Bab 02 - Senyuman Penghibur
“Loh, Kai? Kok udah di kantor jam segini?” tanyanya, langkahnya ringan saat memasuki ruanganku.
Fiona adalah salah satu manajer di perusahaan kami, menjabat sebagai Sales Development Manager. Wanita berdarah campuran Arab, Cina, dan Betawi ini memang selalu menarik perhatian. Wajahnya cantik, dengan kulit terang, hidung mancung, dan bibir penuh yang selalu terlihat memukau meskipun tanpa banyak riasan. Tubuhnya pun sempurna, tinggi semampai dengan lekuk yang sering membuat pria di kantor mencuri pandang, meskipun mereka tahu itu risiko besar.
Fiona sudah menikah dan memiliki seorang anak. Suaminya bekerja di perusahaan swasta, dan meskipun tidak sering berbicara tentang keluarganya, dia terlihat bahagia dengan kehidupan rumah tangganya. Tapi ada sesuatu tentang Fiona—cara dia membawa dirinya, aura percaya dirinya—yang membuat semua orang di kantor, terutama para pria, terpikat.
Selain cantik dan cerdas, Fiona juga terkenal tegas, terutama dalam menjaga pergaulannya dengan kaum pria di kantor. Tidak seperti beberapa rekan perempuan lain yang suka nimbrung dalam candaan berbau dewasa, Fiona selalu menjaga jaraknya. Dia tidak suka bercanda berlebihan, apalagi jika melibatkan sentuhan fisik.
Bahkan ada satu insiden besar yang melibatkan Badrun, seorang rekan kerja yang terkenal suka bercanda jahil. Suatu hari, Badrun mencoba mencolek pantat Fiona saat mereka bercanda di pantry. Fiona langsung murka. Dia tidak hanya memarahi Badrun di depan semua orang, tetapi juga mengajukan laporan resmi ke Pak Desmond.
Akibatnya, Badrun dipanggil ke ruang direksi, dan setelah investigasi singkat, dia dimutasi ke kantor cabang di pulau lain. Sejak kejadian itu, tidak ada satu pun pria di kantor yang berani bermain-main dengan Fiona. Mereka semua tahu bahwa di balik kecantikannya, ada ketegasan yang tidak bisa diremehkan.
Aku mengamati Fiona yang kini berdiri di hadapanku sambil menyilangkan tangan, menunggu jawabanku. “Aku memang sering datang lebih awal, Fi. Kamu tahu kan, kerjaan numpuk,” jawabku sambil menyandarkan tubuh ke kursi.
Dia tersenyum kecil, mengangkat alisnya dengan nada menggoda. “Oh ya? Kerjaan numpuk atau nggak dikasih jatah sama yang dirumah?” tanyanya sambil menatapku dengan sudut matanya yang tajam, senyum liciknya tersungging di bibir.
Aku tertawa kecil, lebih karena kaget dengan caranya melontarkan kalimat itu. Fiona jarang sekali melontarkan candaan yang terdengar seperti ini, apalagi denganku.
“Kenapa? Kepo ya?” balasku santai, mencoba menyembunyikan rasa canggung yang muncul tiba-tiba.
Dia hanya mengedikkan bahu, senyumnya masih tersungging dengan nada menggoda. “Yah, beda aja. Jam kerja kamu sekarang sama waktu awal-awal nikah, kan kelihatan berubah. Dulu suka telat, sekarang malah datang kepagian,” katanya sambil melangkah mendekat.
Fiona menyandarkan tangannya di tepi mejaku, posturnya terlihat santai, tapi ada sesuatu dalam gerakannya yang terasa disengaja. Saat dia sedikit membungkuk, aku tak bisa menghindari pandangan sekilas ke arah belahan dadanya yang terlihat jelas di balik blus putihnya.
“Kenapa? Jadi penasaran sama jadwal aku sekarang?” balasku, mencoba mempertahankan nada bercanda.
Dia menatapku dengan sudut matanya, tatapan yang terasa menusuk dan, entah bagaimana, juga menelanjangi. “Yah, namanya juga observasi, Kai. Aku kan cuma perhatiin,” katanya ringan sambil merapikan rambutnya ke belakang.
Aku tertawa kecil, meskipun di dalam kepala pikiranku sudah mulai berputar-putar, mencoba membaca apa maksud sebenarnya dari sikap Fiona pagi ini. Fiona memang dikenal dengan caranya yang tegas dan profesional, tapi momen seperti ini—ketika dia berada terlalu dekat, dengan bahasa tubuhnya yang seolah menguji batas—membuatku berpikir bahwa ada sesuatu yang berbeda.
“Jadi, apa sebenarnya alasan kamu ke sini pagi-pagi? Nggak mungkin cuma mau perhatiin aku, kan?” tanyaku, akhirnya mencoba membawa percakapan kembali ke jalur yang lebih aman.
“Oh, iya,” jawab Fiona sambil meluruskan tubuhnya sedikit, tetapi tetap berdiri dekat meja kerjaku. “Aku mau tanya soal laporan buat presentasi nanti. Udah selesai belum? Soalnya timku lagi keteteran ngejar deadline, dan aku takut ada yang miss.”
Aku menatapnya sekilas, mencoba membaca situasinya. Fiona memang terlihat sedikit lelah, tapi seperti biasa, dia tetap menampilkan senyuman yang membuat semua orang percaya bahwa dia baik-baik saja.
“Laporanku sudah selesai dari kemarin,” jawabku sambil kembali mengetik di layar laptop.
Dia menghela napas lega, senyumnya melebar. “Kalau gitu, nanti sore kamu tolong cek laporanku gimana?” tanyanya dengan nada setengah merayu.
Aku menoleh, mendapati matanya yang penuh harapan. Aku tahu beban Fiona memang tidak ringan, apalagi sejak dia dipromosikan tiga bulan lalu menjadi Manajer Sales Development. Promosinya mengejutkan banyak orang di kantor—bukan karena dia tidak kompeten, justru dia sangat cerdas dan cekatan. Tapi beberapa orang menganggap dia masih terlalu muda untuk posisi itu. Dengan ekspektasi tinggi dari Pak Desmon, setiap langkah Fiona selalu dalam sorotan.
“Ya sudah, nanti sore kamu bawa aja mentahannya. Biar kita cek bareng-bareng,” jawabku akhirnya.
Fiona mengangguk sambil tersenyum, senyuman lega yang membuat wajahnya tampak lebih cerah. “Oke, thanks banget ya, Kai. Pokoknya kamu selalu the best buatku.” Dia mengedipkan mata dengan gaya khasnya, lalu menambahkan, “Soalnya kalau sampai ada kesalahan di presentasi besok, yang disemprot pasti aku duluan.”
Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Santai aja, Fi. Kalau kita kerjain sama-sama, harusnya nggak ada yang salah.”
Dia merapikan rambut panjangnya, menyelipkan ujungnya di belakang telinga. Gerakannya terlihat santai, tapi aku tahu dia selalu sadar dengan setiap gerak-geriknya. “Oke deh, kalau gitu aku balik ke ruangan dulu ya. Nanti sore aku mampir ke sini lagi,” katanya sambil melangkah ke arah pintu.
Saat Fiona melangkah keluar, aroma parfumnya yang lembut tertinggal di ruangan. Aku menghela napas, kembali menatap layar laptop di depanku. Fiona memang selalu menjadi pusat perhatian, bukan hanya karena penampilannya, tetapi juga karena kecerdasannya yang memancarkan rasa percaya diri.
Namun, untuk beberapa alasan, entah disengaja atau tidak, tapi aku merasa percakapan barusan lebih dari sekadar urusan pekerjaan. Fiona mungkin tidak menyadarinya, tapi setiap kali dia tersenyum atau menatapku, ada sesuatu yang bergetar di dalam diriku—sesuatu yang selama ini aku abaikan, tetapi kini mulai terasa lebih nyata.
Aku kembali bekerja, mencoba menyingkirkan pikiran tentang Fiona. Meski begitu, aku tak bisa memungkiri bahwa percakapan tadi sedikit mengalihkan pikiranku dari masalah yang lebih besar: pengkhianatan Tanika dan rencana apa yang harus kulakukan selanjutnya. Setidaknya, untuk beberapa saat, aku bisa melupakan rasa sakit itu. Tapi aku juga tahu, pertemuan dengan Fiona nanti sore mungkin akan membuka pintu ke babak baru dalam hidupku—babak yang rumit dan penuh risiko.
Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika telepon kantorku berdering. Aku mengangkatnya dengan satu tangan, masih memandangi layar komputer. Suara dari ujung telepon membuatku tertegun.
“Kai, ke ruangan saya sekarang,” suara berat Pak Desmond terdengar tegas, tanpa basa-basi.
Aku menutup telepon, menegakkan tubuh, dan menghembuskan napas panjang. Rasanya aneh, dia jarang memanggilku secara langsung seperti ini, apalagi tanpa memberi penjelasan sebelumnya. Dengan langkah yang sedikit berat, aku berjalan menuju ruangannya.
Setibanya di depan pintu, aku mengetuk pelan. Dari dalam, terdengar suaranya yang menyuruhku masuk.
Ketika aku membuka pintu, dia sudah duduk di belakang meja kerjanya yang besar, mengenakan setelan formal lengkap seperti biasa. Tapi ada yang berbeda hari ini—wajahnya terlihat lebih tegas, dan sorot matanya seolah kurang bersahabat.
“Tutup pintunya,” katanya dengan nada datar, tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang sedang dibacanya.
Aku menutup pintu dan berdiri di hadapannya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku, mencoba menjaga nada suaraku tetap netral.
Pak Desmond akhirnya mendongak, menatapku dengan ekspresi yang sulit kubaca. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangan di depan dada.
“Santai saja, Kai,” katanya, meskipun nadanya masih terdengar serius. “Papa nggak lagi mau ngomongin kerjaan.”
Aku mengerutkan dahi, bingung. “Oh? Kalau begitu, ada apa, Pa?”
Dia menatapku lekat-lekat sebelum akhirnya melanjutkan. “Tadi pagi papa mampir ke rumah. Pembantu bilang kamu sudah berangkat kerja dari pagi sekali. Ada apa? Kamu ada masalah sama Tanika? Kalian ribut?”
Pertanyaannya terasa seperti pukulan. Aku terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban yang tepat tanpa memberikan terlalu banyak informasi.