Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 03 - Peringatan Mertua

Aku menarik kursi di depan meja Pak Desmond, lalu duduk dengan santai, berusaha menunjukkan ekspresi tenang seolah tidak ada yang terjadi. Meski begitu, aku tahu dia memperhatikanku dengan tatapan yang sulit ditebak.

Seketika, suasana ini terasa seperti deja vu. Ingatanku melayang kembali ke saat pertama kali aku bertemu dengan Tanika di ruangan ini, sekitar empat Tahun yang lalu.

//Flashback 4 tahun yang lalu

Pagi itu, suasana kantor hiruk-pikuk seperti biasa. Tumpukan berkas produk suplemen yang harus kupelajari memenuhi mejaku. Saat itu aku menjabat sebagai Sales Development Representative (SDR), pekerjaanku adalah menghidupkan kembali produk yang kurang laku di pasaran.

“Kai!” suara Fiona memanggilku keras, memecah konsentrasi. Aku menoleh ke arahnya.

“Kerja kok serius amat? Dari tadi dipanggil nggak dengar! Bos manggil ke ruangannya,” katanya sambil menunjuk ke arah ruangan Pak Desmond.

“Bos? Ada apa lagi, Fi?” tanyaku, sedikit bingung.

“Mana aku tahu? Buruan ke sana,” balasnya sambil berlalu.

Aku menghela napas dan beranjak menuju ruangan Pak Desmond, CEO perusahaan ini. Di depan pintu, aku mengetuk perlahan.

“Masuk!” terdengar suara tegas dari dalam.

Aku melangkah masuk ke ruangan luas itu, mata langsung tertuju pada seorang wanita muda yang duduk santai di depan meja besar Pak Desmond. Dia sibuk dengan ponselnya, memancarkan aura elegan yang sulit diabaikan, memberi isyarat agar aku duduk. “Duduk, Kai.”

Aku menarik kursi dan duduk. Saat itu, mataku secara tidak sengaja melirik wanita muda di depanku. Dia anggun, dengan rambut hitam yang tergerai rapi. Gayanya menunjukkan kelas dan kemewahan, meskipun tidak berlebihan. Ada sesuatu pada dirinya yang membuatku sulit mengalihkan pandangan.

“Kai, sekarang kamu lagi garap produk apa aja?” tanya Pak Desmond, memecah lamunanku.

“Oh, saya baru dapat berkas pagi ini, Pak. VitaShield, ActiMax, dan NeuroPlus. Saya baru mulai mempelajari VitaShield,” jawabku.

Pak Desmond mengangguk kecil. “Bagus. Produk-produk itu butuh perhatian ekstra. Saya nggak tahu apa yang salah dengan tim sebelumnya sampai penjualannya jeblok. Saya yakin kamu bisa memperbaikinya.”

“Baik, Pak. Saya akan coba maksimalkan,” jawabku penuh keyakinan.

Pak Desmond tersenyum tipis, lalu melirik wanita muda itu. “Oh ya, kenalin, ini Tanika. Anak tunggal saya. Dia baru saja pulang dari studi di Singapura. Saya ingin kamu ajak dia diskusi soal pekerjaan di sini. Siapa tahu dia tertarik.”

Aku menoleh ke arah wanita itu. Dia akhirnya mengangkat pandangan dari ponselnya dan menatapku sekilas sebelum kembali menunduk.

“Ah, Papa. Aku kan udah bilang, aku nggak tertarik sama farmasi,” katanya dengan nada santai, sedikit manja.

“Tanika, Papa nggak maksa. Tapi nggak ada salahnya ngobrol sama Kai. Dia anaknya pintar, otaknya cepat nyerap. Umurnya juga cuma lebih tua dua tahun dari kamu. Harusnya kalian bisa nyambung,” kata Pak Desmond.

Aku tersenyum dan mengulurkan tangan. “Kaindra Wicaksana,” sapaku.

Dia tampak ragu, tetapi akhirnya menjulurkan tangannya. “Tanika Putri Wijaya,” jawabnya singkat, dan sedikit senyum muncul di wajahnya.

Saat itulah aku pertama kali bertemu dengan Tanika—wanita yang kemudian menjadi cinta pertamaku.

//Kembali ke masa ini

“Kai! Kok bengong?” suara Pak Desmond membuyarkan lamunanku.

“Enggak, Pa,” jawabku cepat sambil tersenyum. Aku berusaha mengendalikan diriku. “Kami nggak ribut kok. Aku sama Tanika biasa-biasa aja, nggak ada masalah.”

Pak Desmond mengerutkan dahi, masih menatapku penuh tanya. “Kalau gitu, kenapa wajah kamu kayak penuh pikiran? Ada yang salah sama pekerjaan kamu?”

Aku menggeleng sambil berusaha tetap tenang. “Enggak, Pa. Aku memang sengaja datang ke kantor pagi-pagi supaya bisa menyelesaikan laporan presentasi untuk Papa,” kataku.

Pak Desmond menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengamati wajahku dengan tatapan yang tajam namun penuh perhatian. “Hmm,” gumamnya pelan. “Papa udah kenal kamu cukup lama, Kai. Papa tahu kalau kamu lagi ada apa-apa. Muka kamu tuh nggak bisa bohongin Papa.”

Aku diam, mencoba mempertahankan ekspresi tenang.

Dia melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. “Kamu tahu kan, meskipun kamu bukan anak kandung Papa, tapi Papa sayang sama kamu. Papa pengen kamu bahagia, sama seperti Tanika.”

Aku tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan. “Enggak ada apa-apa kok, Pa. Aku cuma kecapekan aja, mungkin karena kerjaan lagi numpuk belakangan ini.”

Pak Desmond mengerutkan kening. “Tanika bilang semalam kamu minum-minum. Kenapa, ada masalah apa? Kalau ada, bilang aja ke Papa. Kamu tahu, Papa selalu ada buat kalian.”

Aku tahu, perhatian Pak Desmond ini bukan sekadar karena rasa sayangnya. Dia ingin memastikan pernikahanku dengan Tanika tetap berjalan lancar, tanpa celah yang bisa merusak reputasi keluarga atau bisnisnya. Selain itu, pernikahan ini juga menjadi pengikatku, mencegahku untuk berpindah ke perusahaan saingannya, karena sebagian besar rahasia strategi perusahaan kini ada di tanganku.

Aku mengangguk pelan, memberikan senyum yang kubuat setenang mungkin. “Oh, itu. Enggak ada masalah apa-apa, Pa. Kemarin ada yang kasih Hennessy, aku udah lama nggak minum itu. Ya, aku coba beberapa shot aja. Enggak banyak, cuma buat santai. Papa kan tahu, aku nggak pernah minum sampai bikin masalah.”

Pak Desmond mengangguk, meskipun sorot matanya masih mengamati dengan cermat. “Ya, ya. Papa tahu kamu nggak macam-macam. Tapi lain kali, kalau mau minum yang enak, bilang aja. Kemarin Papa baru datengin Macallan. Lain kali kita minum bareng, ya.”

Aku tertawa kecil, sedikit lega. “Boleh tuh, Pa. Kapan-kapan kita coba.”

Pak Desmond menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatapku lagi dengan serius. “Ngomong-ngomong, gimana? Kamu masih betah di divisi BD? Papa dari dulu bilang kamu ambil posisi GM, tapi kamu tolak terus.”

Aku tersenyum, sudah terbiasa dengan pertanyaan ini. “Ah, jabatan nggak penting, Pa. Kerjaanku juga nggak jauh beda, kok. Lagian, menurutku posisi yang sekarang lebih pas buatku. Aku bisa lebih fokus mengawasi operasional di level bawah. Kalau terlalu di atas, takutnya malah kehilangan kontrol detail.”

Pak Desmond mengangguk pelan, meskipun wajahnya masih menyimpan keraguan. “Kamu ini memang beda, ya. Tapi Papa nggak pernah ragu sama kerjaan kamu. Kamu salah satu orang terbaik yang perusahaan ini punya.”

“Terima kasih, Pa,” jawabku tulus.

Setelah beberapa saat berbincang, aku merasa percakapan ini sudah cukup. Aku bangkit dari kursi, siap untuk berpamitan. Tapi sebelum aku sempat membuka pintu, Pak Desmond berbicara lagi, nadanya tegas dan penuh makna.

“Kai,” panggilnya, membuatku berhenti dan menoleh.

Dia menatapku lekat-lekat, seperti ingin memastikan pesan ini sampai dengan jelas. “Papa mau ingetin, Papa nggak mau ada kejadian aneh-aneh di pernikahan kamu sama Tanika. Papa nggak mau anak Papa terluka. Mengerti?”

Aku menelan ludah, lalu mengangguk dengan tegas. “Saya mengerti, Pa. Papa nggak perlu khawatir.”

Pak Desmond memandangku sejenak sebelum mengangguk pelan. “Bagus,” katanya singkat.

Belum sempat aku keluar, ponsel di mejanya berdering. Dia melambaikan tangannya, isyarat agar aku pergi. “Sudah, sana. Lanjutkan kerjaanmu.”

Aku meninggalkan ruangannya dengan pikiran yang berputar-putar. Ucapannya barusan seperti peringatan terselubung—halus, tapi tajam. Dia tahu sesuatu? Atau itu hanya perasaan paranoidku?

Aku kembali ke ruanganku, mencoba fokus pada pekerjaan, tapi kata-kata Pak Desmond terus terngiang-ngiang di kepalaku. “Papa nggak mau ada kejadian aneh-aneh.”

Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Aku tenggelam dalam pekerjaan hingga langit di luar berubah menjadi jingga gelap. Ketika aku melihat jam, angka digital di sudut laptop menunjukkan pukul 17.52. Aku mengerutkan dahi, sedikit bingung—bukankah Fiona bilang sore ini dia akan datang ke ruanganku?

