normal, kan?"

Aku mengangguk.

"Yo, mukamu merah!" Mira menyeringai.

"Yah ... cuma ... kita belum pernah ngobrol soal ini sebelumnya, kan? Kaget aja tadi."

Mira mengulurkan tangan dan meremas tanganku lagi. "Aku sayang kamu, Yo; bukan ke arah situ sih. Tetapi kalau suatu saat aku tiba-tiba bisa suka cowo, kamu yang pertama akan aku hubungi, oke?"

Aku ga bisa bilang apa-apa, dan Mira tertawa ngakak, "Kalau mukamu lebih merah lagi, pasti bakal meledak tuh!"

Mira berdiri dan mulai membersihkan piring. "Ayo, bantu aku nyuci piring, abis itu kita nyantai sambil cerita-cerita lagi."

Kami duduk di ujung sofa yang besar dengan kaki kami terulur ke satu sama lain tumpang tindih. Itu cara kami duduk ketika masih anak-anak, ketika Mira masih tinggal bareng kami di Purworejo. Rasanya benar-benar nyaman, dan menenangkan.

"Sekarang," kata Mira, "aku mau melihat contoh gambar yang kamu bawa untuk besok."

“Harus ya? Aku ga yakin hasilnya bagus."

"Tapi kamu sudah bawa kan?"

"Bawa sih."

"Sini aku lihat, cuz."

Aku memutar badan dan meraih tas koperku, membungkuk di atas lengan sofa, membuka ritsletingnya dan mengeluarkan sebuah map kecil yang berisi contoh gambarku. Aku berbalik dan dengan ragu menyerahkannya ke Mira.

Dia melepas ikatannya dan membuka tiap halaman satu persatu, memiringkan kepala ke satu sisi dan mulai membolak-balik gambarku. Dia, berhenti di beberapa gambar dan butuh waktu lebih lama sebelum melanjutkan ke gambar lain. Aku duduk diam, menunggu.

Akhirnya dia menutup map itu dan mengikatnya lagi.

"Apa aku bakal diketawain di kampus?" Tanyaku. Mira menggelengkan kepalanya. "Bagus kok. Sebagian masih polos, tapi itu menunjukkan kamu kurang pengalamanmu, tetapi kelihatannya kamu punya bakat dan itu yang penting."

Dia mengangguk. "Kamu pasti bisa."

Aku tersenyum, "Semoga. Aku jadi makin pingin kuliah disini sekarang. "

Mira tersenyum, "Aku juga, Yo." Lalu dia menambahkan, "Kamu tadi bawa banyak sketsa wajah, lengan, kaki, tangan yang biasa. Tetapi ga ada satupun yang satu badan utuh. Sudah pernah menggambar hidup? Menggambar langsung model manusia di depan kelas gitu?"

"Mana ada yang kayak gitu di Purworejo?" Aku tertawa.

"Menggambar hidup itu favoritku. Aku suka menggambar orang." Kata Mira lalu terdiam sebentar,

"Kau sudah delapan belas tahun sekarang, kan? " tambahnya

Aku mengangguk,

"Besok kamu boleh ikut aku kalau kamu mau."

"Terima kasih," kataku.

Mira tertawa, "Terima kasih besok aja, setelah kamu tau kita kemana."

Kami ngobrol sampai aku mulai menguap. Mira memperhatikan dan kemudian menepuk kakiku. "Tidur sana, kamu udah cape keliatannya."

Aku mengangguk, "Aku sudah ngantuk banget" kataku.

"Ya udah kamu pake kamar mandi duluan” katanya, "aku mau ganti baju dulu dikamar."

Aku sikat gigi dan mencuci muka. Mira masih di kamarnya, tetapi sudah meletakkan bantal dan selimut di sofa, jadi aku melepas baju dan celana jinsku dan tidur cuma pakai celana pendek. Aku baru saja mulai memejamkan mata saat Mira berjalan keluar dari kamarnya ke kamar mandi. Dia sudah ganti baju dan cuma pakai tanktop putih kecil dan hotpants biru, seksi banget. Mira sadar aku ngeliatin dia dan aku langsung pura-pura lihat kearah lain.

Dia ketawa, "Ga apa-apa Yo, liatin aja kalau mau. Aku ga keberatan kok." Lalu dia menambahkan, "Aku ga pernah merasa keberatan dari dulu." Dia tahu aku suka ngeliatin dia dari jauh tiap liburan di Bali.

Aku tahu mukaku pasti sudah merah lagi.

Mira masuk ke kamar mandi dan aku mendengar gemericik air. Dia keluar lalu mematikan lampu utama, menyisakan cahaya redup dari kamarnya. Dia mendekat ke sofa dan berlutut di sampingku, membungkuk dan mencium pipiku lalu menempelkan jidatnya ke bibirku. Aku bisa mencium bau sabun di wajahnya dan sampo di rambutnya.

"Tidur nyenyak, Yo. Semoga beruntung besok pagi."

Aku bangun sebelum jam tujuh dan mencoba bergerak setenang mungkin, masuk ke kamar mandi dan mandi. Saat aku keluar, aku memakai celana kain hitam dan kemeja lengan panjang biru yang sudah disetrika oleh Ibu. Aku berdiri di kamar mandi, mengikat dasi di depan cermin ketika Mira masuk.

"Pagi. Bisa keluar bentar ga? Kebelet pipis nih"

"Oh, ok" kataku, melesat keluar melalui pintu.

Saat Mira keluar, dia menatapku. “Astaga, kamu jangan pakai itu!" Dia berkata.

Aku melihat ke bawah. "Lho, kenapa kalau pakai baju ini?"

"Disini kampus seni, Yo. Sekolah seni ga seperti tempat lain, penampilan kasual adalah bagian dari gaya hidup. Pakai lagi jeans yang kemarin. Kemejanya gapapa, tapi digulung aja lengannya dan ga usah pakai dasi."

"Kata Ibu ini biar keliatan pintar." kataku.

"Pinter ga dipakai di sini. Lagian dia ga bakal tau kamu pakai baju apa kan. Aku pingin kamu berhasil dalam wawancara ini, Yo. Percaya deh sama aku."

"Ya, kalau kamu yakin," kataku. Aku meraih celana jinsku dan kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian.

Kami berangkat ke kampus bareng, dan Mira memaksa untuk mengantar sampai ke depan ruang interview. Sampai di depan ruang 307, Mira mengintip ke dalam dari kaca di pintu lalu tersenyum dan bilang, "Yang interview kamu nanti Mas Ricky."

"Kamu kenal?"

"Dia dosenku semester lalu. Ayo, aku anterin masuk. "

"Yakin? Emang boleh?"

"Tenang aja, Mas Ricky salah satu dosen favorit disini. Dia baru lulus dari sini beberapa tahun lalu, karena itu dia akrab banget sama mahasiswa sini dan ga mau dipanggil Pak."

Mira lalu dengan singkat memperkenalkan aku sebagai adiknya.

“Apa dia sejago kamu, Mir?”

“Belum, Mas, tapi nanti dia bakal lebih jago dari aku.” Jawab Mira

Lalu Mira keluar dengan janji untuk bertemu aku dua jam lagi di luar pintu masuk utama.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel