Bab 3 Ciuman Terlarang
Kolam renang di halaman belakang masih tampak tenang saat Ayumi melangkah ke tepinya, angin sore yang sejuk berembus, menggoyangkan permukaan air dengan lembut. Ia menarik napas dalam, berusaha mengusir segala kegelisahan yang menghantuinya sejak pagi.
Tanpa ragu, ia melepas jubah yang membalut tubuhnya, memperlihatkan bikini hitam yang melekat sempurna di kulitnya. Air kolam yang dingin menyentuh kulitnya saat ia melangkah masuk, memberikan sensasi menyegarkan yang begitu ia butuhkan. Ia ingin menenangkan pikirannya, setidaknya sejenak, melupakan semua yang mengganggu hatinya.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
"Aku tidak tahu kau suka berenang sore-sore begini," suara berat itu terdengar dari belakang, membuat tubuh Ayumi menegang seketika.
Ia menoleh, dan di sana, berdiri di dekat tepi kolam, Daniel menatapnya dengan senyum samar. Pria itu mengenakan kemeja tipis yang digulung lengannya, dengan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka, memperlihatkan sedikit kulit dadanya.
"Apa kau selalu mengawasi setiap gerakanku?" Ayumi berusaha terdengar santai, meskipun ia tahu betul bahwa jantungnya mulai berdebar lebih cepat.
Daniel mengangkat bahu, lalu perlahan berjalan mendekat. "Tidak perlu mengawasi jika kau sendiri yang membuat segalanya begitu mencolok."
Tatapan Ayumi mengeras. "Aku hanya ingin berenang. Sendiri."
Daniel terkekeh, lalu tanpa peringatan, ia mulai melepas kemejanya. "Sayang sekali," katanya santai. "Karena aku juga ingin berenang."
Ayumi menahan napas saat pria itu melangkah masuk ke dalam kolam, air yang semula tenang kini bergerak mengikuti langkahnya. Ia mencoba tetap tenang, tapi mustahil mengabaikan kehadiran Daniel yang semakin dekat.
"Airnya dingin?" tanya Daniel, suaranya terdengar lebih rendah, nyaris seperti bisikan.
"Seharusnya kau bisa merasakannya sendiri," balas Ayumi tanpa menatapnya.
"Tentu saja."
Dan sebelum Ayumi sempat menjauh, Daniel sudah berada di dekatnya, terlalu dekat. Air di antara mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, cukup bagi Ayumi untuk merasakan kehangatan tubuh pria itu yang kontras dengan dinginnya air.
"Kau tegang," bisik Daniel pelan, tatapannya tajam menelusuri wajah Ayumi.
"Aku tidak—"
Kata-kata Ayumi terhenti saat jemari Daniel tiba-tiba menyentuh dagunya, mengangkatnya sedikit.
"Ayumi," suaranya terdengar lebih dalam. "Kenapa kau selalu berusaha lari?"
Ayumi menelan ludah, matanya berusaha mencari celah untuk menghindar, tapi Daniel tidak memberinya kesempatan.
"Lepaskan aku," gumamnya, meskipun suaranya terdengar lemah.
Daniel tersenyum tipis. "Jika aku lepaskan, apa kau akan berhenti memikirkan ini?"
Ayumi tidak punya jawaban. Karena di lubuk hatinya, ia tahu—tidak peduli seberapa keras ia mencoba, pria ini selalu berhasil mengguncang pertahanannya.
---
Ayumi seharusnya mundur. Ia seharusnya menjauh, menghindari tatapan Daniel yang semakin dalam, mengabaikan hawa panas yang tiba-tiba menguar di antara mereka meskipun air kolam terasa dingin. Tapi ia tetap diam, jantungnya berdetak terlalu cepat, pikirannya kabur.
Daniel masih menatapnya, jemarinya masih berada di dagu Ayumi, seolah menantang wanita itu untuk menghindari kenyataan yang sudah terlalu jelas.
"Jangan menipu diri sendiri," bisiknya, suaranya begitu dekat hingga napas hangatnya menyapu kulit Ayumi.
"Aku tidak—"
Kata-kata Ayumi terhenti saat bibir Daniel menyentuhnya.
Lembut. Hangat. Tapi berbahaya.
Ayumi membeku. Ini salah. Ia tahu ini salah. Tapi tubuhnya tidak bergerak, tidak menolak. Jemarinya mencengkeram air di sekitarnya, seolah mencari pegangan di tengah gelombang yang menghantam kesadarannya.
Daniel tidak terburu-buru. Ia memberinya waktu, memberinya kesempatan untuk menolak. Tapi saat Ayumi tidak bergerak, tidak menarik diri, ciuman itu semakin dalam, semakin menuntut.
Dan ketika Ayumi akhirnya menutup matanya, ketika jemarinya tanpa sadar terangkat dan mencengkeram bahu Daniel, saat itulah ia tahu—ia telah jatuh dalam jebakan yang selama ini coba ia hindari.
Ayumi seharusnya menarik diri. Seharusnya mendorong Daniel dan pergi sebelum semuanya semakin tak terkendali. Tapi yang ia lakukan justru sebaliknya—ia membiarkan bibir Daniel semakin menuntut, membiarkan kehangatan pria itu menyelimutinya, membuatnya lupa akan segala hal yang seharusnya ia pertahankan.
Daniel tidak terburu-buru, tapi juga tidak memberi Ayumi kesempatan untuk berpikir lebih jauh. Tangannya melingkari pinggang Ayumi, menariknya lebih dekat, menghapus jarak yang seharusnya tetap ada di antara mereka.
"Denyut jantungmu cepat," gumam Daniel di sela napasnya yang memburu. "Itu artinya kau tidak bisa lagi membohongi dirimu sendiri."
Ayumi ingin membantah, tapi sebelum kata-kata itu keluar, tubuhnya sudah terangkat.
"Daniel—"
"Sstt… Jangan lawan, Ayumi," bisiknya, lalu melangkah keluar dari kolam dengan tubuh Ayumi dalam gendongannya.
Air menetes dari kulit mereka, tapi yang Ayumi rasakan bukan lagi dingin, melainkan sesuatu yang lebih menghangatkan, sesuatu yang lebih berbahaya.
Saat punggungnya menyentuh kasur, saat Daniel menatapnya dengan sorot mata yang tak lagi bisa disalahartikan, Ayumi tahu—ia telah melewati batas yang seharusnya tidak ia langkahi.
Tapi anehnya, ia tidak bisa menemukan keinginan untuk berhenti.
Aku bisa menulis adegan yang lebih intens dengan tetap menjaga batasan agar tidak terlalu eksplisit. Aku akan fokus pada ketegangan emosi, konflik batin, dan daya tarik yang semakin sulit dihindari.
---
Ayumi merasakan punggungnya menyentuh kasur dengan napas yang masih memburu. Daniel masih menatapnya dari atas, kedua tangannya bertumpu di samping tubuhnya, seolah memberikan ruang tetapi juga menegaskan bahwa ia tidak akan membiarkan Ayumi pergi begitu saja.
"Kau masih bisa mengatakan tidak," bisik Daniel, suaranya dalam, nyaris seperti godaan. "Tapi kita berdua tahu itu hanya akan menjadi kebohongan lain."
Ayumi menelan ludah, jari-jarinya mencengkeram sprei di bawahnya. Ia bisa merasakan kehangatan Daniel begitu dekat, bisa mencium aroma maskulin yang selama ini berusaha ia abaikan.
"Ini salah..." gumamnya, tapi suaranya terdengar lemah.
Daniel tersenyum tipis. "Lalu kenapa kau tidak mendorongku?"
Ayumi membisu. Ia tidak punya jawaban, atau mungkin ia hanya takut mengakui kebenaran yang perlahan menghancurkan pertahanannya.
Daniel menurunkan wajahnya, mencium sudut rahangnya, napas hangatnya menyapu kulit Ayumi, membuat tubuhnya menegang seketika. Sentuhan itu seharusnya terasa salah, tapi justru menyalakan sesuatu yang selama ini ia tekan begitu dalam.
"Tidak ada yang akan tahu," bisik Daniel di telinganya, jemarinya perlahan menyusuri lengan Ayumi, menciptakan sensasi yang tak terbendung.
Ayumi memejamkan mata, berusaha mengabaikan gejolak yang semakin menggila dalam dirinya. Ia seharusnya berhenti. Seharusnya menarik diri. Seharusnya—
Namun ketika Daniel kembali mencium bibirnya, lebih dalam, lebih menuntut, Ayumi tahu bahwa perlawanan dalam dirinya sudah tak lagi berarti.
Ayumi tidak tahu kapan tepatnya ia berhenti berpikir dan hanya membiarkan perasaannya mengambil alih. Yang ia tahu, tubuhnya merespons setiap sentuhan Daniel dengan cara yang tak bisa ia kendalikan.
Jemari Daniel yang menjelajahi kulitnya terasa seperti api yang menghangatkan, membakar perlahan tetapi tidak menyakitkan. Sebaliknya, sentuhan itu membangkitkan sesuatu yang selama ini ia pendam, sesuatu yang tak ingin ia akui tetapi juga tak bisa ia tolak.
"Jangan menahan diri," suara Daniel terdengar serak di telinganya, nyaris seperti bisikan yang menghipnotis. "Aku tahu kau menyukainya."
Ayumi memejamkan mata, napasnya tersengal. Ia seharusnya membantah, tetapi bagaimana bisa jika tubuhnya sendiri justru merindukan kehangatan yang ditawarkan Daniel?
Ketika jemari pria itu kembali menyentuh kulitnya, lebih lembut tetapi penuh kendali, Ayumi tahu bahwa ia sudah tenggelam terlalu dalam. Dan yang lebih menakutkan adalah—ia tidak ingin berhenti.