Aku meraih ponsel dan memeriksa pesan-pesan yang masuk, siapa tahu ada yang terlewat. Tapi tidak ada apapun darinya. Perutku mulai terasa lapar, membuatku berpikir untuk memesan makanan. Aku menekan interkom dan memanggil Anjas, OB kantor yang sering membantuku.

Tak lama, Anjas muncul di pintu. Penampilannya sudah rapi, jelas dia bersiap-siap untuk pulang.

“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya sopan.

“Jas, kamu udah mau pulang, ya?” tanyaku sambil melirik jam di meja.

“Eh, iya, Pak. Udah lewat jam kerja. Tapi kalau Pak Kai ada keperluan, saya bisa bantu kok,” jawabnya dengan nada setia seperti biasanya.

Aku tersenyum kecil. “Tadinya mau minta tolong beliin nasi. Lagi laper banget nih. Tapi kalau kamu udah mau pulang, nggak apa-apa. Nanti aku cari sendiri aja.”

Anjas buru-buru menggeleng. “Enggak apa-apa, Pak. Beneran, sini saya beliin. Pak Kai kaya sama siapa aja.” Dia menepuk dadanya. “Mau tengah malam juga, kalau Pak Kai perlu, saya siap kok, Pak.”

Aku tertawa kecil, mengeluarkan uang seratus ribu dari dompetku, lalu memberikannya padanya. “Kalau gitu, tolong beliin nasi, terserah kamu aja ya, Jas. Apa yang menurut kamu enak.”

“Siap, Pak!” jawabnya semangat.

Saat Anjas hendak melangkah keluar, tiba-tiba pintu ruanganku terbuka lagi. Fiona muncul di sana dengan senyum lebar, tangannya membawa sekotak pizza besar.

“Kai, aku tau kamu pasti belum makan,” katanya dengan nada riang. Dia melangkah masuk, menaruh kotak pizza itu di mejaku. “Tadi aku ada meeting sama klien, terus pulang ke sini sekalian bawain ini buat kamu.”

Anjas yang masih berdiri di dekat pintu tampak bingung. Matanya bolak-balik memandangku dan Fiona. Ekspresinya yang tampak kebingungan membuatku sedikit tergelitik.

“Jas, udah ada makanan nih buat saya. Kamu langsung pulang aja, ya,” kataku sambil tersenyum.

Anjas buru-buru merogoh sakunya, mengeluarkan uang seratus ribu yang tadi kuberikan, dan menyerahkannya kembali padaku.

“Udah, simpen aja, Jas. Pulang sana,” kataku sambil mengisyaratkan dia pergi.

“Terima kasih, Pak!” Anjas membungkuk hormat sebelum meninggalkan ruangan.

Aku menatap Fiona yang kini duduk di kursi di depan mejaku, masih dengan senyum manjanya. “Kok tau aku belum pulang? Kalau ternyata aku udah pulang gimana? Tadi kamu bilangnya mau ke sini sore, tapi jam segini baru nongol,” tanyaku setengah bercanda.

“Lah, ini kan masih sore,” balas Fiona dengan ekspresi polos, tapi tatapannya menggoda. Dia menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga, gerakan kecil yang terlihat begitu disengaja, sambil mengeluarkan laptop dari tasnya dan ditaruh di samping bagian mejaku yang kosong.

“Udah malem, Jamilah!” balasku sambil menunjuk ke luar jendela. “Lihat di luar, apa masih ada yang lembur?”

Fiona tertawa kecil, sebuah suara seperti lonceng perak yang bergetar di udara, lalu mendekat ke meja kerjaku. Langkahnya, pelan namun penuh niat, setiap gerakannya terasa seperti perencanaan yang cermat. "Iya, maaf deh," ucapnya dengan suara lembut, seperti sutra yang membelai telinga. "Tapi aku tahu kok kamu nggak akan pulang. Mana tega kamu ninggalin aku sendirian di kantor?"

Dia membungkuk sedikit, blusnya yang berwarna putih itu jatuh dengan sempurna, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Rambutnya yang panjang dan hitam terurai, membingkai wajahnya yang cantik dengan sempurna. Tangan kanannya memegang kabel laptop, "Colokan di mana sih, Kai?" tanyanya sambil berpura-pura mencari steker listrik di bawah meja, namun matanya, berkilat nakal, tak lepas dariku.

Aku diam, jantungku berdebar tak karuan. Permainan ini terlalu nyata, terlalu sempurna. Semua raut wajahnya, setiap gerakan tubuhnya, terhitung, terencana, dan menggoda. Saat dia membungkuk, blusnya sedikit tertarik lagi, memperlihatkan belahan dadanya yang jelas disengaja. Setidaknya, tidak jika dilihat oleh orang lain. Tapi aku tahu lebih baik dari itu—semua ini terasa terlalu sempurna untuk sebuah kebetulan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel