Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. Parni Positif

Langit biru begitu indah menghiasi kota Berlin. Udara pagi yang sejuk, ditambah sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan, membuat banyak orang di kota itu memulai aktifitasnya dengan senyuman lebar. Tak terkecuali para calon mahasiswa-mahasiswi Universitas Humboldt, dengan canda tawa riang berjalan beriringan masuk ke area kampus, untuk menyelesaikan semua administrasi kuliah. Kegiatan perkuliahan masih dua pekan lagi baru dimulai, tetapi calon mahasiswa dan mahasiswi di sana sudah begitu antusias.

Ali diantar oleh Emir menuju pusat administrasi kampus tersebut. Sekalian Emir mengenalkan lingkungan baru bagi Ali. Untung saja Emir memiliki karakteristik serius, persis seperti Fajar, sepupunya sekaligus teman Ali. Sehingga Ali dapat dengan mudah bergaul dengan Emir.

"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Emir saat memperhatikan Ali yang sedari dari hanya diam, sambil menggerak-gerakkan kepalanya.

"Kamu punya stok tolak angin?" tanya Ali.

"Kamu masuk angin?" tanya Emir balik.

"Ha ha ha ..., sedari tadi kita main tanya-tanya terus, tanpa jawaban," tawa Ali menggema di lorong FE kampus.

"Aku ga punya tolak angin, tapi tidak jauh dari sini ada minimarket yang menjual tolak angin, karena pemiliknya orang asli Indonesia," terang Emir bercerita.

"Wow, keren sekali, orang Indo punya minimarket di sini?" puji Ali takjub.

"Hampir semua mahasiswa Indonesia kalau ga enak badan, atau mau ngemil, pasti larinya ke minimarket itu," terang Emir lagi.

"Oke, aku masuk dulu. Kamu tinggal lurus saja, nanti ada tulisannya di papan," pamit Emir begitu sudah sampai di depan kelasnya. Sebenarnya hari ini tidak ada perkuliahan, ia hanya mengikuti kelas menulis yang dibuat oleh salah satu dosen bahasanya. Ya, Emir memang kuliah jurusan Ekonomi, tetapi begitu menyukai dunia literasi.

"Makasih, Mir. Nanti aku tunggu di kursi taman depan ya. Temani beli tolak angin," ujar Ali sambil menganggukkan kepala.

"Oke," jawab Emir.

Mereka berpisah di depan pintu kelas Emir, Ali melanjutkan langkahnya ke ruang admininstrasi kampus Fakultas Ekonomi Manajemen. Sedangkan Emir masuk ke ruang  kelas.

Uueek...

Ali kembali merasakan enneg di perutnya. Sudah tiga hari seperti ini, stok tolak angin dan obat anti mabuk yang ia bawa dari rumah sudah keburu, tetapi rasa mual dan pusingnya belum juga hilang.

Ali duduk di kursi tunggu, karena sudah ada lima mahasiswa mengantre. Ia mengistirahatkan tubuhnya sejenak, karena rasanya begitu tidak nyaman. Ali mengambil ponsel, lalu mengetik pesan untuk mamanya.

Ma, apa sudah ada kabar dari Teh Parni?

Ali menunggu balasan pesan itu dengan risau, karena tak kunjung dibaca oleh sang mama. Sekarang gilirannya untuk masuk, mencoba keras menahan mual dan pusing di tengah hiruk pikuk suasana kampus.

"Bitte setzen!"

"Danke," Ali duduk di depan petugas administrasi kampus.  Mencoba membuka matanya lebar, karena kepalanya kini berputar-putar.

"Geht es dir gut?" tanya wanita setengah baya yang memandang wajah Ali sedikit pucat.

"Im' oke," jawab Ali sambil mengangguk.

"Ich bat um eine legalisierte Akte aus Indonesien und ein Anschreiben vom Campus," pinta wanita tersebut.

Belum sempat Ali mengambil berkas dari dalam ranselnya, pandangannya sudah benar-benar gelap.

Bugh!

Ali pingsan, dan membuat ruangan administrasi menjadi heboh.

****

Sementara itu, di warung soto yang selalu ramai pengunjung, membuat Parni tak hentinya bermain air cucian piring. Meskipun sudah menggunakan apron, tetap saja sebagian bajunya basah, kecipratan air. Keringat pun membanjiri wajah dan tubuhnya. Lemas sekali sudah tiga hari ini, Parni bermonolog.

"Mbak Parni, dipanggil Non Suraya!" seru Eko dari depan pintu dapur kotor. Parni menoleh, kemudian mengangguk. Setelah memastikan tangannya kering, lalu ia membuka apron yang ia kenakan. Berjalan ke ruang kantor sembari menekan sudut kepalanya yang terasa nyeri.

Tok... tok...

"Masuk!" suara seorang wanita di balik pintu, terdengar begitu merdu di telinga Parni.

"Non Raya memanggil saya?" tanya Parni.

"Iya, sini duduk!" titah Suraya sambil menunjuk kursi di depannya.

"Ibu Farida sedang keluar ya?" tanya Parni.

"Iya," jawab Suraya sambil menatap Parni dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Ada apa ya, Non?"

"Katanya Mbak Parni bisa merajut?"

"Bisa, tetapi tidak mahir. Hanya biasa saja," sahut Parni sambil tersenyum.

"Bisa buatkan saya tas model seperti ini tidak? Sekalian tempat pensilnya, jadi sepasang gitu," terang Suraya sambil menunjukkan selembar kertas, berisi gambar tas ransel rajut pada Parni.

"Wah, bagus sekali Non, tapi saya tidak pernah membuat yang susah seperti ini." Parni memperhatikan kertas itu dengan seksama.

"Saya kasih waktu minggu depan, kalau bisa selesai, saya akan bilang mama untuk naikin gaji Mbak, gimana? Tenang, saya juga pasti bayar tas rajut juatan Mbak Parni."

"Mmm... saya tidak janji ya, Non. Tetapi saya usahakan," jawab Parni.  Ia berusaha sekuat mungkin menahan mual, karena parfum yang dipakai anak bosnya ini begitu mengganggunya.

"Saya permisi, Non," ujar Parni bergegas keluar dari ruangan Suraya.

Uueekk...

Parni memuntahkan isi perutnya di kamar mandi. Matanya sampai berair, perutnya juga perih akibat muntah yang tak kunjung reda.

"Mbak, kamu sakit?" tanya Luna sembari mengetuk pintu kamar mandi.

"Iya, nih masuk angin. Orang kelonan sama air cucian melulu," sahut Parni sambil mencuci wajahnya.

Kleek...

Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Luna mengulum senyum atas jawaban Parni tadi.

"Saya ada tolak angin, mau ga?" tawar Luna.

"Tolak miskin ada ga?" tanya Parni.

"Ha ha ha ..., Mbak Parni bisa aja. Itu mah saya udah duluan habisin kalau ada obat tolak miskin," jawab Luna sambil terkekeh.

"Ya sudah, mau deh!" kata Parni. Luna mengambil dompet berukuran sedang dari dalam tasnya, lalu mencari obat tolak angin di sana.

"Nih, minum Mbak!" titah Luna.

Parni menerima obat tersebut dari tangan Luna, lalu dengan cepat meminumnya. Sangat berharap rasa mual dan pusing ini segera sembuh. Luna kembali melayani tamu di depan, sedangkan Parni kembali melanjutkan tugasnya mengelap piring, mangkuk, dan alat makan lainnya.

****

Ali baru saja sadar dari pingsannya. Sudah ada Emir di sampingnya dan seorang mahasiswi yang terlihat seperti orang Indonesia. Beberapa kali mengerjapkan matan, mencoba melonggarkan saraf kepalanya yang terasa kaku.

"Sykurlah, Li. Kamu sudah sadar." Terlihat raut kelegaan dari wajah Emir.

"Ini di mana?"

"Ini klinik kampus, gratis buat mahasiswa yang imunnya loyo kayak kamu," sindir Emir sambil menyeringai.

"Aku kenapa?" tanya Ali pada Emir.

"Darah rendah, anemia," jawab Emir.

"Oh, pantas saja berkunang-kunang terus kepalaku," sahut Ali.

"Oh iya, kenalkan ini Farah, mahasiswi angkatan sama seperti kamu. Tapi sepertinya kalian beda kelas," terang Emir memperkenalkan Farah.

"Farah."

"Ali Hakeem."

Keduanya berkenalan, kemudian dilanjutkan ngobrol ringan seputar kampus dan Indonesia tentunya. Farah mengeluhkan ia belum bisa menikmati makanan halal di sini, sedangkan Ali lebih mengeluhkan kondisi kesehatannya yang menurun semenjak pindah ke Berlin.

Beep...

Ponsel Ali bergetar, ia meminta izin pada Farah dan Emir untuk mengangkat teleponnya. Yang ternyata panggilan itu dari mamanya.

Hallo , Ma. Assalamualaykum.

Wa'laykumussalam. Kamu kenapa suaranya, Li?

Oh ini, Ma. Saya kekurangan darah, jadi pingsan tadi di kampus.

Apa? Terus bagaimana?

Sudah diperiksa dokter dan dikasih obat. Mudah-mudahan, uuueekkk...

Ali, kamu beneran ga papa?

Tidak apa, Ma. Nanti habis minum, uueeekkk...

Sudah dulu ya, Ma.

Ya sudah jaga diri, Parni belum ditemukan ada di mana. Doakan saja segera ada kabar. Ingat! Jangan sampai kamu naksir cewek bule, karena kamu punya tanggung jawab di Jakarta.

Iya, Ma. Paling main mata doang, siapa tahu emang jodohnya cewek bule, Ma. Pasti cucu mama nanti cakep.

Ga ridho mama kalau kamu sampe dapat cewek bule. Dah, jangan macam-macam!

Tuut...tuut...

"Mama kamu?" tanya Farah.

"Iya, biasa deh cerewet banget, ga boleh ini, ga boleh itu." Ali memutar bola mata malasnya.

"Ya sudah, katanya mau ke minimarket. Jadi ga?" tanya Emir.

"Jadi dong, ayoklah. Aku sudah tidak apa-apa," jawab Ali sembari bangun dari duduknya.

Ketiganya berjalan keluar kampus, menuju minimarket yang ternyata tidak jauh dari rumah tante Farah. Tempat di mana Farah tinggal selama kuliah di Humboldt. Ali mendapatkan aneka obat di minimarket tersebut. Mulai dari Tolak ****n, Han***last, Bo**ex, Mixag***b, dan masih banyak yang lainnya.

"Kamu mau jualan obat?" tanya Farah heran.

"Cakep sih, tapi kalau penyakitan sayang sekali," sindir Farah yang diikuti tawa Ali dan Emir.

****

Parni membeli buah potong pada seorang pedangang buah keliling. Ada nanas, mangga, jambu air, bengkuang, dan juga melon. Kebetulan sekali pedagang buah keliling tersebut, berhenti di pelataran warung soto tempat Parni bekerja.

"Lihat deh, Mbak Parni itu makan asem-asem terus dari kemaren," bisik Luna pada Lia sambil menunjuk Parni yang tersenyum lebar membayar belanjaan buahnya.

"Masuk angin kali," sahut Lia.

"Muntah-muntah juga," tambah Luna lagi.

"Ya iya, masuk angin pasti muntah-muntah. Ga mungkin batuk-batuk," sahut Lia meninggalkan Luna yang mencebik Lia.

Pandangan Luna kembali menyapu halaman parkir depan, ke mana Mbak Parni.

"Eh ya Allah, siapa itu jatuh?" teriak Luna berlari ke parkiran.

"Ya Allah, Mbak Parni. Eko...Ujoo... tolong!" teriak Luna kalut, melihat Parni yang tergeletak pucat di area parkir.

Eko, Ujo dan Udin yang menjaga parkir, menggotong tubuh imut Parni masuk ke dalam warung. Kemudian meletakkan Parni di sebuah kamar istirahat.

"Saya panggil Dokter Wulan di sebelah ya!" tawar Eko, tanpa menunggu balasan Luna, Lia dan yang lainnya, sudah melesat memanggil Dokter Wulan, yang membuka klinik kecil di samping warung soto mereka.

Hanya dua menit menunggu, Dokter Wulan pun sampai, lalu dengan cepat memeriksa Parni. Memang Parni sudah sadar, hanya saja masih terbaring lemas. Ditemani Luna, Dokter Wulan memeriksa Parni dengan intensif.

"Mbak sudah menikah?" tanya Dokter Wulan.

"Eh, mmm... belum," sahut Parni gugup.

"Kapan terakhir haid?"

"Tiga pekan lalu," jawab Parni dengan dada berdebar.

"Mmm...periksa urine ya!" Dokter Wulan mengeluarkan tes pack dari tas selempang yang ia bawa. Lalu memberikannya pada Parni. Wanita itu menerimanya dengan ragu, jangankan Parni, Luna pun ikut berdebar, saat Dokter Wulan meminta Parni memeriksa urine.

Parni masuk ke kamar mandi, lalu memeriksa air seninya persis petunjuk yang tertera di sampul tespack. Dengan bibir gemetar, tubuh lemas, Parni melihat dua garis biru tertera di sana. Matanya mengerjap beberapa kali, tidak! Pasti tesp pack ini salah. Gumam Parni tidak terima.

"Bagaimana, Mbak? Sudah?" tanya Dokter Wulan.

Parni keluar dari kamar mandi dengan gemetar, lalu perlahan mengulurkan test pack itu pada Dokter Wulan, "apa ini ma-maksudnya, Dok?" tanya Parni terbata.

"Mbak Parni sedang hamil, garis dua tandanya positif."

****

Translate

# Bitte setzen artinya silahkan duduk.

# Danke artinya terimakasih.

# Geht es dir gut? artinya apa kamu baik-baik saja?.

# Ich bat um eine legalisierte Akte aus Indonesien und ein Anschreiben vom Campus artinya saya minta berkas legalisir dari Indonesia serta surat pengantar dari kampus.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel