Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

9. Kamu di mana Parni?

"Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?" tanya Bu Parti heran. Begitu pun juga Parmi yang sama herannya.

"Cincinnya terbang kali, Bu," sahut Parmi polos. Bu Parti sampai melotot pada Parmi sambil menggelengkan kepala.

"Yang terbang itu otak kamu, Parmii..., udah ke dalam dulu potongin kue yang tadi dibawakan dokter Alan," sewot Bu Parti sambil berbisik pada anaknya. Parmi meraba kepalanya, "tapi otak Parmi masih ada ini, Bu." Balas Parmi.

"Iya emang masih ada, tapi sudah ga terlalu berfungsi. Udah ke dalam dulu bawain kuenya!" Parmi pun bangun dari duduknya,berjalan ke arah dapur. Bu Parti memandang serius kembali pada kedua tamu yang duduk di depannya ini.

"Jadi bisa dokter ceritakan kenapa cincin Parni ada di apartemen anak ibu? Apa Parni ke sana?"

"Begini Bu Parti, jika saya boleh tahu, Parni pergi dari rumah hari apa?"

"Jumat."

"Oh...," Bu Miranti dan suaminya saling pandang.

"Maaf, coba ibu lihat video ini. Apakah ini Parni? Karena kami sudah lama sekali tidak melihatnya," terang Bu Miranti sambil menunjukkan penggalan video CCTV yang ada di ponselnya pada Bu Parti.

Bu Parti melihat layar datar tersebut sambil mengerutkan kening, kemudian mata melotot tajam.

"I-ini Parni, dia ... diapain ini, Bu?" tanya Bu Parti terbata. Tangannya gemetar memegang ponsel Bu Miranti.

"Mmm...," Pak Alan menahan tangan istrinya, dan memberi kode agar dia saja yang bicara pada Bu Parti.

"Saya sebagai orang tua Ali, memohon maaf atas nama anak saya, karena anak saya sudah, mmm... sudah...,"

"Sepertinya anak saya, sudah merebut mahkota Parni," tutur Pak Alan dengan suara bergetar.

"Apa?!" pekik Bu Parti yang kemudian memegang dadanya sesak.

"Bu!" panggil Pak Alan yang menghampiri Bu Parti yang kini sudah pingsan.

****

Di lain tempat, tepatnya di kota Surabaya, Parni sedang berjalan menyusuri trotoar mencari pekerjaan. Dua hari sudah ia di Surabaya, sudah mendapatkan kos-kosan yang lumayan murah, karena masuk ke dalam gang kecil. Tetapi Parni masih belum memiliki pekerjaan. Peluhnya menetes membasahi baju kemeja yang ia pakai. Ikatan rambutnya pun berantakan karena lelahnya Parni berjalan hari ini.

Sebuah warung soto yang terletak di pinggir jalan raya, adalah pilihan Parni untuk beristirahat sejenak, sekalian ia mengisi perutnya yang keroncongan. Ia masuk ke dalamnya, celingak-celinguk bermaksud memilih tempat duduk yang paling pojok.

"Silahkan," ucap pelayan warung soto yang memakai seragam kaus hijau. Parni tersenyum tipis, berjalan ke meja paling pojok di warung soto tersebut.

"Mau pesan apa, Mbak?"

"Soto daging dengan nasi, minumnya teh tawar hangat."

"Baik, tunggu sebentar ya."

"Eh, tunggu, Mbak! Tambahkan jus mangga ya. Tapi dibungkus saja jusnya."

"Baik, Mbak."

Parni mengendarkan pandangannya ke sekitar warung soto tersebut. Semua meja hampir terisi penuh, karena memang waktunya jam makan siang. Parni tersenyum getir tatkala persis di depannya, seorang lelaki sedang menyuapi wanitanya.  Persis seperti dirinya dulu saat bersama Iqbal, lelaki itu selalu saja memaksa menyuapinya, padahal sudah ia tolak karena malu. Air matanya menggenang, tak sanggup rasanya melihat adegan suap-suapan di depan sana, Parni memilih membuang pandangan ke arah lain.

