HMT 6 - TANDA MERAH
Malam semakin sunyi. Suara desahan terus memenuhi seisi mobil Lamborghini dengan warna orange. Tessa bersandar pada bangku mobilnya. Jari- jemarinya mencengkeram gaunnya yang sudah berkumpul pada pinggangnya. Matanya terpejam tak menentu merasakan kenikmatan yang sedang Arnold berikan.
"Dad ... Ough!" cengkeraman jemari Tessa berpindah pada sandaran bangkunya.
Sedangkan Arnold sedang membungkuk di hadapan kedua kakinya. Menyentuh miliknya dengan bibir dan lidahnya. Tessa tak kuasa menahan gejolak gairah yang mendera dirinya saat ini. Arnold sungguh membuatnya sangat terbuai.
Rasa manis membuat Arnold semakin menggila memainkan kewanitaan Tessa. Miliknya semakin mengeras di bawah sana, dia pun segera bangkit membuka celananya. Tessa membulatkan matanya saat milik Arnold menghujam kewanitaannya. Besar sekali! Pekik Tessa berusaha merapatkan kedua kakinya. Namun dengan kasar Arnold menahannya dan segera mendorong miliknya agar masuk.
"Agh, Dad!" desah Tessa. Milik Arnold mulai masuk secara paksa.
"Diamlah, Jalang! Ikuti mauku sekarang!" Arnold mendesak miliknya dengan sekali hentakkan.
"Dad!" Tessa menjerit kaget. Milik Arnold sudah masuk sempurna pada kewanitaannya.
Hentakkan demi hentakkan Arnold lakukan sembari melumat kedua payudara Tessa secara bergantian. Tessa mengerang kesakitan kala Arnold menggigit pucuk payudaranya dengan bengis. Namun terasa sangat nikmat kemudian. Tessa memindahkan kedua tangannya pada leher Arnold. Mereka pun berciuman.
"Fuck!" erang Tessa sembari menanggah ke atas. Arnold telah mencapai puncaknya begitupun dirinya. Tessa merasa sangat terpuaskan.
"Bagaimana, apa kamu suka?" sindir Arnold sembari mengancingkan kemejanya.
Tessa tidak menjawab. Crazy! Ini benar-benar gila! Dirinya baru saja bercinta dengan ayah tiri Leo. Dia sudah mengkhianati Leo! Tessa menutup risleting pada punggungnya. Perasaannya tak karuan saat ini. Namun kenikmatan itu sungguh membuatnya sangat puas.
"Aku mohon ini yang pertama dan terakhir. Aku sangat mencintai Leo," ucap Tessa kala Arnold menepikan mobilnya di garasi mansion Leo.
"Tidak. Aku tidak mau. Aku menyukaimu, Tessa. Aku ingin kita bisa bercinta lagi. Lagi pula, bukankah Leo tak becus membuatmu terpuaskan? Bahkan tadi aku melihatmu begitu menikmatinya." Arnold menatap Tessa dengan lembut kali ini.
"Tidak, Dad. Ini tidak benar! Lupakan saja. Kumohon." Tessa segera keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu.
"Baiklah, Tessa. Kita lihat saja nanti." Arnold tersenyum smirk sembari memandangi punggung Tessa dari dalam mobil. Percintaan yang luar biasa. Tubuh yang hangat dan menggairahkan. Mana mungkin dirinya puas hanya satu kali saja. Arnold segera keluar dari mobil untuk menyusul Tessa.
"Lepaskan aku, Dad! Tinggalkan aku sendiri!" Tessa menepis tangan Arnold darinya saat pria itu mencekal lengannya di depan pintu kamarnya.
"Kamu takkan bisa lari dariku, Tessa." Arnold menyeringai.
Tessa membulatkan matanya.
Dengan kasar Arnold segera menyeret Tessa memasuki kamarnya.
"Dad, kamu sudah gila! Hentikan!" Tessa berusaha berontak saat Arnold membabi buta melucuti semua pakaiannya.
Crazy! Arnold melakukannya lagi pada Tessa. Kamahirannya di atas ranjang membuat Tessa menyerahkan segalanya. Milik Leo yang dijaganya selama ini, berhasil Arnold nikmati sesuka hatinya.
"Tessa ..." desah Arnold usai menuntaskan hasratnya pada Tessa.
Tessa hanya terdiam dengan air matanya yang mengalir. Dirinya sudah gagal lagi menjaga milik Leo. Bahkan ia menyukai sentuhan pria itu atas tubuhnya.
"Istirahatlah, kamu pasti kelelahan setelah bertarung selama tiga jam bersamaku, Sayang." Arnold melumat bibirnya sebelum berguling ke samping Tessa.
Tessa memejamkan matanya. Dia tahu ini adalah dosa yang besar. Dia sudah mengkhianati Leo dan pernikahan mereka. Bagaimana kalau Leo sampai mengetahui hal ini. Apakah dia akan mengatakan kalau Arnold telah memaksanya? Kenyataannya dia pun begitu menikmatinya, bukan?
"Dad, hentikan. Aku lelah," desah Tessa saat Arnold kembali menggumuli tubuh polosnya menjelang pagi. Pria itu sungguh perkasa. Tessa sampai merasakan nyeri pada kewanitaannya akibat ulah Arnold.
"Diamlah dan nikmati saja!" Arnold menggigit pucuk payudara Tessa.
"Sakit, Dad!" pekik Tessa. Pria ini sungguh kasar. Tessa sampai menangis kesakitan. Namun hal itu justru membuat Arnold semakin gila memainkan tubuhnya dengan berbagai posisi.
Hari mulai siang. Tessa sedang bergelung dalam selimut di kamarnya. Tubuhnya terasa sangat letih usai percintaan panasnya dengan Arnold. Dia ingin tidur sepanjang siang ini. Fuck! Kenapa dirinya tidak menolak saat Arnold mengajaknya untuk bercinta. Entahlah, Tessa pun tak mengerti. Sentuhan Arnold pada tubuhnya membuatnya tak ingin menghindar.
Leo yang baru tiba di mansion segera memasuki pintu. Dia menyapu pandangan setiba di dalam. Dimana Tessa dan Arnold? Keduanya tidak terlihat dimana pun. Leo segera berjalan menuju lift yang akan mengantarnya ke lantai tiga, dimana kamarnya berada.
Astaga ...
Leo tersenyum gemas melihat Tessa yang masih meringkuk di tengah ranjangnya. Diletakannya tas kantor pada meja, lantas ia berjalan menuju Tessa sembari membuka ikatan dasinya.
"Darling, jam berapa sekarang? Kenapa kamu masih tertidur, hm?" Leo mendaratkan bokongnya pada tepi ranjang.
Tessa sedikit bergeming merubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Leo membulatkan matanya kaget. Ada beberapa tanda merah pada leher istrinya itu. Fuck! Perbuatan siapa ini? Geramnya sembari mengepalkan buku-buku tangannya.
"Leo?" ucap Tessa begitu terkejut melihat suaminya itu tengah duduk di tepi ranjangnya. Dia pun segera bangkit mengambil posisi duduk. Tessa menutupi mulutnya yang terus menguap.
"Tessa, kenapa kamu masih tidur jam segini? Apa semalam kamu tidak tidur?" tanya Leo sembari menatap Tessa dengan lembut. Dia tak ingin berpikiran buruk pada istrinya itu. Namun tanda merah itu sungguh membuatnya curiga.
"Semalam aku mabar game sampai pukul dua pagi. Aku sangat mengantuk sekarang," kilah Tessa. Mulutnya kembali menguap dengan wajahnya yang tampak agak pucat.
"Astaga, kamu ini. Tidurlah sekarang. Aku akan menemanimu di sini. Lagi pula aku tak bisa tidur di hotel semalaman. Aku memikirkan dirimu, Tessa. Aku takut ada pria lain yang menyentuhmu." Leo sedang memancing di air yang keruh. Barangkali Tessa mau mengatkan yang sebenarnya.
Tessa tersentak mendengar ucapan Leo. Dia menyelipkan anak-anak rambut pada telinganya. Kemudian memalingkan wajahnya dari tatapan Leo yang intens. Sial! Kenapa Leo berkata begitu? Bagaimana kalau dia curiga? Tessa tampak mulai tak nyaman. Leo mendapat kesimpulan dari gelagat istrinya itu.
"Sudahlah, istirahatlah. Aku mau mandi dulu." Leo segera membuka jasnya dan segera beringsut dari tepi ranjang Tessa.
"Huum." Tessa hanya mengangguk.
Leo mengacak-acak gemas rambut pada pangkal kepala Tessa sebelum berlalu menuju kamar mandi.
"Leo, maafkan aku." Tessa menyeka titik kecil pada sudut matanya. Punggung Leo sudah menghilang di balik pintu kamar mandi.
"Ya, Tuhan ... apakah Tessa tega melakukan itu padaku? Tidak, tidak, sepertinya tanda merah itu masih sangat baru. Fuck! Siapa yang melakukannya, Tessa? Tidak, aku yakin itu hanya fantasiku saja. Tanda merah itu tidak nyata! Aku yakin Tessa tidak mungkin melakukan hal menjijikan seperti itu!"
Leo melepaskan tinjunya pada dinding kaca kamar mandi. Tanda merah itu sungguh membuatnya frustasi. Namun dia berusaha menyangkal dan menganggap dirinya hanya sedang berhalusinasi saja. Tanda merah itu tidak nyata! Leo tak mau tahu, dan tak ingin menanyakan hal itu pada Tessa.
Tessa Willson, gadis cantik asal Canada itu adalah istrinya. Hanya dirinya satu-satunya pria yang bisa menyentuhnya! Leo tetap mengelak dari kenyataan. Tessa memang keras kepala dan juga pemarah. Namun dia adalah gadis yang setia. Leo dan Tesa sudah berpacaran hampir lima tahun, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
Leo sangat mengenal Tessa. Apa yang gadis itu sukai atau tidak disukainya. Mustahil Tessa mengkhianatinya. Leo kembali menghantam dinding kaca kamar mandinya. Percikan air dari shower menghanyutkan emosinya. Dia ingin melupakannya. Tessa adalah wanitanya yang setia. Leo ingin tetap seperti itu saja. Meski harus mendustai hatinya sendiri.