HMT 6 - WANITAKU
Sore yang dingin dengan rintik-rintik hujan gerimis. Alex sedang duduk menghadap kanpas putih yang masih kosong. Entah apa yang akan dia lukis sore ini, Alex termenung sambil mencari ide.
Insident di rumah Tessa kemarin membuatnya gelisah sepanjang malam. Bahkan saat dia bermimpi, kejadian di kamar mandi yang dirinya lihat. Tessa yang cantik dan handuknya yang basah, Alex tersenyum sendiri saat mengingatnya.
Ya Tuhan ... mengapa dia jadi kepikiran Tessa terus?
Tidak bisa begini! Alex menggelengkan kepalanya. Sadarlah Alex! Tessa sudah bersuami! Jadi, mana mungkin wanita itu mau menerimanya.
Apa?
Menerima? Menerima apa?
Diusap wajah itu dengan kedua tangan. Alex tampak pusing. Benar, dia menyukai Tessa. Alex menyadari hal itu dengan cepat. Ya, dia pria dewasa. Jadi, dia tahu jika hatinya sedang terpaut akan seseorang.
Namun, mengapa Tessa?
Leo akan menembak kepalanya jika sampai mengetahui dia yang diam-diam menyukai istrnya. Astaga Alex ... berhentilah memikirkan Tessa atau kau akan masuk ke dalam masalah yang besar!
Masih kebingungan memikirkan Tessa, Alex belum juga mendapat ide untuk melukis. Sejak kembali dari rumah sebelah tadi malam, Alex tahu jika dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Ting tong!
Suara bel pintu membuyarkan lamunan Alex. Astaga, siapa yang datang? Pria itu bergegas bangkit. Kepala Alex menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka.
Sangat jarang ada tamu yang datang ke rumah. Tidak mungkin juga Tracy sudah pulang jam segini. Alex masih berpikir dan belum bergegas untuk melihat siapa yang datang.
Bagaimana jika ibu mertuanya yang datang? Bisa jadi, karena sebulan ini ibunya Tracy tidak datang berkunjung. Biasanya ibu mertua akan datang setiap kali Tracy menerima gaji.
Memkirkan ibu menrtuanya yang datang, Alex menjadi malas. Dia amat tidak suka bertatap muka dengan ibunya Tracy yang matre itu. Wanita tua itu hanya akan menghinanya saja seperti yang sudah-sudah.
Bagaimana ini? Apakah dia biarkan saja bel itu terus berbunyi dan menggangguk konsentrasinya?
Persetan dengan ibu menrtua matre itu! Namun, bagaimana jika orang lain yang datang? Semisal, Tessa mungkin.
Tessa?
Mustahil sih, tapi tak ada salahnya jika dia melihatnya lebih dulu. Siapa tahu memang Tessa yang datang.
Alex menyingkirkan semua rasa curiga di hatinya. Dengan berharap Tessa yang datang, pria itu bergegas menuju pintu.
Sementara itu, di depan pintu rumah Alex terlihat seorang wanita yang sedang berdiri. Sesekali dia menekan bel keemasan di samping pintu. Entah apa yang sedang pemilik rumah lakukan. Mengapa lama sekali membuka pintu?
Tessa Young, wanita itu kelihatan cantik dengan dress selutut warna dusty. Bahan yang tipis melambai-lambai tertiup angin sore yang dibarengi dengan gerimis.
Rambut panjangnya tergerai rapi. Kotak makanan berukuran sedang dipegangnya dengan kedua tangan.
Dari garis jendela, Alex menelan ludah kasar melihat siapa yang datang.
Tessa?
Dia nyaris tidak percaya. Wanita yang sedang bermain di kepalanya malah muncul dengan nyata di depannya saat ini. Tak banyak berpikir lagi, tangan Alex segera menyambar handle pintu mahoni di depannya.
"Selamat sore, Alex. Maaf jika aku mengganggumu. Aku kesini karena ingin membawakan kue yang baru saja selesai aku buat."
Tessa tersenyum amat manis usai bicara seperti itu pada Alex. Pria di ambang pintu dibuatnya tertegun sesaat.
"Sama sekali tidak mengganggu. Ayo masuklah," ucap Alex setelah puas memandangi Tessa.
Wanita itu kembali menyunggingkan senyum termanisnya, dan jantung Alex mulai berdebar-debar dibuatnya. Dengan sopan, dia menggiring Tessa yang cantik masuk rumah.
Sambil berjalan di depan Alex, Tessa memindai seluruh ruangan yang dilewatinya. Rumah Alex lebih besar dari rumahnya. Ada banyak furniture mahal juga di sana. Beberapa lukisan yang terpampang di dinding mengalihkan perhatian Tessa.
"Kalian menyukai lukisan ya?" tanyanya sambil memandangi sebuah lukisan berukuran besar yang terpampang pada dinding ruang tamu.
Alex mengangguk saat Tessa menoleh padanya. Pria itu kemudian maju sampai sejajar dengan Tessa. Mata Alex turut memandangi lukisan besar di depan mereka.
"Tracy menyukai lukisan, dan ini adalah karya pertamaku yang paling dia sukai," tukas Alex.
Tessa sedikit tercengang. Dia menoleh pada Alex. "Kau yang melukisnya? Wah, lukisan ini sangat bagus dan tidak kalah dengan karya Leoanrd Davinci!" pujinya dengan kagum.
Alex tersenyum sipu mendengarnya. Pujian Tessa membawa hatinya melambung tinggi ke angkasa. "Terima kasih atas pujiannya, tapi ... sungguh aku masih amatiran. Leonard Davinci, beliau idolaku juga."
"Wah, kau suka merendah ya, Pak Alex." Tessa tersenyum manis sambil menyenggol lengan pria di sampingnya.
Alex hanya tersenyum manis menanggapi. Sumpah demi apa pun, baru kali ini hatinya terasa sangat senang akan pujian seseorang. Memang, Tracy juga sering memujinya. Namun, pujian dari Tessa sungguh terasa amat berkesan dan lain.
Setelah melewati ruang tamu, Alex mengajak Tessa menuju ruangan di mana dirinya melukis. Tessa sangat senang melihat ada banyak lukisan karya Alex di ruangan itu.
Hati Alex bahagia tak terhingga, Tessa tak henti memuji-muji semua karyanya.
Ruangan yang cukup luas. Ada puluhan lukisan di sana. Beberapa ada yang ditutupi oleh kain putih. Alex mengatakan, semua lukisan yang ditutup kain putih merupakan karyanya yang istinewa.
Tessa mengangguk paham. Namun, dia ingin melihat lukisan yang katanya istinewa itu. Alex pun memberinya kesempatan.
"Apa yang kau lukis ini? Aku hanya melihat jari-jemari wanita saja." Tessa mengernyitkan dahi sambil menatap lukisan di depannya. Itu salah satu lukisan Alex yang katanya istinewa. Namun apa yang dilukis di sana, Tessa tidak paham.
Alex tersenyum tipis, lantas berkata, "Wanitaku, nama lukisan ini. Lukisan ini belum selesai aku buat," ucapnya sambil memandangi lukisan di depan mereka.
Tessa menoleh pada Alex. "Wanitaku, pasti ada makna tersembunyi dalam lukisan ini. Namun, mengapa kau belum menyelesaikannya?"
Alex tidak buru-buru menjawabnya. Dibasahi bibirnya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Tessa. "Wanitaku, merupakan karyaku yang paling sulit, karena menggunakan subjek yang tidak biasa."
"Tidak biasa?" Tessa menatap heran.
Alex mengangguk. "Ya, wanita dalam lukisan itu tak memakai apa pun alias telanjang. Sementara tak ada wanita yang mau menjadi subjeknya meski Tracy sekalipun," jelasnay.
Tessa terkejut sesaat, lantas dia kembali memnadangi lukisan di depannya.
Alex melanjutkan, "Andaikan ada wanita yang mau menjadi model lukisan ini, mungkin Wanitaku akan selesai aku buat. Namun, aku tahu semua itu mustahil. Jadi, aku memilih untuk menyimpan angan-angan konyol itu."
Tessa masih bergeming sambil memandangi lukisan di depannya. Di lukis dalam keadaan telanjang bulat? Sepertinya hanya wanita bodoh yang mau melakukannya.
"Kau pasti sangat ingin menyelesaikan lukisan ini ya?" tanya Tessa kemudian. Matanya menatap dalam ke mata Alex.
"Meski begitu, aku akan melupakannya," jawab Alex lalu tersenyum pahit pada lukisannya.
Tessa kembali diam. Keduanya diam. Hanya suara rintik hujan yang terdengar dari arah jendela.
Setelah kembali ke rumah, Tessa tampak gelisah.
Alex sangat ingin menyelesaikan Wanitaku miliknya, itu yang Tessa lihat dari rahut wajah Alex saat memandangi lukisan konyol itu. Dalam hati, Tessa ingin membantu Alex. Namun, bagaimana caranya?
Ah, bagaimana jika dia saja yang menjadi model lukisan itu?
Astaga Tesaa ... kau akan berdiri di depan Alex tanpa busana? Jangan konyol, Tessa!
Malam itu Tessa kembali menderita insomnia. Dia kepikiran terus dengan Alex dan lukisan konyol itu. Di lukisa tanpa busana? Apakah Tessa sudah tidak waras?