Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 06

Aku berlari menuju rumah susun kami, seolah-olah ada bayangan yang mengejarku. Ketika tiba di lantai empat, aku melewati lift, memilih menaiki tangga dengan napas tersengal. Begitu sampai di pintu, aku meraba-raba mencari kunci di dalam tas. Ketika pintu terbuka, aku segera masuk dan menguncinya rapat-rapat, seakan dunia luar adalah ancaman.

Pikiranku kacau. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku sejak pertemuan di klinik tadi. Aku merasa bingung, dan lebih dari itu, malu. Aku merasakan sesuatu yang berbeda dan asing, sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang membuatku merasa bersalah.

Di kamar tidur, aku mulai melepaskan baju kurung dan bra-ku, melemparkannya ke keranjang cucian. Bau asam keringat menyengat dari pakaianku. Aku terduduk sejenak di tepi ranjang, menyadari tubuhku telanjang. Tubuhku lelah, namun pikiranku masih berlari kencang. Aku berdiri dan melangkah ke kamar mandi, berniat untuk mandi dan menyegarkan diri.

Tapi langkahku terhenti di depan pintu kamar mandi. Aku merasa ada yang salah. Aku kembali ke ranjang, duduk, dan memandang ke luar jendela. Tanpa sadar, aku memegang kedua payudaraku. Rasanya ada arus listrik yang menjalari tubuhku.

Perlahan-lahan, aku merebahkan diri di atas ranjang, menutup mata, membiarkan perasaan itu menguasai diriku. Bayangan dari klinik tadi terlintas kembali. Sentuhan lembut Dokter Zein merangsangku, membangkitkan nafsu yang terpendam. Tangan kananku bergerak membelai puting payudara, sementara tangan kiriku menjelajahi klitorisku. Aku mencoba meniru apa yang dilakukan Dokter Zein, memasukkan jariku ke lubang vaginaku, merasakan kenikmatan yang hanya Tuhan tahu.

Setiap sentuhan menimbulkan sensasi yang luar biasa. Tubuhku bereaksi, kejang seperti dialiri listrik. Cairan orgasme membanjiri vaginaku. Aku membasahi jariku dengan cairan itu, kemudian menggesek klitorisku lagi. Permainan ini, meski dengan diriku sendiri, membawa kenikmatan yang tiada tara.

Sambil melanjutkan, pikiranku melayang pada suamiku, Naufal. Adegan di kamar mandi bersama Naufal terulang dalam benakku. Dengan mata terpejam, aku membayangkan penis suamiku mengisi vaginaku dengan sempurna, seperti jariku yang bermain-main di dalam lubangku sekarang. Kenikmatan ini membawa tubuhku ke puncak yang tak terhingga.

Dengan gesekan lembut ibu jari di klitoris dan dua jari lainnya yang masuk keluar dari vaginaku, aku mencapai klimaks. Tubuhku gemetar, orgasme yang kuat melanda. Ini adalah pengalaman pertamaku menikmati masturbasi hingga orgasme.

Aku membuka mata, terbaring lelah di ranjang. Tubuhku basah oleh keringat, dan vaginaku basah oleh cairan orgasme. Aku menikmati perasaan ini, meskipun rasa bersalah mulai menyelinap.

Namun, hasratku kembali muncul. Tubuhku masih terangsang, putingku masih tegang. Aku belum siap berhenti. Kembali, kedua tanganku memainkan perannya, mencoba membangkitkan perasaan tadi.

Aku menutup mata, berusaha fokus membayangkan kembali adegan bersama Naufal. Tapi, entah kenapa, kali ini fantasi itu sulit teraih. Seakan ada penghalang yang membuatnya tidak sejalan.

Aku membuka mata, termenung sejenak, lalu mencoba lagi. "Fokus, Zara!" desahku dalam hati. Kali ini, dalam lamunanku, sosok Dokter Zein muncul. Aku terkejut, tapi tak bisa mengusir bayangan itu. Dalam imajinasiku, Dokter Zein melanjutkan apa yang dimulai di klinik.

Kini, aku berada di ruangan pemeriksaan imajiner itu, dengan kaki terbuka lebar, kain yang tersingkap, memperlihatkan tubuhku padanya. Namun, kali ini, dia bukan lagi dokter yang profesional. Dia lebih dari itu. Dia menyingkap baju kurungku, lalu menanggalkannya hingga aku telanjang bulat di hadapannya.

Dalam fantasi ini, dia memelukku, mencium bibirku dengan lembut. Tangannya membuka kaitan bra-ku, dan aku telanjang sepenuhnya. Dia juga melepaskan pakaiannya, telanjang seperti diriku.

Kami berciuman dengan penuh nafsu, lidahnya menjelajahi mulutku, lidahku, dan wajahku. Nafsu membakar diriku. Akhirnya, Dokter Zein menghunuskan penisnya yang keras ke dalam vaginaku, menghentak dengan penuh gairah. Kami berhubungan intim lebih lama dari hubungan bersama Naufal. Setiap detik bersamanya terasa begitu nikmat dan mendebarkan.

Akhirnya, aku mencapai puncak orgasme lagi, lebih kuat dari sebelumnya. Tubuhku terguncang, dan aku membuka mata. Kali ini, aku tidak berada di ruangan pemeriksaan. Aku kembali di kamar tidurku, sendiri. Tidak ada suamiku, tidak ada Dokter Zein. Hanya aku.

Aku terbaring lelah di atas ranjang, menyadari betapa absurdnya fantasi itu. Meskipun demikian, aku merasa puas, meski rasa bersalah menggantung di benak. Aku menutup mata, membiarkan rasa kantuk menguasai, dan tertidur dalam keadaan telanjang, berharap esok hari membawa suasana baru dan lebih baik.

***

Aku terbangun dari tidurku yang gelisah, terkejut oleh suara Naufal yang memanggil namaku dengan nada tinggi. Saat membuka mata, aku melihatnya berdiri di pintu kamar, wajahnya campuran antara terkejut dan marah. Dia baru pulang dari kerja, dan aku bisa merasakan ketegangan di udara.

"Zara Yasmin! Apa yang kamu lakukan?!" teriaknya, matanya terpaku pada tubuhku yang telanjang di atas ranjang.

"Mas," jawabku tergagap, mencoba menenangkan situasi, "Zara tertidur tadi."

"Tidur apa kalau begini? Kenapa kamu telanjang seperti ini?!" desaknya dengan suara yang terdengar lebih seperti interogasi daripada pertanyaan.

Naufal duduk di sebelahku, dan aku bisa merasakan panas tubuhnya yang bercampur dengan kemarahannya. Dia memegang bahuku dan mengguncang-guncangkan tubuhku seolah ingin mengguncang jawaban keluar dariku. "Jelaskan sekarang juga!"

Aku tidak bisa menahan air mata yang tiba-tiba jatuh, membasahi pipiku. Dalam kebingungan dan rasa bersalah, aku mencoba meraih suamiku, memeluknya erat. "Zara hanya tidur, Mas. Zara merasa gerah, jadi Zara lepas baju. Hari ini panas sekali. Zara terus tertidur. Maafkan aku, Mas," aku merintih, berharap dia mengerti.

"Lepaskan Mas," katanya dingin.

"Tidak mau," jawabku, memeluknya semakin erat, berharap kehangatan tubuhnya bisa menghapus rasa bersalah dan malu yang menggelayuti pikiranku.

"Lepaskan!" katanya lagi, suaranya tajam bagai pisau. "Jaga kehormatanmu sebagai seorang wanita. Duduk di rumah sendirian tidak berarti bisa telanjang sesuka hati."

Kata-katanya menamparku lebih keras daripada pukulan fisik mana pun. Aku merasa terhina, tetapi lebih dari itu, aku merasa kecewa pada diriku sendiri. Aku terisak, melepaskan pelukan, dan beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.

"Setelah mandi, ganti celana dalam itu... ih... kotor sekali," ujarnya lagi sebelum meninggalkan kamar tidur kami. Kata-katanya menggantung di udara, menambah beban di dadaku.

Di dalam kamar mandi, aku berdiri di depan cermin, memandang diriku sendiri. Tubuhku yang telanjang memantulkan bayangan yang terasa asing. Aku merasa terasing dari diriku sendiri, seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Aku membuka keran, membiarkan air mengalir, berharap bisa membasuh semua rasa malu dan bersalah ini.

Air dingin menyentuh kulitku, dan aku menutup mataku, membiarkan pikiranku melayang. Aku teringat momen di klinik, sentuhan lembut Dokter Zein yang masih terasa di permukaan kulitku, seakan meninggalkan jejak permanen. Tapi mengapa bayangannya lebih menenangkan daripada memalukan? Mengapa aku merasa lebih hidup di bawah sentuhannya?

Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Naufal adalah suamiku, dan aku mencintainya. Tapi mengapa ada ruang di hatiku yang terasa kosong? Aku menyabuni tubuhku, menggosok setiap inci kulitku seolah-olah bisa menghilangkan perasaan bersalah yang menempel.

Setelah mandi, aku mengenakan pakaian bersih, mengganti celana dalam seperti yang Naufal minta. Aku berdiri sejenak di depan cermin, melihat bayangan diriku yang tampak lebih tenang, meski hatiku masih bergolak.

Saat keluar dari kamar mandi, aku melihat Naufal duduk di ruang tamu, menatap kosong ke layar televisi yang menyala tanpa suara. Aku berjalan pelan ke arahnya, duduk di sebelahnya. Kami terdiam, suaraku terjebak di tenggorokan sementara dia tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Maafkan Zara, Mas," aku berkata akhirnya, suaraku hampir seperti bisikan. "Zara akan berusaha lebih baik." Naufal menghela napas panjang, wajahnya tiba-tiba menunjukkan ekspresi yang tidak bisa aku baca. Matanya yang dulunya lembut kini terisi dengan kekecewaan dan sesuatu yang lebih gelap. "Zara, kamu tidak mengerti betapa aku ingin yang terbaik untuk kita. Tapi kadang, aku merasa kamu hanya membebani hidupku," ujarnya dengan nada dingin.

Kata-katanya menghancurkan ketenangan yang kurasakan. Aku mengangguk, tapi jantungku berdebar lebih cepat. Di dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuiku semakin menguat: Apakah dia benar-benar mencintaiku? Atau apakah aku hanya menjadi tanggungannya yang harus dia hadapi?

Kami terdiam, menikmati momen kebersamaan yang tegang meski bayangan masalah tadi semakin menekan. Aku menyandarkan kepala di bahunya, merasakan detak jantungnya yang tidak menenangkan, malah menambah kecemasan. Tapi, apakah detak jantung itu benar-benar menunjukkan cinta, atau hanya kepalsuan?

Malam itu, sebelum tidur, aku berbaring di samping Naufal yang sudah tertidur. Aku menyentuh lengannya, merasa kehangatan dan kekuatannya, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Dalam hatiku, harapanku untuk menemukan cara mengatasi semua ini mulai pudar, dan pertanyaan-pertanyaan itu kembali menghantui: Apakah dia benar-benar menginginkan aku sebagai istrinya?

Sebelum menutup mata, aku berdoa dalam hati, memohon agar esok membawa jawaban atas kebingungan ini. Aku ingin memperbaiki segalanya, untuk diriku, untuk Naufal, dan untuk cinta kami yang mulai retak. Namun, saat aku tertidur, satu pikiran menghantui: Jika dia tidak mencintaiku, apa yang akan terjadi selanjutnya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel