Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Kelurga Ali Menemui Parni

Selamat membaca

"Sayang, masa lipstik ibu yang mahal dibawa Teh Parni," rengek Parmi pada suaminya yang saat ini sedang menyantap makan siangnya dalam kamar, sebelum berangkat mengajar.

"Yang mana?" tanya Anton.

"Yang dua juta itu, Pa. Yang suka dipake Syahrini."

Hukk..hukkk...

Anton tersedak. Parmi dengan cekatan memberikan minum pada suaminya.

"Kok mahal betul lipstiknya, Bu?"

"Ish, kan biar kenyal itu lho, Pa. Ga kriuk kayak bibir Teh Parni."

"Ya sudah nanti beli lagi. Jangan mahal-mahal, Bu. Sayang uangnya."

"Iya, ibu mau beli lipstik yang dipakai Nikita Mirzani aja, Pa. Murah lima ratus ribu, ibu mau beli empat buat stok. Seksi tahu Pa, siapa tahu bibir ibu bisa kayak Nikita Mirzani, gini nih, bibirnya." Parmi memonyongkan bibirnya di depan Anton.

Anton syok, menatap wajah istrinya yang sangat menggemaskan saat ini. Apalagi saat istrinya sedang membuka baju kausnya, untuk merayu dirinya.

"Lima ratus dikali empat ya dua juta, sayang," terang Anton sambil terkekeh.

"Ya sudah kalau tidak boleh!" Parmi memakai kembali baju kaus yang sudah ia buka tadi.

"Ha ha ha ha ...," Anton terbahak keras. Bahkan, ia meninggalkan piring makannya, dengan sigap menggendong Parmi, lalu membawanya ke atas ranjang.

*****

"Pa, cepat susulin Ali!" ujar Bu Miranti panik, bahkan kakinya melangkah menjauhi area parkir.

"Ada apa, Ma?" tanya Pak Alan tak kalah heran.

"Ica menemukan cincin di kolong meja di apartemen Ali..., ah...sudah nanti saja ceritanya, ayo sekarang kita balik lagi ke sana. Biar mama sambil telepon Ali," terang Bu Miranti dengan langkah lebar kembali menyusul Ali yang sudah mau ke dalam, dan sepertinya sedang menunggu di ruang tunggu.

"Awas, Ma. Mobil, hati-hati menyebrangnya," ucap Pak Alan pada istrinya. Kemudian menyebrang kembali, berjalan tergesa menemui petugas keamanan bandara yang menjaga pintu keberangkatan.

"Pak, permisi. Maaf, saya mau menemui anak saya, sudah masuk ke dalam bisa tidak ya?" tanya Bu Miranti pada petugas tersebut.

"Maaf, ibu dan bapak tidak bisa masuk ke dalam, kecuali penumpang. Coba ditelepon saja anaknya, minta keluar sebentar," ujar petugas tersebut mengusulkan.

"Baiklah," sahut Bu Miranti tak yakin. Namun jemarinya terus saja memencet nomor Ali, meskipun tidak juga tersambung.

Pak Alan memadang istrinya dengan tatapan bertanya-tanya, "ada apa sih, Ma?" tanya Pak Alan.

"Cincin yang ditemukan Ica di apartemen Ali, ada namanya, Pa. Parni," tutur Bu Miranti dengan wajah pucat. Sedangkan Pak Alan tergugu, ia sangat familiar dengan nama tersebut.

"Maksud mama, apakah mungkin Parni kakaknya Parmi?" tebak Pak Alan tidak yakin.

"Maka dari itu, Pa. Ali harus kita hentikan kepergiannya," rengek Bu Miranti sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

Pak Alan hanya bisa memijat pelipisnya, lalu pandangannya beralih pada petugas keamanan, "jika memanggil anak saya melalui intercom tidak bisa ya?" tanya Pak Alan dengan gusar.

"Maaf, anak bapak tujuannya ke mana?" tanya petugas tersebut.

"Berlin."

"Pesawat ke Berlin baru lima menit yang lalu lepas landas, Pak. Maaf sekali," ujar petugas tersebut dengan senyum simpati.

Bu Miranti dan suaminya hanya bisa tertunduk lemas, bahkan keduanya hanya bisa duduk di kursi tunggu depan pintu keberangakatan, tanpa tahu harus melalukan apa.

"Kita ke apartemen Ali, kita bawa cincin itu pada keluarganya, semoga bukan Parni kakaknya Parmi. Aduh, Ma. Papa malu banget, mau ditaruh di mana muka kita, kalau sampai benar Parni yang kita kenal," tutur Pak Alan jengkel.

"Aamiin, semoga bukan, Pa," jawab Bu Miranti sedih.

"Ya sudah ayo kita pergi ke apartemen Ali," ujar Pak Alan menggandeng tangan istrinya kembali berjalan ke tempat parkir mobil mereka.

Sepasang suami istri itu sudah kembali membelah jalan menuju apartemen anaknya. Harus hari ini juga mereka memastikan keberanaran yang terjadi. Sedikit ngebut dalam berkendara, akhinya satu jam kemudian mereka sampai di apartemen Ali.

Dengan tergesa, Bu Miranti memencet kode kunci apartemen Ali. Kemudian keduanya masuk. Sudah ada Ica di ruang TV yang menunggu kedatangan kedua orang tuanya.

"Ma, ini!" tunjuk Ica sambil memberikan cincin yang ia temui. Bu Miranti memandang cincin tersebut, lalu dengan seksama memperhatikan nama yang terukir di sana. Bu Miranti memperlihatkannya pada suaminya.

"Ma, ini bukan Teh Parni kakaknya Teh Parmi'kan?" tanya Ica penasaran. Karena Ica memang belum tahu yang sudah terjadi pada abangnya.

"Kok bisa ada di kamar Bang Ali?" tanya Ica lagi dengan penasaran.

"Kayaknya bukan, Ca," sahut Bu Miranti berpura-pura di depan Ica.

"Nama Parni itu jarang lho, Ma," lanjut Ica lagi sambil menaitkan kedua alisnya.

"Mama bawa dulu, ya. Kamu baik-baik di sini. Mama dan Papa berangkat dulu," ujar Bu Miranti sambil menarik cepat tangan suaminya.

"Jaga diri, Ca. Jangan begadang!" seru Pak Alan mengingatkan puteri bungsunya.

"Iya, Pa," sahut Ica, sambil menutup kembali pintu apartemen.

Keduanya kembali berkendara, kali itu tujuannya adalah rumah Parmi. Dada Bu Miranti berdebar, begitu suaminya. Bahkan Pak Alan sudah menyeka berkali-kali telapak tangannya yang basah akibat nervous yang berlebihan. Firasat keduanya kuat, Parni yang dimaksud adalah Parni kakaknya Parmi, yang sudah direnggut kehormatannya oleh Ali.

Keduanya berhenti di sebuah toko kue, Bu Miranti berinisiatif untuk memberikan buah tangan untuk Parmi dan juga keluarganya. Aneka kue dan roti dalam jumlah banyak dibeli oleh mereka. Tidak jauh dari sana, ada pula toko buah. Pak Alan memutuskan untuk membeli parcel buah juga untuk keluarga Parmi. Setelah semuanya dimasukkan ke dalam mobil, mereka pun melanjutkan perjalanan.

"Pa, kalau benar Parni pemilik cincin ini adalah Parni kakanya Parmi, bagaimana?" tanya Bu Miranti dengan suara bergetar.

"Papa yang akan susul Ali ke Berlin, Papa akan menikahkan Ali dan Parni di sana," sahut Pak Alan tegas, "mau cinta atau tidak, Ali harus bertanggung jawab," lanjutnya lagi sambil menahan gelisah.

Mobil Pak Alan melaju pelan ketika memasuki kawasan perumahan Parmi. Mereka meraba-raba di mana rumah itu persisinya, karena sudah setahun tidak berkunjung. "Rumah Parmi ada pohon sawo di depannya Pa. Blok C kalau tidak salah," ujar Bu Miranti memberitahu. Pak Alan berbelok masuk ke area Blok C, kemudian berhenti di pos keamanan setempat.

"Permisi, Pak. Mau tanya rumah ibu Parmi tahu tidak ya?" tanya Bu Miranti pada petugas keamanan yang berjaga.

"Bu Parmi yang anaknya kembar tiga, Bu?"

"Iya, betul."

"Lurus saja dari sini, kemudian dua blok belok kanan, Bu. Ada pohon sawo besar di pekarangannya," terang petugas tersebut.

"Baik, Pak. Terimakasih." Pak Alan melajukan mobilnya kembali, menujur rumah Parmi. Memarkirkan mobilnya di depan pagar.

"Pa, mama mules. Takut disemprot sama keluarga Parmi," ujar Bu Miranti sambil memegang perutnya.

"Tidak akan, kita datang kemari hanya untuk memastikan saja. Mama tidak perlu berbicara apapun, biar papa." Pak Alan menenangkan istrinya. Keduanya turun dari mobil sambil membawa turut serta aneka oleh-oleh yang tadi mereka beli.

Bu Parti yang kebetulan sedang duduk di ayunan taman bersama Aleta, ikut berjinjit. Melihat mobil siapa yang berhenti di depan rumah.

"Ikut nenek yuk, lihat siapa tamunya," ajak Bu Parti sambil menggendong Aleta, membawanya untuk membuka pagar.

"Assalamua'laykum," seru Bu Miranti dan Pak Alan serempak.

"Wa'alaykumussalam. Sebentar ya!" sahut Bu Parti, sambil membuka gembok pagar.

Keduanya tersenyum pada Bu Parti, "siapa ya?" tanya Bu Parti pada kedua tamunya.

"Saya Dokter Alan dan ini istri saya Miranti. Kami yang waktu itu..."

"Ohh, iya ya... saya ingat. Ayo mari masuk!" Bu Parti memberi jalan pada tamunya.

"Anaknya Parmi ya, Bu?" tanya Bu Miranti.

"Eh, iya Bu. Benar, yang dua lagi sedang main sama ibunya di taman belakang," terang Bu Parti.

"Silahkan duduk, Bu-Pak! Saya panggilkan Parmi dulu," ujar Bu Parti ramah mempersilakan kedua tamunya duduk. Kemudian ia pun pergi ke belakang, untuk memanggil Parmi.

Bu Miranti dan Pak Alan menunggu Parmi dengan resah. Keduanya saling pandang dengan wajah yang sama pucatnya.

"Pak dokter, ibuu...," seru Parmi sambil tersenyum lebar menghampiri keduanya, lalu mencium punggung tangan keduanya dengan hikmat. Bahkan Parmi memeluk erat Bu Miranti yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri.

"Apa kabar Parmi?" tanya Bu Miranti.

"Sehat, Bu. Ibu dan bapak sehat juga'kan?"

"Alhamdulillah."

"Mama...," panggil Andrea dan Andini yang berjalan dengan lucu ke arah Parmi.

"Sini sayang, salim sama Oma dan Opa." Parmi melebarkan tangannya, menyambut Andrea dan Andini. Kedua bayi kembar itu dituntun oleh Parmi untuk mencium punggung tangan Bu Miranti dan Pak Alan.

"Ini Andrea,Oma. Kalau yang ini Andini. Itu yang digendong ibu, Aleta," terang Parmi.

"Lucu banget sih Parmi, anaknya kembar tiga gini," puji Bu Miranti tulus, sambil memangku Andrea.

"Mmm...Teh Parni apa kabarnya?" tanya Pak Alan tiba-tiba. Tepat saat Bu Parti membawakan nampan berisi air minum untuk tamunya.

Parmi canggung, bahkan ia tidak menyahut. Ekor matanya melirik ibunya yang kini ikut duduk di sampingnya.

"Mmm ..., sehat Bu," jawab Parmi gugup.

"Oh, syukurlah. Saya tidak melihatnya, apa Parni sedang keluar?" tanya Bu Miranti.

"Iya, Bu. Keluar tidak balik lagi, sudah dua hari," terang Parmi.

"Oh, ya Allah," gumam Pak Alan dan Bu Miranti bersamaan. Keduanya saling pandang.

"Ini, Bu. Mmm... kami ke sini, selain silaturahim, kami juga ingin klarifikasi tentang sesuatu," ucap Pak Alan.

"Klapirikasi apa ya, Dok?" tanya Parmi dengan alis bertaut.

"Klarifikasi, Mi," terang Bu Parti membetulkan ucapan anaknya.

"Iya, kasi apaan?" tanya Parmi ngotot. Bu Miranti dan suaminya sekuat tenaga menahan tawa.

"Maaf, Bu-Pa. Kalau bicara dengan Parmi, harus dalam keadaan darah rendah. Sebab setiap ucapannya, mampu membuat darah tinggi yang mengakibatkan stroke," terang Bu Parti sambil memaksakan senyumnya.

"Jadi begini, Bu. Saya menemukan ini di apartemen Ali." Pak Alan memberikan cincin pertunangan Parni pada Bu Parti.

"Ada namanya, Parni."

"Eh iya, Dok. Ini benar cincin anak saya, seminggu yang lalu bertunangan," jawab Bu Parti dengan mata berkaca-kaca.

Bu Miranti dan Pak Alan memucat. Bahkan Bu Miranti sekuat tenaga menahan tubuhnya agar tidak limbung.

"Kenapa cincin pertunangan anak saya ada di apartemen anaknya Pak Dokter?"

****

Saya kalau bagian ngetik Parmi, pasti ngakak bae.??? Duh, gemesin ga sih Parmi dan Anton???

Bagaimana kelanjutan Parni dan Ali. Seperti apa reaksi Bu Parti selanjutnya ?

Cuz vote dan ramaikan kolom komentar yaa.???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel