Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4

HAPPY READING

***

Setelah menyelesaikan tiramisu buatannya, Moira bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang pria yang siap menggantikan posisi Leon. Jujur rasanya sakit hati ditinggal begitu saja oleh Leon. Undangan sudah tersebar, mau menangispun sepertinya sudah tidak ada air mata yang ingin ia keluarkan. Satu hal yang ada di dalam pikirannya, bahwa pernikahan harus tetap dilangsungkan.

Ketika Leon mengatakan kalau membatalkan pernikahan mereka. Ia hanya bisa diam, kaget, bingung, sedih, bahkan tidak tahu mau bagaimana, sudah benar-benar jadi orang bodoh di dunia ini. Seserahan, kebaya, fitting, wedding party, bridesmaid dan groomsmen, dan undangan yang sudah tersebar di mana-mana. Padahal pernikahan tiga hari lagi akan di gelar. Ia tahu kalau kegagalan merupakan pelajaran hidup. Ia paham kalau Tuhan yang maha membolak-balikan hati, ia hanya bisa termenung, tanpa harus bagaimana. Ibaratnya,, ia ingin menghilang dari bumi, tapi ia tidak mau meninggal.

Moira memanuver mobilnya menuju Pondok Indah, dia bersiap-siap bertemu dengan seseorang yang bersedia menggantikan posisi Leon pada pesta pernikahan nanti. Logikanya tidak bisa jalan, ia hanya bisa mencari pria mana yang bisa menikah dengannya. Dan salah satu orang yang mengetahui dirinya gagal menikah adalah Damian.

Pak Damian kemarin mengatakan “Apa benar-benar bersedia menikah tanpa cinta?” Ia hanya mengangguk pasrah. Katanya ada seseorang yang siap untuk menggantikan posisi itu. Setelah hasil kompromi antara Damian dan salah satu kliennya. Mereka menemukan kesepakatan akhirnya dia bersedia.

Sejujurnya membayangkan saja sulit sekali, maksdunya setidak-tidaknya untuk memutuskan hidup selamanya dengan seseorang itu susah. Minimal harus merasa terikat secara emosional dengan orang itu secara mendalam. Tapi apa yang ia lakukan merupakkan tindakan nekat,

Jujur ia juga bukan salah satu wanita yang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama, modal fisik dan cerdas saja ia tidak akan membuatnya luluh dan bertekuk lutut. Dan ia juga tidak bisa jatuh cinta dengan orang yang asing dan baru. Minimal sudah kenal cukup lama, harus ada pendekatan intens. Ah, memikirkan hidup ini rasanya sulit sekali. Bahkan air matanya tidak bisa ia bending lagi. Semua orang pasti akan sakit dan terluka jika berada diposisinya.

Moira menghentikan mobilnya di salah satu rumah berpagar tinggi itu. Ia menarik napas, ia mengigit bibir bawah, andai ia tidak kepepet untuk mencari pendamping di plaminan, ia tidak akan pernah menginjakan kakinya ke rumah seorang pria asing.

Moira menatap seorang pria mengenakan seragam berwarna hitam membuka pintu pagar berlari menghampirinya. Moira menurunkan kaca jendela, ia tahu kalau pria itu adalah penjaga rumah ini.

“Dengan ibu Moira ya?” Tanyanya ramah.

Moira mengangguk, “Iya.”

“Sudah ditunggu bapak di dalam,” ucapnya lagi.

Moira tidak menyangka kalau pria itu menunggu kehadirannya. Moira menggerakan mobilnya menuju pelataran rumah. Ia menatap ada dua mobil terparkir di carpot dan sedangkan mobilnya tepat di belakang mobil SUV itu.

Moira mematikan mesin mobilnya, ia mencoba berusaha setenang mungkin. Dengan ini, ia menukar kebahagiaan demi rasa kekecewaanya. Ia tidak mau pernikahan ini gagal. Ia tahu kalau semua kehidupan dirinya adalah 100% adalah haknya. Ia tidak akan membiarkan dirinya mengikuti apa yang orang lain inginkan.

Moira membuka pintu mobil, ia melangkahkan kakinya menuju pintu utama yang sudah terbuka lebar, seolah kehadirannya sudah dinantikan. Moira menyelipkan rambut di telinganya, ia melepaskan high heelsnya dan masuk ke dalam. Ia memandang seorang wanita berseragam biru tersenyum kepadanya.

“Ibu Moira ya?”

“Iya, saya Moira.”

“Mari bu, saya antar ke tempat bapak.”

“Kalau boleh tau bapaknya ada di mana?” Tanya Moira penasaran.

“Ada di ruang belakang.”

Moira mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan. Rumah ini sangat maskulin, ada sedikit terkesan misterius. Warna rumah cenderung gelap karena pewarnaan abu-abu, hitam dan coklat, polanya geometri, terkesan tegas pada corak dinding, karpet, maupun motif pada furniture. Rumahnya sangat bagus menurutnya.

Moira masih mengikuti langkah wanita itu, ia menahan debaran jantungnya untuk bertemu pria itu. Tanpa sengaja, Moia menatap kedinding, langkahnya terhenti memandang sebuah foto keluarga mengenakan kebaya berwarna hijau berbahan bludru dan kain jarik. Dan para pria mengenakan surjana berwarna putih dengan enam kancing di bagian leher serta sepasang kancing di dada kiri dan kanan, pada background berdiri tepat di depan keraton Yogyakarta. Di sana terdiri dari beberapa orang pria dan wanita dan di depannya adalah Sri Sultan Hemengku Buwono yang ke IX. Moira menelan ludah, ia dengan cepat menghampiri wanita yang membawanya itu.

“Permisi, mbak.”

“Iya, ada apa bu?”

“Kalau boleh tau itu siapa?” Tanya Moira menunjuk salah satu foto keluarga yang terpajang di dinding.

“Owh itu keluarga pak Arya bu. Itu Sri Sultan Hemengkku Buwono bu, dan sebelah kiri paling ujung itu pak Arya.”

“Pak Arya?”

“Iya, pak Arya. Nama panjangnya Raden Mas Harya Mangkubumi dan disampingnya itu adiknya namanya Gusti Raden Ajeng Jelita Wijarena.”

Moira mengerutkan dahi, ia masih tidak mengerti dan terlalu bingung, “Keturunan Raja Yogyakarta?” Tanya Moira dengan penuh hati-hati, karena ia merasa rumah ini terlalu modern untuk ditinggali keturunan bangsawan.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk, “Iya, benar ibu. Masih keturunan Raja Yogyakarta.”

Mata Moira terbelalak kaget, What! Pak Damian tidak menceritakan latar blakang pria yang bersedia menggantikan posisi Leon ternyata keturunan Raja. Pengetahuannya sangat minim tentang keluarga kerajaan ini. Yang ia tahu kalau Arya itu merupakan seorang dokter itu saja tidak lebih.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel