Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 04

Kehidupanku di desa dulu hanyalah membantu orang tua di ladang, bekerja di bawah terik matahari dan menikmati angin segar yang bertiup dari pepohonan. Suamiku, Naufal, pun sama, bekerja di desa dan menjalani kehidupan yang tenang. Kami berdua tidak punya pendidikan tinggi, hanya sampai ujian akhir sekolah menengah. Namun, suatu hari Naufal mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke kota mencari rezeki. Aku diam-diam merasa bosan dengan rutinitas desa, jadi ketika dia mengajak hijrah ke kota, aku setuju tanpa ragu.

Setelah dua bulan menjalani kehidupan pernikahan, kami memutuskan untuk pindah ke kota. Naufal dan aku menggunakan tabungan yang kami kumpulkan dengan susah payah, dan dengan bantuan Faizal, kami mendapatkan sebuah rumah susun kecil di Jakarta. Rumah susun itu terdiri dari dua kamar yang cukup untuk kebutuhan kami. Meski sederhana, tempat itu menjadi awal dari lembaran baru hidup kami.

Sekitar sebulan setelah kepindahan kami, Naufal sibuk mencari pekerjaan. Akhirnya dia diterima sebagai asisten teknisi di sebuah pabrik. Naufal memang tidak memiliki kualifikasi vokasional, jadi dia harus memulai dari posisi paling bawah. Gajinya memang tidak seberapa, tetapi kami berusaha hidup hemat sebisa mungkin. Naufal adalah orang yang sangat rajin; dia berangkat kerja sejak subuh dan pulang larut malam. Bahkan pada akhir pekan pun, dia sering bekerja. Ketika suamiku tidak ada di rumah, aku merasa kesepian. Sebagai pengantin baru, aku sering teringat malam pertama kami yang penuh kenangan indah. Alangkah bahagianya jika suamiku bisa menyentuhku setiap malam.

Kami hanya bisa bersama satu atau dua kali seminggu. Setiap kali Naufal pulang lebih awal, aku akan bersiap-siap untuk menyambutnya. Aku mandi dan memastikan tubuhku harum. Dengan berbagai cara, aku mencoba menarik perhatiannya agar dia menyentuhku.

Namun, aku memiliki masalah bau badan yang mengganggu. Aku mudah berkeringat, dan ini membuat tubuhku berbau asam. Setiap kali kami berhubungan intim, tubuhku berkeringat deras. Yang lebih mengganggu Naufal adalah bau dari vaginaku. Ketika terangsang, vaginaku akan basah, mengeluarkan lendir dan cairan orgasme yang lengket seperti minyak. Bau dari vaginaku membuat suamiku merasa tidak nyaman.

Biasanya, saat kami bersama, Naufal tidak melepas semua pakaianku sampai dia benar-benar siap berhubungan. Dia akan mencium bibirku, menghisap payudaraku, dan mencoba membuatku terangsang. Ketika dia merasa siap, barulah dia menanggalkan celana dalamku dan berhubungan denganku. Kami biasanya melakukannya di bawah selimut.

Setelah selesai, dia akan memintaku mandi sebelum tidur bersama. Itu adalah rutinitas kami setiap kali berhubungan.

Pernah suatu ketika, Naufal pulang lebih awal dari kerja. Aku tidak sadar waktu sudah petang dan belum mandi sejak pagi. Ketika Naufal pulang, aku menyambutnya seperti biasa, mencium tangannya dan memeluknya. Namun, aku merasakan ada ketidaknyamanan darinya.

"Kamu belum mandi ya?" suamiku bertanya dengan nada bercanda, "Bau sekali."

"Maaf, Mas. Zara lupa. Zara pergi mandi sekarang ya," jawabku sambil bergegas ke kamar mandi. Hatiku sedikit terguris dengan kata-kata suamiku, meski aku tahu dia hanya bercanda. Aku merasa bukan bau yang terlalu menyengat, hanya bau badan wanita biasa. Aku ini bukan bidadari yang selalu wangi.

Di kamar mandi, aku mulai mandi dan merasa kesal. Aku menggosok tubuhku dengan sabun banyak-banyak, ingin menghilangkan aroma yang membuat suamiku tidak nyaman. Tiba-tiba, Naufal masuk ke kamar mandi, menanggalkan pakaiannya, dan langsung memelukku.

"Mas minta maaf. Mas tidak seharusnya berkata seperti itu pada Zara," bisiknya lembut di telingaku.

"Tidak apa-apa, Mas. Memang tanggung jawab istri untuk berhias-hias untuk suaminya kan?" jawabku sambil tersenyum padanya.

Tanpa membuang waktu, Naufal memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Rasa sakit malam pertama sudah tak kurasakan lagi. Kini setiap kali suamiku menyentuhku, kenikmatannya terasa indah sekali. Aku berharap saat ini bisa kekal selamanya.

Namun, gerakan Naufal hanya bertahan sebentar, dua hingga tiga menit saja. Dia mencapai klimaks dan memancarkan air maninya dalam tubuhku. Rahimku penuh dengan air mani suamiku, dan karena kami berdiri, cairan itu menetes dan mengalir di kakiku.

"Mas..." kataku pelan, "Zara belum sampai." Aku mengisyaratkan bahwa aku belum mencapai puncak kenikmatan. "Jangan berhenti, Mas," pintaku dengan penuh harap.

Tapi penis Naufal sudah lemas kembali. Dia mencabutnya dan memelukku. Bibirnya hinggap di bibirku. "Mas sudah selesai, sayang," katanya dengan nada kecewa. "Maafkan Mas, Zara mandi ya."

Naufal membersihkan dirinya dan meninggalkanku sendirian di kamar mandi. Aku menangis sendirian.

Setelah mandi, aku berdandan dengan bedak dan parfum. Aku hanya mengenakan kemeja tanpa bra agar kedua payudaraku menonjol melalui baju, berharap bisa membangkitkan gairah Naufal lagi. Aku juga tidak memakai celana dalam. Hanya selembar kemeja menutupi tubuhku. Aku menyiapkan makan malam, dan kami makan bersama.

Setelah makan malam, kami duduk di sofa menonton TV. Aku merangkul suamiku dan berbisik, "Mas ada tugas malam yang belum selesai." Aku tersenyum padanya berharap.

Naufal mencium bibirku, dan kami berpelukan di sofa. Dia berusaha merangsang tubuhku dengan tangan dan mulutnya, tetapi tidak mau menyentuh vaginaku. Aku merasakan penisnya di balik celananya tidak keras.

Naufal tahu aku ingin dia memenuhi nafkah batinnya untukku malam itu. Tetapi malam itu, Naufal tidak cukup terangsang untuk bersamaku, seakan ada yang mengganggu pikirannya.

"Zara tidak pakai celana dalam ya?" tanyanya.

Aku tahu maksudnya.

Aku melepaskan pelukan suamiku dan merasa sedikit kecewa.

"Jijik sekali ya vagina Zara ini, sampai Mas tidak mau menyentuh Zara?" Air mataku menetes.

"Bukan begitu Sayang," Naufal mencoba menjelaskan. "Mas tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Mas masih merasa mual bila mencium aroma vagina Sayang. Mungkin Mas belum benar-benar cocok dengan bau tubuh Zara. Beri Mas waktu ya, Sayang?"

Malam itu kami tidak jadi berhubungan. Hasratku untuk merasakan kenikmatan tidak terpenuhi. Malam itu aku memakai pembalut seolah-olah sedang haid. Aku tidak ingin mengganggu tidur suamiku dengan bau vaginaku. Dalam tidurku, air mataku berlinangan, menandai malam yang penuh dengan rasa kecewa dan harapan yang tertunda.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel