Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 07

Pagi itu di ruang tunggu klinik, perutku dipenuhi kegelisahan yang tak menentu. Pikiranku kembali ke malam sebelumnya saat bertemu Dokter Zein, pria yang menawan dan karismatik, yang tanpa sadar telah mempengaruhi pikiranku dengan cara yang tak terduga. Detak jantungku semakin cepat ketika namaku dipanggil, dan aku melangkah masuk ke ruang pemeriksaan dengan langkah yang sedikit gemetar.

"Apa masalah saya, Dokter?" tanyaku berusaha terdengar tenang, meskipun hatiku penuh kegundahan.

Dokter Zein, dengan ketenangannya yang khas, mengambil berkas kesehatan dari meja. Aku memperhatikan setiap gerakannya, terutama bagaimana dia sesekali melirik ke arahku sebelum kembali memusatkan perhatian pada laporan yang dipegangnya. Detik-detik berlalu terasa seperti menunggu jawaban atas misteri yang menyelimuti pikiranku.

"Zara," ia menyebut namaku dengan lembut, membuatku menahan napas. Ada sesuatu dalam caranya mengucapkannya yang membuat jantungku berdetak lebih cepat.

Tatapan matanya bertemu dengan mataku, dan senyum kecil tersungging di bibirnya. Senyum itu, yang semalam menghantuiku, kini kembali membuatku tenggelam dalam fantasi yang tak beralasan. Aku merasakan getaran dalam diriku, seolah setiap sarafku merespons kehadiran Dokter Zein. Vaginaku mulai bereaksi, membasahi celana dalamku dengan rasa yang tak dapat kujelaskan.

"Sebenarnya Ibu normal," katanya, memecah keheningan.

"Normal?" ulangku, berusaha memahami maksudnya. "Saya tidak mengerti."

"Ya, Ibu," jawabnya meyakinkan. "Tidak ada masalah apa-apa."

Kebingungan menyelimuti pikiranku. Jika itu benar, mengapa bau dari vaginaku begitu mengganggu?

"Jika saya normal, kenapa vaginaku berbau?" desakku, berharap mendapat jawaban yang lebih memuaskan.

Dokter Zein menelan ludahnya, sebelum menatapku lagi dengan senyum sedikit canggung. "Maafkan saya, Ibu, jika saya terlanjur," katanya, membuat jantungku berhenti sejenak. Apa maksudnya dengan 'terlanjur'? Apakah ada sesuatu yang terjadi tanpa kusadari?

"Semalam saat saya melakukan pemeriksaan, saya sempat mencium vaginamu. Maafkan saya," akunya dengan jujur.

Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Wajahku memanas, campuran antara malu dan marah. Apa maksud semua ini? Kenapa dia melakukannya?

"Ibu juga meninggalkan celana dalam Ibu," lanjutnya sambil membuka laci meja dan menunjukkan celana dalamku. "Maafkan saya juga karena saya telah menggunakan celana dalam Ibu untuk melakukan sedikit pengamatan." Wajahnya kini merah, menciptakan kontras dengan kulitnya yang terang.

Pengamatan apa? Aku ingin bertanya, tapi kata-kata itu hanya bergema dalam pikiranku. Hatiku bergejolak, marah dan bingung bersamaan. Namun, ada juga rasa penasaran yang menjalar, mencoba memahami tindakannya.

"Dari apa yang saya perhatikan, bau vaginamu normal," jelasnya lagi, seolah itu adalah jawaban yang cukup.

Kebingungan semakin mendalam. Apa maksud dari semua ini? Apakah benar tidak ada yang salah?

"Ibu," katanya lagi, mencoba menenangkanku, "vagina wanita memang berbau seperti itu. Saya sudah periksa banyak pasien. Bahkan istri saya sendiri pun ada bau juga. Itu memang bau vagina wanita. Hanya baunya lebih kuat dari biasanya."

"Kuat seperti apa?" tanyaku, mencari klarifikasi lebih lanjut.

Dokter Zein hanya tersenyum, seolah jawabannya sudah jelas.

"Bagaimana cara menghilangkan bau ini?" aku bertanya lagi, putus asa mencari solusi.

"Itu adalah bau alami seorang wanita," jawabnya sabar.

"Tidak bisa dihilangkan?" tanyaku, merasa frustrasi.

"Saran saya, Ibu, cukup jaga kebersihan. Tapi, kalau boleh tanya, kenapa Ibu ingin menghilangkan baunya?" tanyanya, mencoba menggali lebih dalam.

"Suami saya tidak suka," balasku lirih, malu dengan pengakuan tersebut.

"Oh begitu ya," katanya dengan pengertian. "Saya tidak bisa membantu Ibu lebih jauh. Mungkin Ibu bisa coba mandi di spa atau perawatan lain," sarannya.

Kekecewaan merayapi diriku. Apakah tidak ada yang bisa dilakukan?

"Begini, Ibu. Ibu baru menikah kan? Mungkin ini hal baru bagi suami Ibu. Lama-kelamaan mungkin suami Ibu bisa terima," katanya, mencoba memberikan harapan. "Setiap orang berbeda kesukaannya," lanjutnya. "Saya bukan konselor keluarga, tapi mungkin Ibu bisa lebihkan apa yang suami Ibu suka, dan kurangi yang kurang disukainya."

"Baiklah, Dokter," kataku, merasa sedikit lebih tenang meskipun masih ragu. "Terima kasih."

Sebelum sempat bangun dari kursiku, Dokter Zein berdiri terlebih dahulu dan duduk di sebelahku. Ia menggenggam tanganku, mengusapnya lembut. Sentuhannya membuatku merasa tidak nyaman, mengingat statusku sebagai istri, namun aku membiarkannya sejenak.

"Jika Ibu menghadapi masalah, jangan ragu untuk datang kembali menemui saya. Saya akan berusaha semampu saya untuk membantu," ucapnya dengan tulus, menawarkan dukungan yang menenangkan.

"Terima kasih, Dokter," balasku, menarik tanganku kembali dengan lembut. Aku berdiri dan meninggalkan ruangannya, terburu-buru, mencoba menghapus perasaan campur aduk yang menyelimuti hatiku.

Dalam kepanikan dan kebingungan, aku lupa mengambil celana dalamku. Dokter Zein, yang tetap tinggal di ruangannya, mengambil celana dalamku dan kemudian menciumnya. Ia menggenggamnya erat, seolah itu adalah barang berharga yang kini menjadi miliknya. Aroma yang masih menempel di sana tercium olehnya, meninggalkan jejak yang entah bagaimana, terasa salah namun sekaligus menggoda.

***

Dalam perjalanan ke apartemenku, setiap langkah terasa berat, seolah-olah aku membawa beban yang tak terlihat. Perasaan marah dan kecewa bergelombang dalam diriku, bercampur menjadi satu. "Aku normal?" tanyaku pada diri sendiri, suaraku hampir tak terdengar. "Lalu, apa yang sebenarnya begitu kau benci?" pikiran ini terus mengiang, mencengkeram hatiku dengan rasa pahit. Mengapa suamiku tidak bisa menerima diriku apa adanya, sebagai wanita dengan seluruh fitrah alamiku? Pertanyaan ini terus berputar-putar, menimbulkan rasa sakit yang semakin dalam.

Setibanya di rumah, aku merasakan dorongan yang tak tertahan untuk melepaskan semua yang membelenggu diriku. Aku menanggalkan pakaianku, merasakan kebebasan sejenak ketika kulitku bersentuhan langsung dengan udara. Aku berbaring di atas ranjang, membiarkan tubuhku meresapi rasa dingin dari seprai. Dalam sekejap, pikiranku teralihkan ke dunia lain, dunia yang dikuasai oleh sosok Dokter Zein. Bayangan suamiku memudar, digantikan oleh fantasi yang lebih kuat dan mendominasi.

Aku membayangkan kembali berada dalam ruangan Dokter Zein. Setiap detail dari pertemuan kami sebelumnya diputar ulang dalam benakku. Tangan lembutnya menyentuh tanganku, sikapnya yang penuh perhatian membuat hatiku berdebar. Aku menatap matanya, menemukan sesuatu yang menenangkan namun menggoda. Dalam fantasi ini, Dokter Zein mendekat, bibirnya menyentuh bibirku dengan kelembutan yang lambat laun berubah menjadi lebih bernafsu.

Di dalam imajinasiku, Dokter Zein mengangkat tubuhku, membaringkanku di atas mejanya. Dengan penuh kelembutan namun tegas, dia membuka kedua kakiku. Nafsu kami sudah tak terbendung, dan tanpa ragu, dia menyingkap kain baju kurungku. Di sini, aku tak mengenakan celana dalam—seolah semua sudah direncanakan sebelumnya.

Saat Dokter Zein menyingkap kainku, aku dengan gemetar melorotkan celana dan celana dalamnya. Penisnya yang sudah siap menyambut segera mengisi diriku dengan gerakan yang penuh semangat. Kami bercinta dengan penuh gairah di atas mejanya, masih dalam pakaian yang sebagian besar tersisa. Setiap gerakan terasa tepat, seperti simfoni yang menggema dalam tubuhku, dan akhirnya aku mencapai puncak orgasme. Tubuhku bergetar hebat, keringat bercucuran dari setiap pori-pori.

Setelah selesai, aku terbaring kelelahan, tubuhku dibasahi oleh keringat dan sisa-sisa ekstase. Namun, yang mengejutkan, ranjangku sangat basah, seolah-olah ada yang menyiramkan air. Tidak mungkin ini semua hanya dari keringatku, pikirku. Cairan yang membasahi tempat tidur ini lebih jernih, dan baunya tajam dengan sedikit aroma anyir. Saat itu, kebingungan melandaku, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

Tanpa kusadari, aku telah mengalami pengeluaran cairan yang hebat atau squirting untuk pertama kalinya. Ketika aku mencapai klimaks, cairan itu memancar keluar, membasahi ranjangku dengan intens. Aku terbaring menatap langit-langit, memikirkan suamiku, Naufal, yang kemungkinan besar tidak akan menyukai kejadian ini. Kamar tidurku kini dipenuhi aroma yang menyengat, mengingatkanku pada tempat-tempat yang tak pernah kuinginkan.

Dengan mata berat, aku menutupnya sejenak untuk tidur. Aku berjanji pada diri sendiri, sebelum Naufal pulang nanti sore, aku harus bangun, mandi, dan membersihkan seprai yang basah ini sekali lagi. Setidaknya, aku bisa menyelesaikan satu masalah sebelum menghadapi yang lainnya. Sambil menutup mata, aku merasakan beratnya kenyataan, namun berharap esok hari akan memberikan pencerahan yang dapat memulihkan rasa percaya diriku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel