Pustaka
Bahasa Indonesia

Gairah Ibu Tiri

6.0K · Ongoing
Ayu Andita
37
Bab
735
View
9.0
Rating

Ringkasan

GAIRAH IBU TIRI "Aku ini istri ayahmu, Daniel. Jangan bermain api." Namun, bagi Daniel Vladimir, api bukan untuk dihindari—melainkan untuk dikuasai. Sebagai pria dewasa yang penuh kendali, Daniel terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkannya. Dan kini, yang ia inginkan adalah Ayumi—ibu tirinya yang memesona, wanita yang seharusnya terlarang. Setiap lirikan tajam dan kedekatan tak sengaja hanya membuatnya semakin yakin bahwa Ayumi pun merasakan gejolak yang sama. Di sisi lain, Ayumi berusaha menolak. Ia adalah istri Radit Vladimir, pria yang telah memberinya kehidupan nyaman. Namun, bagaimana ia bisa berpura-pura buta saat Daniel terus menggodanya, menghadapkan dirinya pada fantasi terlarang yang perlahan menjadi nyata? Ketika batasan moral terkoyak dan godaan semakin menggila, akankah Ayumi tetap setia atau menyerah pada pria yang tak seharusnya ia miliki?

RomansaBillionaireDewasaLove after MarriageOne-night StandSweet

Bab 1 Sikap Aneh Daniel

Angin malam berembus pelan melalui jendela besar yang terbuka, menggoyangkan tirai tipis yang melambai di bawah cahaya remang lampu kamar. Ayumi berdiri di depan cermin rias, menyisir rambut panjangnya dengan gerakan lambat, seolah mencoba menenangkan diri dari perasaan tak menentu yang sejak tadi menghantui. Gaun satin yang membalut tubuhnya terasa begitu lembut, namun juga seperti belenggu yang mengingatkannya pada statusnya—istri dari Radit Vladimir, wanita terhormat yang tak seharusnya merasakan kegelisahan aneh setiap kali mendengar langkah kaki tertentu mendekat.

Dan langkah kaki itu kini terdengar lagi, berat, tenang, namun sarat dengan sesuatu yang membuat napasnya tertahan sejenak.

"Begitu larut, tapi kau masih terjaga." Suara berat itu bergema di kamar, dan Ayumi tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang berdiri di ambang pintu.

Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya berbalik, menatap Daniel Vladimir yang kini bersandar di kusen pintu dengan tangan terselip di saku celana. Pria itu mengenakan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga siku, memperlihatkan otot lengannya yang tegas, sementara rambut hitamnya sedikit berantakan, seolah baru saja keluar dari ruangan yang gelap dan penuh rahasia.

"Aku tidak bisa tidur," jawab Ayumi akhirnya, suaranya terdengar datar, meskipun ia tahu betul debaran di dadanya tak sekalem itu. "Kau sendiri? Mengapa masih di sini?"

Senyum tipis menghiasi wajah Daniel, senyum yang lebih sering terlihat sebagai ekspresi seseorang yang menikmati permainan yang hanya ia sendiri yang memahami aturannya.

"Aku baru saja pulang," katanya santai, melangkah masuk tanpa ragu sedikit pun, meski jarak di antara mereka masih cukup jauh. "Tapi tampaknya aku tak sendirian dalam kegelisahan malam ini."

Ayumi menggigit bibir bawahnya, enggan mengakui bahwa pria ini benar. Ia membuang pandangan, kembali menaruh sisirnya di meja rias sebelum mengusap lehernya yang terasa hangat tanpa alasan yang jelas.

"Jika kau hanya ingin berbasa-basi, Daniel, lebih baik kau kembali ke kamarmu," ucapnya, berusaha terdengar tegas, meskipun dirinya sendiri meragukan efektivitasnya.

Daniel tertawa pelan, nada suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang menggoda. "Kau ingin aku pergi?" tanyanya, alih-alih melangkah mundur, ia justru bergerak lebih dekat.

Ayumi mendongak, menatapnya dengan mata yang berusaha keras untuk tak goyah, meskipun pria itu kini berdiri begitu dekat, cukup dekat hingga ia bisa mencium samar aroma maskulin yang bercampur dengan sedikit wangi bourbon dari napasnya.

"Kau tahu batasannya, Daniel," bisiknya, nyaris tak terdengar.

Daniel menatapnya dalam, tatapan pria dewasa yang penuh dengan sesuatu yang tak seharusnya ia tunjukkan kepada wanita seperti Ayumi. Bibirnya terangkat membentuk seringai yang seolah berkata bahwa batasan itu hanyalah garis tipis yang bisa dengan mudahnya mereka hapus.

"Dan kau tahu," katanya, suara beratnya terdengar semakin dekat, "beberapa batasan memang dibuat untuk dilanggar."

Ayumi merasakan udara di antara mereka semakin menipis, seakan gravitasi yang tak kasatmata menariknya lebih dekat pada pria di hadapannya. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, berdentum keras di dadanya, seolah memberi peringatan terakhir sebelum segalanya melewati batas yang seharusnya tak tersentuh.

Daniel tetap diam, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. Tatapan tajam itu seolah menelanjangi segala pertahanan yang selama ini Ayumi bangun. Pria itu masih berdiri cukup dekat, napasnya yang hangat nyaris menyentuh kulitnya, dan Ayumi tahu, jika ia tidak bergerak sekarang, maka semuanya akan berubah.

Dengan cepat, ia memutar tubuhnya, membelakangi Daniel, mencoba menciptakan jarak yang aman. "Sudah malam. Kau seharusnya pergi," katanya pelan, suaranya sedikit bergetar meskipun ia berusaha terdengar tegas.

Namun, bukannya pergi, Daniel justru bergerak lebih dekat. Tanpa peringatan, jemarinya yang hangat menyentuh lengan Ayumi, begitu ringan, tetapi cukup untuk membuat tubuhnya menegang seketika.

"Kau yakin menginginkanku pergi?" bisik Daniel di belakangnya, suaranya dalam dan menggoda.

Ayumi memejamkan mata, mencoba mengabaikan sensasi yang menjalari kulitnya dari sentuhan sekilas itu. "Daniel, ini salah," katanya, hampir seperti sebuah permohonan, meski entah untuk siapa—untuk Daniel agar berhenti, atau untuk dirinya sendiri agar tak lagi merasakan godaan ini.

Daniel tertawa kecil, suaranya terdengar begitu tenang, seolah ia menikmati ketegangan yang memenuhi ruangan ini. "Salah? Atau kau hanya takut?" tanyanya, lalu tangannya terangkat, ujung jarinya menyentuh bahu Ayumi, perlahan turun sepanjang lengannya, meninggalkan jejak panas yang tak seharusnya ada.

Ayumi menahan napas, lalu tiba-tiba menepis tangan Daniel dengan gerakan cepat. Ia berbalik, menatapnya dengan tatapan yang penuh dengan emosi bercampur aduk. "Kau tidak mengerti, Daniel! Aku ini istri ayahmu!" serunya, suaranya lebih tinggi dari yang ia rencanakan.

Alih-alih terkejut atau mundur, Daniel justru tersenyum. Senyum tipis yang berbahaya, yang penuh keyakinan bahwa wanita di depannya sedang berperang dengan dirinya sendiri. "Dan aku pria dewasa, Ayumi. Jangan memperlakukanku seolah aku ini anak kecil yang tidak tahu apa yang diinginkannya," katanya, matanya menatap dalam, mengunci pandangan Ayumi seakan menantangnya untuk menyangkal perasaan yang sudah terlalu nyata.

Ayumi menggeleng, mencoba menguatkan dirinya, tetapi getaran dalam dadanya tak bisa ia abaikan. "Ini tidak boleh terjadi," bisiknya, entah kepada Daniel atau kepada dirinya sendiri.

Daniel tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menatapnya lama, seakan memberikan waktu bagi Ayumi untuk menghadapi ketakutan terbesar yang sedang menghantuinya. Kemudian, dengan gerakan lambat, ia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, cukup hingga Ayumi bisa merasakan kehangatan yang begitu berbahaya dari pria itu.

"Lalu kenapa kau tidak menjauh?" bisiknya di dekat telinganya, membuat Ayumi membeku di tempat.

Ayumi menahan napasnya, seakan udara di sekelilingnya mendadak begitu tipis. Kata-kata Daniel masih menggantung di udara, berdesir di telinganya seperti racun yang perlahan menyusup ke dalam pikirannya. Ia ingin menjauh. Ia harus menjauh. Tapi tubuhnya tetap diam, seakan kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Daniel tetap tak bergerak, hanya menatapnya dengan mata yang tajam dan penuh intensitas. Pria itu tidak menyentuhnya lagi, tidak mencoba memaksa, tapi justru itulah yang membuat Ayumi semakin terjebak. Karena tanpa sentuhan pun, kehadirannya sudah cukup untuk membuatnya goyah.

"Aku tidak ingin bermain-main denganmu, Daniel," suara Ayumi terdengar serak, hampir seperti bisikan.

Daniel menyeringai, ekspresi di wajahnya penuh percaya diri. "Aku tidak pernah bermain, Ayumi," jawabnya pelan, suaranya begitu rendah hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengarnya. "Aku selalu tahu apa yang kuinginkan. Dan aku tahu kau juga merasakannya."

Ayumi menggeleng, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah ilusi. "Kau terlalu percaya diri," ucapnya, suaranya terdengar lebih tajam, meskipun ia tahu itu hanya pertahanan terakhirnya.

Daniel tertawa kecil, tetapi matanya tetap serius. "Bukan percaya diri," katanya, kemudian mencondongkan tubuhnya sedikit, cukup hingga Ayumi bisa merasakan kehangatan napasnya di kulitnya. "Hanya saja, aku membaca bahasa tubuhmu terlalu jelas. Dan aku tidak bodoh untuk mengabaikannya."

Ayumi menggigit bibir bawahnya, menatap pria di hadapannya dengan perasaan bercampur aduk. Ia harus pergi. Ia harus menghentikan ini sebelum segalanya benar-benar lepas kendali.

Tetapi saat ia melangkah mundur, Daniel justru mengangkat tangannya, jari-jarinya yang panjang dan kokoh menyentuh dagunya, menahannya agar tetap dalam tatapannya.

"Ayumi," panggilnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Katakan padaku kau tidak menginginkannya. Katakan padaku kau tidak pernah membayangkannya."

Ayumi membeku. Ia ingin mengucapkan kata itu. Ingin berbohong, ingin menyangkal, ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak pernah, sedetik pun, merasakan sesuatu terhadap pria ini.

Tetapi bibirnya tetap tertutup. Tidak ada kata yang keluar.

Daniel tersenyum tipis, seolah jawaban Ayumi sudah sangat jelas baginya.

"Persis seperti yang kupikirkan," gumamnya, sebelum akhirnya perlahan, jemarinya turun dari dagu Ayumi, meninggalkan jejak panas yang membakar di sepanjang kulitnya. "Dan aku akan menunggu. Karena cepat atau lambat, kau akan menyerah juga."

Kemudian, tanpa mengucapkan apa pun lagi, Daniel berbalik, berjalan meninggalkan kamar dengan langkah yang tenang, meninggalkan Ayumi berdiri di tempat, terengah-engah, dengan pikiran yang kini benar-benar berantakan.