Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Pergi keluar kota

Ayumi menahan napasnya, seakan udara di sekelilingnya mendadak begitu tipis. Kata-kata Daniel masih menggantung di udara, berdesir di telinganya seperti racun yang perlahan menyusup ke dalam pikirannya. Ia ingin menjauh. Ia harus menjauh. Tapi tubuhnya tetap diam, seakan kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Daniel tetap tak bergerak, hanya menatapnya dengan mata yang tajam dan penuh intensitas. Pria itu tidak menyentuhnya lagi, tidak mencoba memaksa, tapi justru itulah yang membuat Ayumi semakin terjebak. Karena tanpa sentuhan pun, kehadirannya sudah cukup untuk membuatnya goyah.

"Aku tidak ingin bermain-main denganmu, Daniel," suara Ayumi terdengar serak, hampir seperti bisikan.

Daniel menyeringai, ekspresi di wajahnya penuh percaya diri. "Aku tidak pernah bermain, Ayumi," jawabnya pelan, suaranya begitu rendah hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya. "Aku selalu tahu apa yang kuinginkan. Dan aku tahu kau juga merasakannya."

Ayumi menggeleng, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah ilusi. "Kau terlalu percaya diri," ucapnya, suaranya terdengar lebih tajam, meskipun ia tahu itu hanya pertahanan terakhirnya.

Daniel tertawa kecil, tetapi matanya tetap serius. "Bukan percaya diri," katanya, kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit, cukup hingga Ayumi bisa merasakan kehangatan napasnya di kulitnya. "Hanya saja, aku membaca bahasa tubuhmu terlalu jelas. Dan aku tidak bodoh untuk mengabaikannya."

Ayumi menggigit bibir bawahnya, menatap pria di hadapannya dengan perasaan bercampur aduk. Ia harus pergi. Ia harus menghentikan ini sebelum segalanya benar-benar lepas kendali.

Tetapi saat ia melangkah mundur, Daniel justru mengangkat tangannya, jari-jarinya yang panjang dan kokoh menyentuh dagunya, menahannya agar tetap dalam tatapannya.

"Ayumi," panggilnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Katakan padaku kau tidak menginginkannya. Katakan padaku kau tidak pernah membayangkannya."

Ayumi membeku. Ia ingin mengucapkan kata itu. Ingin berbohong, ingin menyangkal, ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak pernah, sedetik pun, merasakan sesuatu terhadap pria ini.

Tetapi bibirnya tetap tertutup. Tidak ada kata yang keluar.

Daniel tersenyum tipis, seolah jawaban Ayumi sudah sangat jelas baginya.

"Persis seperti yang kupikirkan," gumamnya, sebelum akhirnya perlahan, jemarinya turun dari dagu Ayumi, meninggalkan jejak panas yang membakar di sepanjang kulitnya. "Dan aku akan menunggu. Karena cepat atau lambat, kau akan menyerah juga."

Kemudian, tanpa mengucapkan apa pun lagi, Daniel berbalik, berjalan meninggalkan kamar dengan langkah yang tenang, meninggalkan Ayumi berdiri di tempat, terengah-engah, dengan pikiran yang kini benar-benar berantakan.

Ayumi berbaring di sisi tempat tidur dengan punggung menghadap Radit, matanya menatap kosong ke temaram lampu tidur yang memantulkan bayangan lembut di dinding kamar. Napasnya masih belum sepenuhnya stabil, dan pikirannya terus berputar, dihantui oleh tatapan Daniel yang tajam dan suara beratnya yang nyaris seperti bisikan di telinganya.

"Ayumi?"

Suara Radit yang serak membuat tubuhnya menegang sejenak. Ia segera mengatur napas, lalu berbalik, memasang ekspresi seramah mungkin. "Hmm?"

Radit mengerjap pelan, masih setengah mengantuk. "Kau baru masuk?"

Ayumi tersenyum tipis, berusaha terdengar biasa saja. "Aku tidak bisa tidur, jadi aku duduk di ruang tamu sebentar."

Radit mengangguk kecil, lalu menggenggam tangan Ayumi di bawah selimut, meremasnya lembut. "Kau baik-baik saja?"

Ayumi menelan ludah. Hatinya terasa semakin sesak. Suaminya ini tidak tahu apa-apa, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di dalam dirinya.

"Aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun suaranya terdengar lemah.

Radit menatapnya sejenak, lalu mendekat, mengecup keningnya dengan lembut. "Tidurlah. Besok kita ada makan malam dengan klien."

Ayumi mengangguk, tetapi matanya tetap terbuka saat Radit kembali memejamkan mata, kembali terlelap dalam tidurnya yang tenang.

Ia menghela napas panjang. Berusaha mengusir pikiran-pikiran yang seharusnya tidak ada. Berusaha menganggap semua yang terjadi malam ini hanyalah kesalahan sesaat yang bisa ia lupakan begitu saja.

Tapi suara Daniel terus menggema di kepalanya.

"Cepat atau lambat, kau akan menyerah juga."

Ayumi menutup matanya rapat-rapat, berharap gelap bisa menelannya sepenuhnya.

Ayumi masih duduk di tepi tempat tidur ketika Radit kembali berbicara, suaranya terdengar lebih serius kali ini.

"Ayumi, aku harus berangkat hari ini," katanya pelan, namun tegas.

Ayumi menoleh cepat, matanya membesar. "Hari ini?" ulangnya, nyaris tidak percaya.

Radit mengangguk sambil merapikan lengan kemejanya. "Ya, tiket sudah diatur. Aku akan terbang malam ini."

Ayumi menggigit bibirnya, mencoba menekan gelombang kegelisahan yang tiba-tiba melandanya. "Kenapa begitu mendadak?" tanyanya, meski ia tahu jawabannya mungkin tidak akan mengubah keadaan.