Kali ini, matanya menangkap sesosok lelaki muda berkaca mata yang sedang mengusap sayang perut istrinya yang sudah membuncit. "Takkan aku pernah merasakan seperti itu," gumam Parni dalam hati. Hatinya kembali teriris ketika mengingat masa-masa di mana ia masih bersama Iqbal.

"Ini pesanannya, Mbak. Selamat menikmati," ujar ramah seorang pelayan sambil meletakkan pesanan Parni di atas meja.

"Terimakasih," sahut Parni sambil tersenyum. Ia pun mulai menikmati setiap suapan yang memanjakan tenggorokannya siang ini. Begitu sedap dan segar, apalagi ditambah tiga sendok sambal soto yang menambah nikmat makan siang Parni.

Setelah menghabiskan makanannya dan membayar tagihan makannya, Parni masih duduk termenung. Belum ingin beranjak ke mana pun. Ia memiih menikmati lalu-lalang orang yang keluar masuk dari warung soto. Parni berdiri dari duduknya, lalu berjalan ke arah kasir.

"Mbak, apakah di sini sedang membutuhkan tukang cuci piring?" tanya Parni ragu.

"Lho kok Mbak tahu? Benar sekali kami kekurangan orang untuk cuci piring dan bersih-bersih di belakang," jawab kasir itu sambil berbinar. Ia berjalan memutari meja kasir, lalu membawa Parni masuk ke dalam ruangan yang cukup rapi.

"Tunggu sebentar di sini ya, saya bilang ibu dulu!"

Parni berdiri di dekat kursi, memilih tidak duduk karena merasa sungkan.

"Mbak, silahkan masuk." Wanita yang betugas sebagai kasir, membuka lebar pintu ruangan yang di dalamnya sudah ada wanita paruh baya yang sangat cantik.

"Permisi, Bu. Perkenalkan nama saya Parni." Parni memberikan senyum terbaiknya pada wanita paruh baya di depannya.

"Saya Farida, panggil saja ibu Farida," terang Bu Farida memperkenalkan diri.

"Jadi kamu mau bekerja di sini sebagai tukang cuci piring?"

"I-iya, Bu. Saya mau."

"Oke, kamu digaji satu juta ya. Jika dalam tiga bulan kinerja kamu bagus, baru saya naikkan menjadi satu juta lima ratus. Bagaimana?"

"Alhamdulillah, baik Bu. Tidak apa-apa. Kapan saya mulai bekerja, Bu?"

"Mulai hari ini."

"Baik, Bu. Terimakasih banyak." Dada Parni bergemuruh penuh haru. Tak disangka-sangka akhirnya ia memperoleh pekerjaan di warung soto besar ini.

****

Bu Parti masih terbaring lemah di brangkar rumah sakit. Ucapan Pak Alan membuat penyakit jantungnya kambuh. Tentu saja Pak Alan yang juga berprofesi sebagai seorang dokter merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Bu Parti.

Pak Alan dan juga istrinya yang melarikan Bu Parti ke rumah sakit saat itu juga. Tentu saja Parmi tidak bisa ikut, karena ada tiga anak kembarnya yang tidak bisa ditinggal. Parmi meminta suaminya yang menyusul dokter Alan ke rumah sakit.

Anton sudah sampai di ruang perawatan mertuanya. Nampak ibu mertuanya terbaring lemah menutup mata, namun ada air mata yang membasahi kedua pipinya. Baik Parmi dan Anton belum mengetahui yang sebenarnya terjadi.

"Assalamualaikum," sapa Anton di depan kamar perawatan kelas VIP itu. Pak Alan dan istrinya menoleh, lalu tersenyum tipis pada Anton.

"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" tanya Anton menghampiri keduanya sambil berjabat tangan.

"Sudah lebih baik," jawab Bu Miranti.

"Ada apa ya, Dok? Kok sampai ibu saya kena serangan jantung. Setahu saya saat minggu lalu kontrol jantung, semuanya dalam keadaan sehat." Anton ikut duduk di sofa persis bersampingan dengan Dokter Alan.

Dengan wajah sendu, Pak Alan menceritakan kejadian sebenarnya pada Anton. Bahkan memperlihatkan cincin Parni yang ditemukan di apartemen Ali, serta penggalan video CCTV hotel yang memperlihatkan Parni membantu Ali masuk ke dalam kamar apartemen, sampai Parni keluar lagi dalam keadaan tidak baik.

"Ya Allah," lirih Anton dengan dada bergemuruh. Pantas saja kakak iparnya itu terlihat seperti hilang akal, ternyata mahkotanya direnggut Ali dan Ali tidak tahu kalau wanita itu adalah Parni. Kini Anton pun bisa menarik kesimpulan, bahwa saat makan malam bersama Iqbal, Parni bertemu dengan Ali di restoran yang berada di apartemen Ali.

"Kami akan membuat Ali bertanggung jawab Nak Anton, Ali akan segera kami minta kembali ke Indonesia," terang Pak Alan.

"Tapi kami semua tidak tahu Teh Parni kabur ke mana, Pak," lirih Anton sambil meremas rambutnya. Matanya kini beralih pada ibu mertuanya yang terlihat sangat lemah berbaring di sana.

"Apa bapak dan ibu tahu? Harusnya sabtu nanti kakak ipar saya akan menikah."

"Apa?!" pekik Pak Alan dan Bu Miranti bersamaan.

"Ya Allah, jadi bagaimana Nak Anton?" isak Bu Miranti sungguh merasa bersalah.

"Teh Parni sudah membatalkan pernikahannya dan sekarang pergi tidak tahu ke mana. Semoga saja Teh Parni tidak sampai hamil karena perbuatan bejat anak bapak dan ibu." Anton menatap sinis keduanya.

Pak Alan hanya bisa memijat pelipisnya kuat, sungguh tidak akan menyangka ditimpa ujian berat seperti ini melalui Ali.

"Saya akan bantu cari, dan kami pastikan Ali akan bertanggung jawab," ujar Pak Alan tegas, diikuti anggukan kencang dari istrinya.

Anton hanya bisa memandang kepergian Pak Alan dan juga istrinya yang pamit pulang. Lalu kembali duduk di sofa sambil mengeluarkan ponsel untuk menelepon Parmi, guna memberi kabar tentang ibunya.

Hallo sayang. Papa sudah di rumah sakit, ibu sedang tidur.

Bagaimana kondisi ibu, Pa?

Doakan saja baik-baik saja.

Sukurlah. Ibu takut ,Pa. Emangnya ada apa sih, Pa?

Besok papa ceritakan di rumah ya.

Ya sudah, eh iya Pa. Paket tas totte bag Syarini, sudah sampai. Makasih ya sayangku, cintaku, bantalku, gulingku, pujaan hatiku, atm berjalanku. He he he ... Besok kalau pulang dari rumah sakit, ibu double service, atas bawah, depan belakang he he he ...

Ha ha ha... ya sudah papa pulang sekarang saja ya.

****

Ali sudah sampai di Berlin, kini sedang berada di dalam taksi menuju asrama tempat Emir, sepupu Fajar yang kuliah di Humboldt. Ali mendapatkan alamat Emir dari Fajar. Keduanya memang ikut tes seleksi, namun sayang sekali Fajar tidak lolos, sedangkan Ali lolos. Saat ini di Berlin pagi hari, sedangkan di Indonesia siang hari.  Ali membuka ponselnya, ada beberapa pesan masuk dari kedua orangtuanya. Dan beberapa panggilan yang dilakukan orang tuanya, namun tidak ia jawab karena menonaktifkan ponselnya saat berada di pesawat tadi.

Yang kamu perkosa adalah Parni, kakanya Parmi.

Mata Ali melotot tajam pada ponselnya.

"Ya Allah, tidak mungkin," gumam Ali sambil menggelengkan kepala tidak percaya.

****

Ramaikan vote dan komentarnya yaa????

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel