BAB 5
HAPPY READING
****
Moira menatap Arya, tidak lama kemudian senyumnya berkembang. Moira merasa lega akhirnya permasalahannya selesai. Sejak hari ini masalah hidupnya terselamatkan oleh seorang pria bernama Arya. Dengan tekad nya yang kuat, ia ingin bebas dari sakit hati yang berkepanjangan.
Arya menarik napas, ia menatap Moira, “Kamu masih kerja dengan Damian?”
Moira mengangguk, “Masih, tapi besok terakhir saya kerja. Saya sudah mengajukan resign dari bulan lalu.”
“Okay, bagus kalau begitu, selama menjadi istri saya kamu tidak boleh kerja melebihi saya.”
Moira mencoba berpikir beberapa detik, ia menatap Arya dengan ragu, “Apa kamu memberi nafkah selama saya menjadi istri kamu?” Tanya Moira menyelidiki, masalahnya di dalam pre-nup tadi tidak tertulis soal nafkah. Jika ia tidak bekerja, ia akan mendapat uang dari mana?
Masalahnya kemarin Leon dan dirinya sepakat kalau dirinyalah akan dibiayain full oleh Leoon, lalu Leon akan memberinya beberapa bisnis sebagai bentuk kesibukan selama menjadi istrinya. Namun jika sudah seperti ini ia bisa apa? Ia sempat berpikir mungkin setelah ini ia akan kursus bahasa Jerman, selama menjadi istri Arya ia akan focus belajar, setelah bercerai ia akan berangkat ke Jerman, ia akan melamar di salah satu perusahan forwarding, kargo export. Ibaratnya hanya perintis, menjadi staff di perusahaan itu. Karena itu semua di luar dari background dirinya tentunya. Yang paling penting bisa kerja dan melanjutkan hidup di negri yang sama sekali tidak mengenalinya.
Jujur ia sebenarnya salah satu orang yang giat kerja, ia selama kerja dengan Damian ia tidak pernah menuntut kenaikan gaji, tidak pernah absen, hingga tidak peduli jam makan siang yang harusnya dipakai istirahat, justru bekerja sambil makan. Terlebih sering lembur larut malam jika pak Damian ke luar kota. Kadang ia cukup stress, karena bekerja terus-terusan dan tubuhnya semakin fraigile, mudah sakit namun dipaksa bekerja. Hangout jarang, pulang dari kantor langsung ke apartemen, dan sendiri di kamar menjadi me time paling mewah.
Sejak kedatangan Leon dalam hidupnya harapan demi harapan tumbuh. Namun harapan itu kandas begitu saja setelah Leon membatalkan pernikahannya, ia seperti ditipu investasi besar-besaran, sekarang kegelisahan itu terus menghantui fisik dan mentalnya. Masa depannya bagaimana? Akan jadi apa? Akan seperti apa? Oh Tuhan! Ia terlalu merisaukan masa depan membuatnya terdemotivasi, skeptis dan takut.
Arya mengangguk, “Tentu saja, saya akan memberi nafkah kepada kamu. Semua keperluan kamu, selama menjadi istri saya, saya akan penuhi.”
“Berapa?” Tanya Moira.
Arya menyungging senyum, “Terserah saya, yang jelas saya kasih nafkah ke kamu.”
“Yang jelas kamu tidak akan kekurangan uang selama bersama saya.”
“Untuk secara finansial, saya memang belum terbuka sama kamu, karena kita hanya sementara. Right?”
“Okay. Terima kasih.”
“Oiya, bagaimana dengan orang tua kamu? Bagaimana cara kamu memberitahu beliau kalau kamu akan menikah? Apa yang kamu lakukan, karena ini acaranya mendadak?”
“Saya akan beritahu beliau besok. Nanti saya infokan kepada kamu, kapan kita harus datang dan bertemu kepada kedua orang tua saya.”
“Setidaknya saya memperkenalkan kamu kepada beliau walau cuma sekali detik-detik dihari pernikahan kita. Walau terkesan mendadak, biarkan saya terkesan cinta mati kepada kamu di hadapan orang tua saya.”
“Bagaimana dengan orang tua kamu?” Arya balik bertanya.
Moira mulai berpikir beberapa detik, ia menatap iris mata Arya, “Saya juga akan memberitahu beliau kalau saya akan menikah dengan kamu dan saya akan memperkenalkan kamu.”
“Asal kamu janji jangan mombocorkan apa yang menjadi rahasia kita,” ucap Moira.
“Itu tidak akan pernah saya lakukan.”
Arya melirik jam menggantung di dinding menunjukan pukul 19.20 menit, langit juga sudah mulai gelap, “Kamu mau makan malam dengan saya?” Tanya Arya.
“Ah tidak usah, saya harus buru-buru pulang. Terima kasih tawarannya,” ucap Moira, ia beranjak dari kursinya.
Moira berdiri dan Arya juga ikut berdiri, ia menatap lagi iris mata tajam itu, “Hanya saya dan kamu yang tahu penandatanganan ini.”
***
Pagi ini adalah pagi yang paling damai yang ia rasakan pasca putus hubungannya dengan Leon. Ia melihat calendar, sisa berapa hari lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Moira menatap gaun pemberkatan karya Yefta Gunawan, memiliki detail borkat yang terdapat di seluruh bagian gaun, dengan kerah tinggi, memiliki train yang panjang hingga menyapu lantai. Ia juga akan mengenakan veil renda yang panjang. Untuk makeup ia sudah request riasan natural, rambut dengan model sanggul rendah. Sedangkan pakaian untuk pihak pria mengenakan rancangan dari Wong Hang Tailor.
Moira memilih turun ke lobby apartemennya, ia membeli coffee shop di lantai dasar. Biasa ia di kantor meminum kopi sachet di pantry, namun hari ini ia sudah mulai tidak bekerja. Ia harus merayakan hari pertama dirinya resign.
Moira masuk ke dalam coffee shop, ia menuju meja kasir, “Caramel macchiato satu dan hazelnut latte satu,” ucap Moira ia membuka dompet dan mengeluarkan kartu debitnya dari dalam.
“Tambahannya red velvet-nya satu, bill nya saya yang bayar,” ucap seorang wanita dari belakang, membuat Moira terkejut, saat ia menoleh wanita itu justru tersenyum kepadanya.
Moira membalas senyuman itu, ketika wanita itu tersenyum kepadanya dengan cerita, dia adalah sahabatnya di kantor. Namanya Melody sesuai dengan namanya dia memiliki bakat bernyanyi beberapa kali ikut audisi pencarian bakat namun selalu gagal, jadi membanting setir menjadi public relation marketing di kantornya. Namun dia memiliki freelance menjadi penyanyi café di restoran-restoran berbintang.
“Melo!” Ucap Moira sambil tertawa.
“Gue pikir lo masih di jalan!” ucap Moira.
Melody tertawa, “Gue tadi nyetir ngebut banget! Hampir aja ketilang polisi, gara-gara masalah lo yang batal nikah. Kok bisa sih?” Tanya Melody setahunya kalau Leon itu sangat bucin dengan Moira. Namun justru pria itu membatalkan pernikahannya.
Moira menghela napas, ia menatap sahabatnya itu sambil membawa tray berisi kopi yang mereka pesan. Mereka memilih duduk di salah satu kursi kosong di pojok. Moira mengambil cangkir itu dan menyesapnya secara perlahan.
“Gue nggak jadi batal nikah, gue tetap lanjut nikah.“
“HAH! Serius? Jangan main-main lo!”
“Siapa yang main-main Melo.”
“Terus, si Leon kenapa jadi plin plan gitu? Kemarin batal sekarang lanjut lagi!”
“Gue mau lo jadi saksi tanda tangan pre-nup gue dengan Arya,” ucap Moira.
Meloy memandang Moira dengan bingung selama beberapa detik ia mencerna kata-kata itu, “Pre-nup? Seperti pre-nuptial agreement gitu?”
Moira mengangguk, “Iya.”
“Dan siapa Arya?” Tanya Melody menyelidiki.
“Arya nama lengkapnya Raden Mas Harya Mangkubumi, dia pengganti Leon,” ucap Moira.
Melody hanya bisa melongo beberapa saat mencerna kata-kata Moira. Melody mengambil cangkir di hadapannya dan menyesap secara perlahan. Otaknya berfungsi dengan baik, ia baru paham kalau apa yang dijalani Moira yaitu nikah secara kontrak dengan pria bernama Arya. Yang ada di dalam benaknya kenapa Moira memilih pria bernama Arya? Siapa dia? Kapan mereka bertemu? Teman lama kah? Teman sekolah? Teman kampus?
Moira menatap Melody, tampaknya Melody cukup terkejut atas tindakannya, karena ia sendiri tidak pernah cerita apapun tentang pria bernama Arya.
“Siapa Arya?”
“Temannya pak Damian, dia seorang dokter spesialis saraf.”
“Lo kenal dia sebelumnya?”
“Enggak.”
“Terus, lo belum cerita kenapa lo batal nikah sama Leon?”
“Leon hamilin mantan kekasihnya, dan bertanggung jawab atas kehamilan mantannya.”
“Oh Jesus! Really?”
Moira mengangguk, “Iya, serius. Gue nggak tau harus bagaimana, dan gue nggak mau pernikahan gue batal karena vendor udah dibayar lunas.”
“Jadi lo milih nikah dengan Arya.”
“Iya.”
Melody terdiam, ia menatap iris mata Moira, “Mana pre-nup nya? Menurut gue, lo udah buat rencana gila yang nggak masuk akal, nikah sama orang yang nggak lo kenal sama sekali,” Melody melihat Moira mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya, ia menyerahkan kepada Melody.
Menurutnya lebih batal nikah dari pada menikah dengan pria yang ujung-ujungnya Moira menyandang status janda, stigma masyarakat terhadap janda masih buruk apalagi dia bercerai saat pernikahannya masihi seumur jagung, apapun alasannya si wanita akan menerima beban lebih berat dibanding si pria.
“Lo udah ketemu dia?” Tanya Melody setelah membaca isi dari pre-nup, memiliki suami dokter spesialis bedah saraf sebenernya keren juga.
“Udah tadi malam.”
“Gimana Arya, menurut pandangan lo?”
“Orangnya nice, selebihnya nggak tau apa-apa baru kenal juga kan. Come on, ini hanya nikah agreement, Mel.”
Melody menghembuskan napasnya, ia lalu menandatangani surat itu sebegai saksi perjanjian ini tidak boleh yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Melody tahu kalau Moira tidak mengenal banyak Raden Mas Harya Mangkubumi orang yang bisa dia percaya penuh.
Melody menatap Moira, “Apa lo yakin dengan keputusan lo ini?” Tanya Melody.
“Lo ada foto Arya?”
Moira menggelengkan kepala, “Enggak ada.”
“Duh, gue jadi penasaran sama Arya. Cakep mana sama Leon?” Tanya Melody lagi.
“Susah sih bilangnya gimana, namanya juga dokter ya. Kalau soal cakep, relative sih. Kalau menurut gue cakep belum tentu menurut lo.”
“Gue cuma nggak mau Arya nyakitin lo, karena lo asal asal pilih pasangan.”
“Are you sure about this?” Tanya Melody masih ragu.
“I’m sure.”
Melody terdiam beberapa detik, sebelum berkata dengan pasrah, “Oke.”
***