"Aku tidak punya pilihan," Radit menghela napas, lalu menatapnya dengan lembut. "Ini proyek penting. Aku sudah menundanya terlalu lama. Jika aku tidak pergi sekarang, akan ada banyak konsekuensi."

Ayumi menunduk, jari-jarinya mencengkeram ujung selimut. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam dirinya—bukan sekadar kesedihan karena akan ditinggal, tetapi lebih kepada ketakutan akan apa yang bisa terjadi saat Radit tidak ada di rumah.

Radit meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Aku tahu ini tidak mudah untukmu. Tapi kau tidak sendiri, Ayumi."

Ayumi mengangkat wajahnya, menatap suaminya dengan ekspresi bertanya.

"Daniel ada di sini," lanjut Radit. "Dia akan memastikan kau baik-baik saja selama aku pergi."

Jantung Ayumi mencelos.

Daniel.

Bayangan pria itu langsung memenuhi pikirannya—tatapan tajamnya, senyum penuh percaya dirinya, suara rendahnya yang bergema di kepalanya semalaman.

"Aku tidak mau merepotkan Daniel," Ayumi mencoba terdengar setenang mungkin.

"Tidak akan merepotkan," Radit tersenyum kecil. "Dia sudah kuberitahu. Dia bahkan setuju untuk mengurus beberapa hal di rumah selama aku pergi."

Ayumi ingin mengatakan sesuatu, ingin menolak, ingin memberikan alasan lain, tapi tenggorokannya terasa kering. Ia hanya bisa diam, menelan kegelisahan yang semakin membesar dalam dirinya.

Radit menepuk tangannya sebelum berdiri. "Aku akan menyelesaikan beberapa urusan sebelum berangkat nanti malam. Kau mau ikut mengantarku ke bandara?"

Ayumi mengangguk pelan, meski pikirannya masih berantakan.

"Baiklah," Radit tersenyum, lalu mengecup keningnya. "Aku percaya padamu, Sayang."

Kata-kata itu terasa seperti sebuah ujian yang begitu berat. Karena Ayumi tahu, bukan hanya dirinya yang sedang diuji saat ini—tetapi juga batas yang semakin kabur antara dirinya dan Daniel.

Hari itu terasa berjalan begitu cepat, seolah waktu mempercepat segalanya tanpa memberi Ayumi kesempatan untuk berpikir lebih lama. Sejak pagi, Radit sibuk dengan persiapan keberangkatannya—menyelesaikan beberapa dokumen, menerima telepon dari rekan-rekan bisnisnya, hingga mengatur koper yang akan dibawanya.

Ayumi hanya bisa mengamati dalam diam, pikirannya terus berkecamuk. Daniel juga ada di rumah, tapi sejak pagi, pria itu hampir tidak terlihat. Hanya sekali Ayumi sempat melihatnya melintasi ruang tamu, mengenakan kemeja kasual dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapan mereka sempat bertemu, dan seperti biasa, Daniel hanya menatapnya dengan senyum samar yang membuat dada Ayumi semakin sesak.

Ketika sore menjelang, Radit akhirnya bersiap untuk pergi. Ayumi mengikutinya ke lantai bawah, langkahnya terasa berat. Di depan pintu, Radit menatap istrinya dengan ekspresi lembut sebelum meraih kedua bahunya.

"Jaga dirimu baik-baik, Ayumi," katanya. "Aku akan sering menelepon."

Ayumi memaksakan senyum. "Ya, kau juga hati-hati di sana."

Radit menarik tubuh Ayumi ke dalam pelukannya, memberikan kecupan singkat di puncak kepalanya sebelum berbalik menuju mobil yang sudah menunggunya di halaman.

Saat mobil itu perlahan menjauh, Ayumi tetap berdiri di tempatnya, perasaan kosong menguasai dirinya. Ia bahkan tidak menyadari ada seseorang yang berdiri di dekatnya, hingga suara itu terdengar begitu dekat.

"Jadi sekarang kita hanya berdua di rumah ini."

Jantung Ayumi mencelos. Ia menoleh, mendapati Daniel berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Pria itu menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku, memiringkan kepala sedikit, lalu tersenyum tipis. "Kau kelihatan gelisah, Ayumi."

Ayumi menelan ludah, berusaha mengendalikan dirinya. "Aku tidak gelisah," jawabnya cepat.

Daniel terkekeh pelan. "Benarkah?" Ia melangkah sedikit lebih dekat, cukup hingga Ayumi bisa merasakan kehadirannya begitu nyata di sampingnya. "Atau kau hanya berusaha meyakinkan dirimu sendiri?"

Ayumi menoleh cepat, menatap pria itu tajam. "Daniel, aku tidak ingin bermain-main denganmu."

Daniel menatapnya balik, tidak sedikit pun terganggu oleh ketegangan di suara Ayumi. "Aku juga tidak bermain, Ayumi," katanya pelan. "Aku hanya mengingatkanmu… bahwa mulai malam ini, kita hanya berdua di rumah ini. Dan kau tahu persis apa artinya itu."

Ayumi merasakan napasnya tercekat. Ia harus pergi dari sini. Ia harus menjauh sebelum semuanya semakin tak terkendali.

Tapi bahkan sebelum ia bisa melangkah, Daniel sudah lebih dulu bersuara.

"Kau bisa mencoba menghindar," bisiknya pelan. "Tapi kita berdua tahu… cepat atau lambat, kau akan menyerah juga."

Kata-kata itu seakan menjadi palu godam yang mengguncang pertahanan terakhir Ayumi. Ia harus keluar dari sini. Sekarang juga.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel