Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 01 - Malam yang Suram

Dengan gelas berisi Hennessy VSOP di tangan kanan, aku duduk di ruang tamu yang hanya diterangi oleh nyala kecil lampu bar. Cahaya remang-remang itu memantulkan bayangan aneh di dinding, membuat suasana semakin suram. Rumah kami besar, megah, tetapi malam itu terasa seperti gua kosong yang dingin. Pikiranku kacau, berkecamuk. Bayangan Tanika bersama pria itu di hotel terus berputar seperti rekaman rusak di kepala. Aku tidak tahu harus marah, kecewa, atau justru menertawakan diriku sendiri.

Setelah beberapa saat, suara mesin mobil terdengar dari luar, diikuti bunyi pintu pagar otomatis yang terbuka. Mobil Tanika akhirnya tiba di rumah. Aku meletakkan gelas di meja dan menatap pintu masuk dengan napas tertahan, menunggu langkahnya memasuki ruang tamu.

Pintu terbuka. Tanika melangkah masuk, masih mengenakan dress hitam selutut yang tampak terlalu rapi untuk sekadar hangout bersama teman-temannya. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer, dan dia tertegun sejenak saat melihatku duduk dalam kegelapan.

“Kai!” serunya, nada suaranya sedikit kaget, tapi dengan cepat dia memulihkan ekspresinya. “Kamu ngapain sih? Malam-malam begini duduk di ruang tamu, lampu dimatiin segala. Kaya hantu aja, tau!”

Aku mengamati wajahnya dalam cahaya redup. Sekilas, dia tampak sempurna seperti biasanya—rambutnya tersisir rapi, makeupnya masih utuh. Tapi aku tahu di balik semua itu ada rahasia kotor yang sedang dia sembunyikan.

“Tan,” aku mulai, suaraku terdengar lebih dingin dari yang kuharapkan. “Kamu dari mana? Udah jam segini baru pulang.”

Tanika mendengus sambil melepaskan sepatunya. “Sejak kapan kamu nanya-nanya kayak gini?” jawabnya dengan nada sedikit menyindir. Dia melangkah menuju meja bar, menuang segelas anggur merah untuk dirinya sendiri. “Udah jelas kan, Kai? Aku kalau keluar rumah ya pasti sama teman-teman. Masa kamu nggak tau sih kebiasaan aku? Ngapain juga usil nanya-nanya segala?”

Aku menegakkan punggung, menatapnya tajam. “Aku cuma nanya, Tan. Apa susahnya kasih tahu aku kamu habis dari mana?”

Dia menoleh, meletakkan gelasnya di meja, dan menatapku dengan alis terangkat. “Denger ya, Kai. Jangan mulai deh drama nggak jelas. Aku nggak suka dicurigain atau diinterogasi kayak begini.”

Aku menghela napas panjang, mencoba menahan amarah yang mendidih di dada. “Bukan maksudku interogasi. Aku cuma pengen tau, itu aja.”

Tanika mendekat, menyilangkan tangan di dadanya. “Kamu kenapa sih? Lagi stres ya? Kerjaan beres kan? Jangan sampe bikin papi marah-marah lagi kalau kamu nggak becus kerja di kantor!” katanya, suaranya tajam seperti pisau.

Aku menelan ludah, menahan diri untuk tidak meledak. Dia melangkah masuk ke kamar tanpa menunggu jawabanku, meninggalkan aroma parfum mahal yang terasa terlalu manis di udara.

Aku tetap duduk di sana, menatap pintu kamar yang kini tertutup rapat. Suara langkahnya terdengar di lantai kayu kamar, diikuti bunyi air mengalir dari kamar mandi. Aku menyesap sisa Hennessy di gelas, mencoba membungkam suara-suara di kepalaku.

Pikiranku berputar, memutar ulang semua yang kulihat di hotel tadi. Setiap tatapan, setiap sentuhan, setiap hal yang tak bisa kuhapus dari ingatan. Tanika tidak berubah sedikit pun, bahkan setelah aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa kotornya dia mengkhianatiku.

Malam itu tidurku tidak nyenyak. Setiap kali aku mencoba memejamkan mata, bayangan Tanika di hotel itu terus menghantui pikiranku. Aku memaksa diriku untuk beristirahat, tapi hanya sesekali terlelap sebelum akhirnya terbangun lagi. Ketika aku melirik ke sisi ranjang, Tanika masih tertidur pulas. Tubuhnya terbungkus selimut, wajahnya tampak damai—kontras dengan kekacauan yang kurasakan di dalam diriku.

Aku memutuskan untuk bangun lebih awal. Rasa dingin lantai marmer menyentuh kakiku saat aku berjalan ke kamar mandi, mencuci wajah, dan menatap cermin dengan pandangan kosong. Wajahku terlihat lelah, lingkar hitam di bawah mataku mulai terlihat jelas. Tidak ada gunanya memikirkan ini lebih lama. Aku harus tetap melanjutkan hidup, setidaknya di depan orang lain, aku tidak boleh terlihat rapuh.

Aku meninggalkan rumah tanpa membangunkan Tanika, langsung menuju kantor. Jalanan masih sepi, lampu-lampu jalan perlahan mulai redup digantikan oleh sinar matahari pagi yang mengintip dari balik gedung-gedung tinggi.

Tiba di kantor, suasananya masih lengang. Aku memarkir mobil di tempat biasa, melangkah masuk dengan langkah mantap melewati meja resepsionis yang kosong. Jam di dinding menunjukkan pukul 6.45—masih terlalu pagi untuk jam kantor resmi, tetapi aku sering datang lebih awal untuk mempersiapkan segalanya sebelum staf lain tiba.

Aku berjalan menuju ruanganku, sebuah kantor kecil tapi rapi dengan jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Di pintu, papan nama dengan tulisan Kaindra Wicaksana – Business Development tergantung dengan elegan. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam, meletakkan tas di meja kerja.

Posisiku sebagai Business Development Manager di perusahaan farmasi milik Pak Desmond bukanlah sesuatu yang kudapatkan begitu saja hanya karena menikahi Tanika. Sebelum pernikahan kami, aku bekerja keras, membuktikan diriku layak mendapatkan kepercayaan di perusahaan ini. Namun, setelah pernikahan, banyak yang menganggap posisiku ini hanya pemberian mertuaku—sebuah hadiah untuk menantu yang menikahi putrinya.

Aku tahu betul gosip itu. Setelah menikah, Pak Desmond pernah menawarkan jabatan General Manager—posisi yang lebih tinggi dengan segala fasilitas dan kehormatan yang menyertainya. Tapi aku menolaknya dengan halus. Aku khawatir, jika aku menerima posisi itu, orang-orang akan semakin meremehkan kemampuanku. Mereka tidak akan melihatku sebagai profesional, tetapi hanya sebagai pria yang mendapat posisi karena hubungan keluarga.

Namun, kenyataannya, meskipun hanya menyandang jabatan sebagai Business Development Manager, aku mengurus hampir semua pekerjaan inti perusahaan ini. Aku menangani proyek besar, menjalin hubungan dengan mitra bisnis, bahkan memutuskan strategi yang menentukan arah perusahaan. Meski begitu, aku tetap menjaga agar setiap langkahku terlihat seperti bagian dari rutinitas, bukan seperti seseorang yang mengambil alih segalanya.

Aku duduk di kursi kerja, menyalakan komputer, dan mulai memeriksa dokumen yang menumpuk di mejaku. Rutinitas ini selalu membuatku merasa sibuk, tetapi di balik kesibukan ini, pikiranku tetap melayang ke rumah. Ke Tanika. Ke hotel itu. Ke rencana-rencana yang perlahan terbentuk di kepalaku.

Aku duduk di kursi kerja, mencoba fokus pada dokumen-dokumen yang menumpuk di mejaku. Tapi pikiranku seperti memiliki kehendak sendiri—melayang kembali ke rumah, ke Tanika, ke hotel itu. Bayangan tentang apa yang kulihat malam sebelumnya menghantui setiap sudut otakku. Rencana-rencana mulai terbentuk, walaupun belum jelas seperti apa bentuk akhirnya.

Tiba-tiba, suara pintu ruanganku terbuka pelan, membuatku menoleh. Fiona berdiri di sana, mengenakan blus putih yang kancing atasnya belum tertutup. Bagian atas blus itu sedikit terbuka, memperlihatkan belahan dadanya yang menggoda. Tatapannya seakan campuran antara terkejut karena melihatku sudah di kantor sepagi ini, tapi juga terselip sesuatu yang... menggoda.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel