10. Masih Mencari Parni
Ali termenung menatap langit-langit kamarnya. Setelah menerima telepon dari mamanya, membuat Ali malas untuk ke kampus hari ini. Samar-samar, penggalan mimpinya sepekan ini, menari-nari di pelupuk matanya. Seorang wanita merintih sedih dan memanggilnya dirinya dengan sebutan 'Den'.
Ali meremas rambutnya kasar, inilah jawaban dari mimpinya. Parnilah yang ternyata telah ia gagahi. Dan dia harus menikahi Parni secepatnya, setelah keberadaan Parni diketahui. Itulah yang tadi mamanya sampaikan sambil terisak.
"Apa jadinya menikah tanpa cinta?" gumamnya tipis sambil mengusap wajahnya. Ia benar-benar merasa menyesal dengan semua perbuatannya, seandainya waktu bisa diputar kembali, tentulah ia tidak ingin masuk ke dalam club dan minum-minum. Namun semua sudah terjadi dan ia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.
Ali menggeleng keras, saat suara rintihan itu kembali masuk mengisi gendang telinganya. Bahkan bulu kuduknya meremang, daun telinganya ikut memerah. Dan tanpa adab, senjatanya bergerak di bawah sana, hingga Ali melotot kesal, "apa-apaan nih? Kok bergerak, ah...sial!" pekik Ali kesal. Ia memilih bangun dari ranjangnya dan memilih keluar kamar asrama mencari udara segar.
****
Parni sedang sibuk di dapur, membantu Eko membuat pesanan jus mangga. Bolak-balik Parni menelan salivanya, rasanya sudah benar-benar di ujung lidahnya. Betapa segarnya jus bewarna kuning bercampur es batu dan juga susu, di depan matanya ini. Sungguh menggoda tenggorokannya.
Eko menoleh pada Parni, "mau?" tanya Eko sambil tersenyum.
"Emang boleh?" tanya Parni malu-malu.
"Beli," jawab Eko datar sambil menuangkan jus mangga ke dalam dua gelas jus.
"Iya, nanti aku beli," sahut Parni sambil lalu, membawa nampan berisi dua gelas jus mangga.
Setelah mengantarkan pesanan, Parni kembali ke dapur untuk melanjutkan tugas utamanya, yaitu mengangkat piring kotor bekas tamu kemudian mencucinya sampai bersih, serta tidak boleh tercium bau sabun. Parni benar-benar membaui piring, gelas, dan mangkuk yang ia cuci.
"Ni!" panggil Eko yang bersandar di tembok dapur , tempat Parni tengah mencuci piring.
Parni menoleh, "ada apa?" tanya Parni.
"Ini, buat kamu. Masih ada sisa sedikit tadi. Tenang aja, bukan bekas orang kok, aku bikinnya..."
"Terimakasih," sela Parni cepat, segelas jus mangga kini sudah berselancar di tenggorokannya.
Glek...
Glek...
"Ah, nikmatnya," gumam Parni sambil membersihkan sisa jus mangga di kedua sudut bibirnya. Eko teman Parni, hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Parni, "kamu persis seperti istriku saat sedang ngidam," celetuk Eko kemudian berlalu dari hadapan Parni.
Parni tertegun, dadanya tiba-tiba berdebar hebat. Kakinya pun lemas, tak mampu menopang tubuhnya, sehingga Parni memilih duduk di kursi plastik, sambil sambil mengatur debaran di dadanya.
"Mbak, piringnya udah ditungguin!" seru Nadia, sang pelayan yang bertugas menyiapkan pesanan.
"Ah, iya. Sebentar," jawab Parni gugup. Berusaha sekuat tenaga untuk kembali melanjutkan aktifitasnya mencuci semua piring dan gelas.
Dengan menggunakan keranjang besar, Parni mengangkat piring, mangkuk, dan gelas yang sudah dicuci. Tak lupa ia juga mengeringkannya dengan lap khusus. Agar alat makan itu kembali bisa langsung digunakan.
Tidak terasa, langit pun gelap. Parni menatap pemandangan di depannya. Tak hentinya lalu-lalang tamu warung soto, padahal sudah pukul sembilan malam. Kaki Parni sudah pegal, pinggangya juga sakit, dan matanya pun mengantuk. Mungkin ini efek hari pertama ia bekerja.
Parni mengusap peluhnya, beberapa kali menguap lebar sambil melangkah kembali ke dapur kotor, untuk mencuci piring. Panci-panci besar, wajan, toples-toples kosong, aneka sutil dan perabotan masak lainnya juga sudah sebagian ia cuci.
"Alhamdulillah, habis juga," ujar Luna sambil membawa nampan piring kotor pada Parni.
"Alhamdulillah, tamunya sudah habis, Lun?" tanya Parni.
"Ada tiga meja lagi, Mbak. Tapi paling ga, sebentar lagi kita bisa pulang," ujar Luna sambil merenggangkan pinggangnya di kursi plastik. Duduk santai sembari memperhatikan Parni mencuci piring.
"Mbak Parni asli mana?" tanya Luna.
"Saya dari Jakarta," jawab Parni.
"Oh, Jakarta di mananya Mbak?"
"Di ..., Mmm..., Tanjung Priok," sahut Parni asal. Tentu ia tidak mau orang lain mengetahui hal banyak tentang dirinya.
Setelah berbincang sebentar, cucian piring rapi, dapur juga sudah bersih dan rapi. Parni dan enam orang karyawan lainnya tengah bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Parni sudah berjalan menyusuri trotoar, sedangkan teman yang lain pulang dengan kendaraan masing-masing. Eko mengajak Parni untuk ikut tumpangannya, tapi Parni menolak halus. Ia memilih berjalan menikmati angin malam yang menyapa hangat kulit tubuhnya.
Setelah berjalan setengah jam, akhirnya Parni sudah sampai di kos-kosan tepat pukul sepuluh malam. Ia memilih untuk segera mandi, kemudian sholat isya. Walaupun tubuhnya sangat lelah hari ini, tetapi ada kelegaan sedikit, karena ia sudah bekerja. Parni mengulum senyum, ia berharap bisa melupakan semua kejadian pahit dalam hidupnya.
Sebelum mematikan lampu kamar, Parni mengambil ponselnya. Kemudian menyalakannya, tentu dengan menggunakan nomor baru, sedangkan nomor lama sudah ia buang, saat dalam perjalanan menuju Suabaya. Parni memencet nomor ponsel Parmi, adiknya. Ia harus memberi tahu keluarganya, bahwa ia baik-baik saja.
Hallo Assalamualaikum, siapa ini?
Parni.
Iya saya Parmi, ini siapa ya?
Parni, Mi.
Iya saya Parmi, kamu siapa?
Parni boloooot, ini aku teteh kamu Parni binti Ujang Sunandar.
Kok kamu tahu nama ayah saya?
Mati deh gue, ini Tetehmu PARNI!
Apa? Ini Teh Parni? Ya Allah, alhamdulillah, teteh sekarang di mana? Ayo cepat pulang. Mau dinikahi sama Ali.
Apa?
Ish, budeg ya? Teteh mau dinikahi sama ALI!
Yang budeg itu lu Parmi. Gak, teteh ga mau pulang!
Teteh jangan bercanda, Ali mau tanggung jawab, Teh. Orang tuanya sudah ke sini.
Gak mau. Teteh ga mau nikah tanpa cinta, nanti sengsara kayak kamu. Lupakan saja, teteh juga sudah ikhlas. Sudah jadi cobaan buat teteh. Udah dulu ya, teteh di sini sehat-sehat saja. Kamu jaga ibu ya, salam buat kembar. Assalamualaykum.
Teh, hallo...teteh!
"Yah, kok ditutup?" Parmi mendesah kecewa, tetapi ia cepat juga memencet kembali nomor panggilan Parni, tetapi sudah tidak aktif kembali. Dengan gusar, Parmi berjalan keluar dari kamar, sudah ada ibu mertuanya Bu Rasti, ibunya serta suaminya Anton sedang berbicara di ruang televisi.
"Ada apa, sayang?" tanya Anton
"Pa, ini tadi Teh Parni telepon."
"Apa?" Bu Rasti, Anton, dan juga Bu Parti berjengkit kaget.
"Iya ini!" Parmi menyerahkan ponselnya pada Anton. Lalu Anton mencoba menghubungi nomor Parni kembali, tetapi tidak aktif.
"Sayang yakin ini Teh Parni?" tanya Anton pada istrinya.
"Iya, sayang. Yakin sekali. Telinga ibu'kan sudah sembuh. Jelas kok tadi dengar suara Teh Parni," terang Parmi antusias.
"Ga tahu kenapa, kalau Parmi yang cerita keyakinan saya cuma tiga puluh persen, Mbak. Sisanya takut anak saya salah dengar," sela Bu Parti pada besannya, sedangkan Bu Rasti sudah menahan tawa mendengar ucapan Bu Rasti.
"Parni bilang apa, Mi?" tanya ibunya.
"Kata Teh Parni dia baik-baik saja, ibu tidak perlu khawatir. Teh Parni tidak mau dinikahkan dengan Ali, katanya nikah tanpa cinta itu nanti sengsara. Dia sudah ikhlas dengan ujian yang menimpa dirinya," ujar Parmi panjang lebar. Membuat yang ikut mendengarnya, terdiam. Bu Parti bahkan tidak bisa mengatakan apa-apa, selain air mata yang sudah berarak di pelupuk matanya.
****
Bu Miranti dan Pak Alan kini sudah duduk di ruang tamu Anton. Menanti Bu Parti yang masih berada di dalam kamar kedatangan mereka ke rumah Anton adalah untuk memastikan keadaan Parni. Tidak lama kemudian, Bu Parti keluar dari kamarnya, dengan wajah datar menghampiri tamu yamg sudah duduk menunggunya.
"Silahkan minum!" ujar Bu Parti ketika ia sudah mengistirahatkan bokongnya di sofa ruang tamu.
"Terimakasih, Bu," sahut Bu Miranti.
"Kami datang kemari untuk menanyakan perihal Parni, kami dengar dari Anton bahwa Parni sempat menghubungi Parmi." Bu Miranti menatap wajah Bu Parti dengan berdebar.
"Iya, tetapi kami tidak bisa menghubunginya lagi. Dan Parni berkata ia ikhlas, dia tidak mau dinikahi oleh Ali," terang Bu Parti sedatar mungkin, tetapi air matanya sudah kembali menganak sungai.
Bu Miranti dan Pak Alan terhenyak, keduanya bahkan saling pandang dengan tatapan tak percaya. "Jadi maksud saya, Parni memaafkan Ali. Sudah jangan ganggu keluarga kami lagi," ujar Bu Parti menegaskan sambil berdiri dari duduknya.
"Tapi, Bu...," potong Bu Miranti cepat, menahan lengan Bu Parti.
"Anak kami mau tanggung jawab, benaran Bu," ucap Bu Miranti bersungguh-sungguh.
"Iya saya tahu, tapi anak saya tidak mau," balas Bu Parti tak kalah tegas.
"Bu, jangan seperti ini. Bujuk Parni agar mau menerima Ali," pinta Bu Miranti.
"Anak saya pada dasarnya baik dan bertanggung jawab, Bu. Tetapi alkohol membuatnya lupa diri," terang Bu Miranti lagi.
"Kalau dia lelaki baik, tidak mungkin dia mencium bibir Parni dengan rakus di belakang rumah setahun lalu, saat semua orang sibuk pada acara aqiqah." Bu Parti melipat kedua tangannya di dada.
"Apa?!" kali ini suara Pak Alan yang terdengar begitu kaget.
"Sudahlah, bapak dan ibu sebaiknya pulang. Ini sudah mau magrib," ucap Bu Parti sebelum kembali masuk ke dalam rumahnya.
Pasangan paruh baya itu, dengan pasrah keluar dari rumah Anton. Pak Alan sudah menahan marahnya dengan kepalan tangan, ia tidak menyangka Ali pernah mencium bibir Parni dalam keadaan sadar.
"Bagaimana, Pa?" tanya Bu Miranti saat mereka sudah berada di dalam mobil.
"Papa tidak tahu, Ma," jawab Pak Alan sambil menggelengkan kepala.
*****
Sementara itu di warung soto tempat Parni bekerja, kembali ramai pengunjung. Tak henti-hentinya Parni mencuci piring, mangkuk, serta alat makan lainnya. Tubuhnya serasa sangat lelah dan pegal, kepalanya juga pusing dan perutnya sedikit mual sejak pagi.
"Teh, mau lihat anak Bu Farida ga?" bisik Luma pada Parni.
"Mana?" tanya Parni.
"Sini!" Luna menarik tangan Parni, mengintip dari balik gorden pembatas antar dapur kotor dan dapur bersih.
"Tuh!"
"Waduh, cantik sekali," puji Parni dengan mata melotot, seperti baru saja bertemu artis.
"Namanya Suraya, model majalah dewasa. Lihat saja pakaiannya kekurangan bahan gitu," bisik Luna pada Parni.
"Oh." Parni membulatkan mulutnya membentuk huruf O, sambil manggut-manggut.
"Ya jelas saja cantik, Mbak. Kalau muka kayak saya, pasti jadi model majalah hewan melata," sahut Parni datar, tetapi malah membuat Luna tertawa cekikikan.
Uueekk...
"Mbak, ga papa?" tanya Luna pada Parni.
"Ah, ga papa. Cuma masuk angin saja," sahut Parni kikuk, lalu kembali melanjutkan acara cuci piringnya.
****
Di dalam kamarnya, Anton dan Parmi baru saja melakukan aktifitas malam, saat ketiga bayi kembarnya sedang bermain bersama nenek-neneknya di luar sana. Anton memeluk erat tubuh istrinya yang hanya tertutup selimut. "Kenapa Teh Parni tidak mau pulang ya, Pa? Sayang sekali," bisik Parmi di dada suaminya.
"Entahlah, Papa juga tidak tahu sayang," jawab Anton.
"Ck, lipstik ibu jadi ga balik deh," rengek Parmi manja.
****