Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 02

Hari pernikahanku tiba dengan rasa gugup dan kebahagiaan yang sulit digambarkan. Aku mengenakan gaun putih bersih, simbol kemurnian dan awal baru. Tanpa jilbab, aku memilih selendang lembut yang menutupi rambut ikalku, memberikan kesan anggun yang sederhana. Naufal, suamiku, berdiri tegap di depanku, senyumnya menenangkan namun penuh arti. Dengan satu tarikan napas, ia melafalkan akad dengan mantap, memunculkan perasaan hangat menjalar di hatiku. Mataku bertemu dengan matanya, seolah kami berbicara dalam diam, mengukuhkan janji yang baru saja terucap.

Setelah keramaian acara berangsur surut, kami akhirnya bisa menyelinap ke kamar pengantin, sebuah ruangan yang dihias dengan cinta dan perhatian oleh keluarga kami. Walaupun sederhana, dekorasi itu terasa sempurna bagiku. Naufal menggenggam tanganku, jemariku yang masih berhias henna terasa hangat dalam genggaman eratnya. Dia membantuku duduk di tepi ranjang, dan perlahan menurunkan selendangku, memperlihatkan rambutku yang panjang dan berkilau. Aku membuka songkok dari kepalanya, melepaskan atribut formalitas yang hingga saat itu menempel pada kami.

“Zara, malam ini kamu sangat cantik.” Suara Naufal lembut, penuh ketulusan, membuat pipiku memerah. Aku tersenyum, menyadari bahwa mulai saat ini aku adalah istrinya, dan dia adalah suamiku. Tak ada lagi 'kau' dan 'aku', kini berubah menjadi 'Mas' dan 'Zara', menandai kebersamaan kami yang baru.

Aku mencium tangan Naufal sebagai tanda hormat dan cinta. Jantungku berdebar kencang saat Naufal mendekatkan wajahnya. Napas hangatnya menyapu bibirku, dan aku menatap matanya yang bercahaya penuh kasih. Ketika bibir kami bertemu, sebuah gelombang emosi menerjangku, menyelimuti seluruh tubuhku. Ini adalah ciuman pertamaku, dan sungguh, tak ada yang bisa mempersiapkanku untuk perasaan ini. Bibir Naufal lembut dan hangat, menciptakan sebuah kenangan yang kuyakin akan abadi dalam ingatanku.

Ciuman kami perlahan menjadi lebih dalam, dan aku mendapati diriku membalas dengan rasa yang sama. Ketika mulutku terbuka, Naufal menyambutnya, lidah kami bersatu dalam tarian yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tubuhku bereaksi dengan cara yang tak pernah kuduga, setiap inci kulitku merespons dengan gairah yang membara. Aku merasa sangat hidup, seolah setiap saraf dalam tubuhku terbangun dari tidur panjang. Kedua payudaraku mengeras, dan aku berharap Naufal tidak menyadari perubahan ini yang terlihat jelas di bawah gaunku.

Naufal menarik diri sejenak, bibirku masih mengecap rasa dari ciumannya. Dia tersenyum, sebuah senyum yang membuat jantungku berdebar lebih kencang. Aku mengikutinya dengan menanggalkan kancing gaun pengantin, satu per satu, hingga bagian bahu terlepas, memperlihatkan kulitku yang belum pernah tersentuh siapapun. Aku bisa melihat Naufal menelan ludah, matanya terpaku pada pemandangan yang baru baginya.

Aku pun mengambil langkah berani, membuka kancing baju melayu Naufal dan menyingkapnya, memperlihatkan dadanya yang bidang. Jantungku berdenyut kuat, seolah dipukul palu, saat kulitnya bersentuhan dengan milikku. Naufal memelukku erat, mencium leherku dengan lembut. Sensasi yang mengalir saat itu membuatku mengerang pelan, berharap suaraku tidak terdengar oleh siapapun di luar sana.

Ketika Naufal membuka kaitan bra-ku, aku merasakan kebebasan yang baru. Bra-ku terlepas, dan kedua buah dadaku kini menjadi pusat perhatian suamiku. Wajahnya terpukau, dan aku bisa merasakan ketulusan dalam caranya memandang. Ini adalah pertama kalinya dia melihat tubuh wanita dewasa, dan aku merasa bangga bisa membagi momen ini dengannya.

Naufal menundukkan wajahnya ke dadaku, menjilat dan menghisap putingku dengan lembut, membuatku mengerang pelan, terhanyut dalam rasa yang baru dan menggoda. Aku merasa seperti melayang dalam mimpi indah, tak ada yang bisa menggangguku saat ini.

Perlahan, Naufal membaringkanku di atas ranjang, menarik gaunku hingga hanya tersisa celana dalam. Baru saat itu, aku menyadari bahwa celana dalamku sudah basah. Aku merasa malu, berpikir apakah aku tidak sengaja mengompol. Namun, bau itu tidak seperti air kencing, melainkan aroma khas yang mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam. Aku berkeringat, meski kipas meja yang seharusnya mendinginkan ruangan ini lupa dihidupkan.

Naufal memandangku dengan ekspresi kaget ketika akhirnya dia melepaskan celana dalamku. Ini adalah pertama kalinya dia melihat vaginaku, dan aku merasa sedikit malu. Aku merasa sedikit malu. Bibir vaginaku terlihat besar dan berbulu, dengan klitoris yang tegang. Kulit di sana lebih gelap dibandingkan kulit tubuhku yang lain, memberikan kontras yang menarik di matanya. Namun, di balik semua itu, ada perasaan nyaman yang perlahan menyelimuti, mengetahui bahwa Naufal melihatku apa adanya, dengan segala ketidaksempurnaan yang kumiliki.

Saat dia menatapku, ada pemahaman dan kasih yang terpancar dari matanya, membuatku merasa diterima sepenuhnya. Naufal kemudian melepas celananya, memperlihatkan tubuhnya yang kini telanjang bulat di hadapanku. Aku terpana melihat penisnya yang tegang, sesuatu yang belum pernah kulihat secara langsung sebelumnya.

Naufal menindihkan tubuhnya di atasku, dengan hati-hati ia mulai memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Rasa sakit yang datang membuatku meringis, namun ada juga rasa penasaran yang tak bisa kutahan. Kali pertama, ia hanya bisa memasukkan sebagian kecil, lalu menariknya keluar dan mencoba lagi. Aku menahan napas, darah berdesir kencang ke kepalaku.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya pada percobaan kelima, Naufal berhasil memasukkan seluruhnya, dan saat itulah aku merasakan selaput daraku robek. Aku menjerit pelan, merasakan darah mengalir, menandai akhir dari masa gadisku. Namun, alih-alih merasa kehilangan, aku merasa seolah baru saja memasuki babak baru dalam hidupku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel