Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 6

HAPPY READING

***

Arya kini berada di hadapan kedua orang tuanya. Mereka duduk di meja makan bertiga sambil menikmati makan malam. Ia tahu kalau ini terkesan mendadak memberitahu bahwa dia akan menikah. Sebelumnya ia memang ragu untuk menikah. Namun ia di sini akan memberi kesan kalau ia memang ngebet untuk menikah.

Pilihan itu semua ada di tangannya untuk tetap melanjutkan pernikahan ini, bisikan-bisikan tekad semakin kuat ketika ia terbayang wajah cantik Moira. Ia di sini juga menyelamatkan gadis itu dari publik. Satu hal lagi itu juga menyelamatkan dirinya sendiri dari perjodohan.

Arya tahu persis bagaimana reaksi kedua orang tuanya jika ia mengatakan ini, yang jelas beliau akan terkejut. Arya memasukan makanan ke dalam mulutnya, ini akan menjadi makan malam bersejarah sepanjang hidupnya.

Mungkin pernikahan jaman dulu ketika mama dan papa nya dijodohkan, merupakan suatu yang di rencanakan oleh orang tua. Pihak wanita dijodohkan dengan pilihan keluarga, saat itu tentu tidak mementingkan perasaan cinta di dalamnya. Namun sekarang banyak pria dan wanita seperti dirinya menolak untuk menikah karena tidak saling mencintai, tapi beberapa dari mereka banyak yang melakukan demi kebahagiaan orang tua, sementara dirinya memilih tidak melakukan itu.

Menikah dengan Moira demi win win solution, setidaknya Moira lebih better dari pada Larasati yang umurnya masih terpaut muda. Ia tidak mau, umurnya yang hampir berkepala empat hanya bisa pasrah menerima perjodohan yang tidak masuk akal. Ini hidupnya dan merupakan keputusannya.

Arya menarik napas, ia meletakan garpu dan sendoknya ia piring, ia memandang orang tuanya yang sedang makan dengan tenang.

“Ma, pa, ada yang ingin Arya sampaikan,” ucap Arya tenang.

Mama dan papa Arya lalu mengarahkan pandangannya ke tatapannya. Arya tidak tahu apa yang akan ia hadapi saat ini. Ia meremas tangannya, jujur ini agak sedikit panic, suasana sunyi senyap menambah ketegangan malam.

“Iya, ada apa Arya? Bicara saja, mama dan papa akan dengerin kamu.”

Arya melihat iris mata kedua orang tuanya, “Arya ijin ingin menikah,” ucap Arya pada akhirnya ia merasakan sedikit lega ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa terbata-bata.

Mama mengerutkan dahi, ia memandang Arya dengan serius. Beliau menghentikan makannya dengan tenang,

“Iya, tentu saja mama ijinin kamu menikah Arya. Bukannya kita mau ke Jogja Minggu depan ke rumah Larasati?”

“Maaf ma, pa, bukan Larasati yang Arya inginkan.”

“Arya ingin menyampaikan suatu kebahagiaan besar dengan mama dan papa. Dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang. Arya sudah memutuskan untuk melangkah menikah dengan seorang gadis yang telah menjadi pilihan Arya sendiri.”

“Mama dan papa juga harus tahu, kalau kami sudah menjalanani perjalanan panjang dalam hubungan, dan Arya yakin mengakui bahwa dia adalah wanita yang ingin Arya inginkan untuk menjalani sisa hidup bersamanya.”

“Cinta Arya dan dia tumbuh sejak lama, dan Arya beruntung memiliki dia.”

“Arya sangat mencintainya.”

“Arya ingin memohon restu, doa dan dukungan penuh dari mama dan papa dalam keputusa Arya. Arya berkomitmen untuk menjaga dan membangun keluarga bersamanya.”

“Semoga mama dan papa menghargai keputusan Arya untuk menjadi saksi perjalanan hidup Arya.”

Mama dan papa saling berpandangan, beliau sejujurnya sulit mengerti kenapa Arya tiba-tiba seperti ini, karena memang Arya sebelumnya belum memberitahu kalau dia ingin menikah.

“Arya tidak mau menikah dengan Larasati?” Tanya mama sekali lagi.

Arya menggelengkan kepala, ia menarik napas lagi, ia menatap mata sang mama, “Arya akan menikah dengan wanita pilihan Arya ma, tidak dengan Larasati.”

“Arya sudah melamarnya dan Arya akan menikahinya.”

Papa menarik napas, ia mengusap punggung tangan istrinya, menenangkan, “Kenalin ke papa siapa wanita itu.”

“Iya, pa. Besok Arya akan memperkenalkan kepada mama dan papa.”

“Siapa nama gadis itu?”

“Namanya Moira.”

***

Dua hari setelah pre-nup Arya memberitahunya lewat pesan kalau dia akan menemui keluarganya. Sejujurnya Moira harap-harap cemas atas pertemuannya dengan keluarga Arya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya dirinya di tengah-tengah keluarga Arya, yang katanya memiliki darah biru. Sebenarnya sangat minim sekali pengetahuannya tentang garis keturunan Arya, ia seakan tidak tahu apa-apa tentang Arya.

Moira melihat penampilannya di cermin ia mengenakan balutan gaun midi Zara bermotif houndstooth dan ia memakai sepatu hak tinggi. Moira merapikan rambutnya dengan tangan ia melihat ke arah baju pemberkatan akan dilaksanakan di gereja, seharusnya ia akan bersanding dengan Leon, namun justru bersama Arya nantinya. Semoga pernikahan ini berjalan dengan baik tanpa halangan kedua orang tua Arya.

Moira melihat ke arah ponselnya, ada notifikasi masuk dari Arya. Kemarin setelah tanda tangan pre-nup mereka menukar nomor ponsel agar perjanjian ini berjalan dengan baik. Ia membuka pesan masuk dari Arya, pria itu mengatakan kalau dia sudah berada di lobby. Hari ini ia akan menghadapi hari “judgment day” pria itu membawanya ke hadapan orang tuanya.

Arya akan menunjukkan kepada keluarganya bahwa dia tidak lagi akan tunduk dengan segala dan perintah keluarga. Arya memanuver mobilnya di apartemen Moira. Arya menghentikan mobilnya di lobby, katanya Moira sudah berada di sana menunggunya.

Arya mengambil ponselnya ia meletakan ponsel itu di telinganya menunggu sang pemilik ponsel mengangkat panggilannya. Beberapa detik kemudian, ponsel itu terangkat.

“Kamu di mana?” Tanya Arya.

“Saya ada di lobby,” ucap Moira.

“Saya di depan lobby.”

“Okey.”

Beberapa detik kemudian Arya melihat seorang wanita keluar dari pintu lobby. Arya lalu membuka power window, dan wanita itu menyadarinya. Ia menatap Moira dengan intens, dia terlihat sangat berkelas, pakaiannya sopan dan rambut panjangnya dibiarkan terurai.

Arya keluar dari mobil, ia melangkah mendekati Moira. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Arya menginventory penampilan Moira, mulai dari ujung rambut hingga jari-jari tangannya yang kurus, berkuku pendek dan bebas dari cincin. Ukuran tangannya itu kemungkinan separo dari ukuran tangannya, dengan dirinya yang tinggi 183 sentimeter dengan berat 78 kilogram dengan ukuran sepatu 44, mungkin ia bisa dikatagorikan raksasa laki-laki Indonesia. Meskipun tubuhnya proporsional dan kebanyakan orang tidak menyadari itu hingga tahu kalau bertemu langsung dan bertatap muka.

Arya tersenyum kecil, ia menyadari kalau Moira hanya sebatas bahunya walau dia sudah mengenakan high heels, dia kelihatan kecil, tapi terlihat super smart dan sedikit cute, dia pintar ber make up. Wajahnya sangat bening, mungkin dia sudah melakukan serangkaian treatment agar wajahnya tetap bening dan mempesona walau sentuhan make up tipis.

“Selamat malam Moira.”

“Selamat malam juga Arya.”

“Kamu cantik sekali hari ini.”

“Terima kasih.”

Arya lalu membuka pintu untuk Moira, Moira masuk ke dalam mobil dan mendaratkan pantatnya di kursi tidak lupa ia memasang sabuk pengaman. Setelah itu mobil bergerak meninggalkan area apartemen. Arya memandang Moira yang duduk bersandar di kursi, Arya memanuver mobilnya, lalu ia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya.

Arya melirik Moira, “Kamu buka dasbor itu,” perintah Arya.

“Dasbor?” Moira bingung.

“Saya buka dasbor ini?” Tunjuk Moira karena posisi dasbor itu di hadapannya.

“Iya.”

Moira membuka dasbor itu, ia mengerutkan dahi ia melihat paperbag kecil berwarna merah, “Cartier?” Tanya Moira bingung.

“Iya. Itu cincin, tadi sebelum ke sini saya mampir beli cincin itu sebagai bukti untuk meyakinkan orang tua saya kalau saya sudah melamar kamu.”

Mulut Moira nyaris menganga, ia membuka cincin itu ia menutup mulutnya dengan tangan ini merupakan cincin yang sama, saat Leon menyematkan cincin itu di jarinya. Dengan model cincin diamond solitaire memberikan kesan yang klasik. Namun cincin pemberian Leon sudah ia lepaskan sejak mereka berpisah.

“Emang kamu tahu ukuran jari saya?” Tanya Moira.

“Enggak, tapi saya hanya kira-kira saja. Dan saya pikir itu pas di jari kamu, coba saja.”

Moira mengambil cincin itu dari kotaknya dan ia kenakan di jari manisnnya. Ia sedikit takjub karena ukuran cincin itu pas di jari manisnya. Arya memperhatikan Moira,

“Pas?”

Moira mengangguk, “Iya pas. Thank’s.”

“Di mana kita akan bertemu dengan orang tua kamu?” Tanya Moira memandang Arya dia mengenakan kemeja putih dan celana slimfit berwarna abu-abu, rambutnya tersisir rapi dan dia terlihat sangat tampan.

“Di Royal Kitchen, Bellagio. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah orang tua saya, karena rumah kita kawasan situ.”

“I see,” ia baru tahu kalau orang tua Leon tinggal di kawasan elit itu.

“Kira-kira reaksi orang tua kamu bagaimana ketika melihat kita?”

Arya mengedikan bahu, “Lihat saja nanti, mau tidak mau ya harus terima karena pernikahan itu sudah di depan mata.”

“Kira-kira jas pernikahan Leon, apa pas untuk saya?”

Moira memperhatikan tubuh Arya, “Sepertinya pas.”

“Berarti posture tubuh saya dan dia tidak jauh berbeda?”

“Iya hampir sama.”

“Kamu sudah memberi tau orang tua kamu tentang saya?”

“Orang tua saya sudah tidak ada Arya. Yang ada saudara saya, besok kita bertemu kakak saya di Raffles Jakarta, dia stay di sana selama beberapa hari untuk menghadiri pernikahan saya.”

“Apa saudara tahu kalau kamu batal menikah?”

Moira mengangguk, “Iya, tahu. Tapi saya sudah sampaikan saya tetap melanjutkan pernikahan saya. Tapi saya belum menceritakan tentang kamu.”

“Apa saudara kamu seumuran saya?”

“Lebih tua dari kamu, umurnya sudah empat puluh dua tahun.”

“Sudah menikah?” Tanya Arya.

“Belum.”

“Kenapa?”

“Dia belum mau menikah, masih menikmati masa lajangnya,” jelas Moira.

Tidak lama kemudian akhirnya Arya menghentikan mobilnya di plataran restoran. Mereka keluar dari mobil, Moira menarik napas, ia mengatur dengan tenang. Jujur sebenarnya ia panic dan khawatir bertemu dengan orang tua Arya. Di sisi lain ia juga masih memikirkan Leon. Sementara waktu ia membuang jauh-jauh pikiran sedihnya.

Arya dan Moira melangkah menuju lobby, Moira merasakan tangan Leon mengenggamnya. Ini merupakan pertama kalinya mereka bersentuhan tangan. Moira mendongakan wajahnya menatap Arya. Arya memandangnya balik, pria itu tersenyum simpul kepadanya.

“Kamu takut?” Tanya Arya, ia merasakan jemari Moira dingin.

“Sedikit gugup.”

Arya dan Moira meneruskan langkahnya, “Itu mama dan papa saya,” ucap Arya menunjuk kedua orang tuanya yang sudah berada di table.

Pandangan Moira mengarah ke arah wanita dan pria separuh baya. Wanita separuh itu mengenakan kebaya berwarna cream dengan rambut yang di sanggul ke belakang dan pria itu mengenakan kemeja berwarna senada, mereka terlihat berwibawa di usianya tidak muda lagi. Tatapan beliau tertuju padanya, entah kenapa itu membuatnya khawatir. Berbeda sekali dengan orang tua Leon yang modern namun ini sedikit klasik auranya berbeda.

“Selamat malam ma, pa,” sapa Arya di hadapan kedua orang tuanya.

“Selamat malam juga Arya,” ucap mama, beliau memperhatikan Moira dari ujung kaki ke ujung kepala, secara penampilan Moira terlihat sopan.

“Ma, pa ini Moira, selama ini Arya dan Moira telah menghabiskan banyak waktu bersama. Arya sadar kalau Moira lah yang Arya inginkan sebagai pendamping hidup. Arya sudah melamar Moira di hadapan keluarganya dan sudah melamarnya untuk menjadi istri. Moira setuju menjadi istri Arya.”

Keheningan menyelimuti ruangan ini, Moira tidak bisa berkata-kata mendengar kebohongan dari mulut Arya. Dia melihat sekelilingnya ia takut dan khawatir ada orang mengenali kebohongan ini. Arya memberikan senyum kepada Moira yang sedang menatap wajahnya tidak percaya, tapi dia bertekad melakukan ini demi mempercayai kedua orang tuanya.

“Ma, pa, ijinkan Arya menikahi Moira.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel