Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 6 - AKU MENGINGINKAN HARDIN

Paginya saat sinar sang surya membelai bumi. Meghan tampak duduk mendekap kedua lutunya di atas sofa di kamarnya. Tubuhnya hanya berbalut kemeja putih milik Edward yang tampak kebesaran ia kenakan. Rambutnya tergerai agak kusut dengan wajah tirusnya yang ia tekuk. Sinar jingga dan hawa dingin yang menyerbu dari jendela di sampingnya tak menggoyahkan jiwanya yang sedang dilanda dilema pagi ini.

Dia tak menyangka, percintaan liar semalam bersama Hardin harus berakhir dengan rasa kecewa yang mendalam di hatinya. Pria itu seumuran dengannya, masih labil dan memiliki kecemasan akan hal yang belum tentu akan terjadi.

Kenapa Hardin mengatakan padanya untuk melupakan kejadian semalam dan tetap bermain peran sebagai ibu tirinya. Cih! Dia bukan wanita bodoh. Entah berapa banyak pria yang sudah menghabiskan malam dengannya. Ada sepuluh, tidak, tapi dua belas.

Ah, bukan. Entah berapa, dia tak hapal satu per satu. Namun semua pria itu tak ada yang bisa membuatnya merasakan gairah liar yang begitu bergelora seperti yang ia rasakan bersama Hardin.

Pria itu sudah membuatnya hidup kembali setelah lama mati. Setelah berpetualang mencari kenikmatan itu. Hardin merubah pandangannya akan dirinya yang hiper sex. Dia bukan hiper, hanya saja belum ada pria yang berhasil menyentuh jiwanya seperti Hardin.

Ya, hanya Hardin. Hanya pria itu yang bisa membuatnya merasakan klimaks dalam sebuah percintaan. Dan mengenalkan dirinya akan kenikmatan surgawi yang selalu dirinya cari. Baru saja ia lega telah menemukan Hardin, penjaga dan pemegang kunci dari gairah liarnya. Bahkan dirinya telah berjanji untuk tidak lagi bersentuhan dengan pria lain, kecuali Hardin.

Dia ingin memberikan tak hanya tubuhnya untuk pria itu, tapi hatinya juga. Namun kenyataan ini sepertinya tak berpihak padanya. Ucapan Hardin semalam benar-benar membuatnya putus asa. Membuatnya merasa terhempas dengan kasar setelah melambung tinggi di angkasa.

Benar, ini memang salah. Tak semestinya ia jatuh hati bahkan menginginkan Hardin. Karena pria itu adalah putera Edward, pria yang kini berstatus sebagai suaminya.

Dia bukan wanita kejam. Tapi dia bisa menjadi kejam, bila terjadi ketidak adilan padanya. Dia manusia biasa, punya ego dan ambisi. Dia menginginkan Hardin layaknya seorang wanita dewasa. Dan itu tak bisa merubah apa pun lagi.

"Ho, astaga. Kamu di sini rupanya."

Suara itu tak mampu mengubah posisi Meghan. Wanita itu tetap terdiam dengan wajahnya yang ia tekuk. Edward mengulas senyum tipis melihatnya. Rasa percaya dirinya mengatakan, jika Meghan sedang marah padanya. Mungkin pasal penolakkannya semalam. Dia berpikir masih dengan rasa percaya dirinya.

"Honey, aku minta maaf karena semalam. Aku janji hari ini hanya akan menjadi milikmu. Ya, aku janji." Tubuh kekar tinggi dengan stelan jas hitam itu merendahkan diri berjongkok di hadapan Meghan. Tangan kanannya meraih jemari wanita itu, lantas dikecupnya dengan lembut.

Ekor mata Meghan menoleh pada senyuman hangat yang disematkan Edward di wajahnya. Wajah itu masih sama. Tampan, namun sangat menyebalkan baginya. Dia meradang dalam hati. Pria malang ini akan sepenuhnya menjadi sasaran amarahnya jika dia berani berucap lagi, rutuknya.

"Honey, aku ..."

"Stop! Jangan bicara lagi. Aku bahkan muak melihat wajahmu itu!" Meghan tak mengkhianati hatinya. Dia benar-benar langsung menyerang Edward dengan wajah geram saat pria itu bicara lagi. Bukan, bukan salah pria malang itu. Namun Edward sudah membangunkan iblis yang sedang tertidur pulas di dalam jiwanya.

Edward sangat tersentak melihat kemarahan Meghan. Wanita itu berdiri dan memberinya wajah jengah. Sementara dia hanya bangkit dan jadi kikuk dibuatnya. Bingung dan heran menyerbu benaknya. Ini bukan amarah karena penolakkan semalam. Namun pancaran mata itu menunjukkan sesuatu yang lain. Entah apa. Dia tak diberi kesempatan oleh Meghan untuk bertanya. Wanita itu melenggang pergi melewatinya sembari menyenggol bahu kirinya dengan sengaja.

Edward menjatuhkan wajahnya, menggeleng dan berpikir, apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya itu.

Setelah satu jam membenamkan diri dalam bathtub berisikan air hangat, Meghan meninggalkan kamar mandi. Tubuh berbalut bathrobe putih itu berdiri di hadapan standing miror setinggi dirinya.

Mood-nya masih buruk. Sampai saat Edward menemukannya dia tak memberinya respon baik. Acuh dan masih memasang wajah bosannya.

Namun sebagai pria dewasa, Edward tak mudah terbawa perasaan akan sipat kekanak-kanakan Meghan. Usianya baru 30 tahun. Dia sangat paham perasaan istrinya itu. Sebagai suami dan lebih tua darinya ia harus lebih peka, pikirnya. Bibirnya tersenyum tipis. Langkah panjangnya segera menghampiri Meghan. Berdiri di belakang wanita itu. Tangannya meraih kotak perhiasan ukuran sedang dari saku celana kainnya.

Meghan hanya terdiam saat Edward memasangkan sebuah kalung berlian di leher jenjangnya. Dia hampir saja memekik senang, namun ia putuskan hanya mengulum senyum melihat siluet Edward menggodanya dengan seringai nakal.

Wanita mana yang tak menyukai perhiasan. Dan Edward termasuk pria yang suka memanjakan istri dengan berbagai kemewahan. Entah itu perhiasan, mobil mewah, kartu black gold, bahkan seisi dunia ini akan ia beli jika Meghan memintanya.

"Jangan membunuhku dengan emosimu. Aku bisa mati karenanya," bisik Edward setelah selesai memasangkan kalung berlian itu pada leher Meghan. Bibirnya kembali tersenyum melihat siluet wanita itu tampak lebih baik.

"Aku sudah punya banyak perhiasan. Tak adakah yang lain yang bisa kamu berikan untukku," tukas Meghan. Meski bicara ketus begitu dia tetap saja memandangi kalung berlian itu dengan perasaan senang.

"Memangnya apa yang kamu inginkan, Nyonya Willbowrn? Mobil mewah? Sebuah bungalow? Atau sebuah pulau? Tak ada pengecualian untukmu, bahkan nyawaku pun bisa saja kuberikan jika kamu menginginkannya."

Edward berdiri tepat di belakang Meghan. Kedua tangannya yang kekar melingkar di sekitar perut wanita itu. Bibirnya tersenyum gemas dan mengecup bahunya dengan hati senang.

"Benarkah apa yang kamu katakan itu?" Meghan masih memasang wajah sinis menatap siluet Edward dari cermin di hadapannya. Dia tahu aset kekayaan suaminya itu mengalahkan luasnya Samudra Hindia. Tapi semua kekayaan itu tak ada artinya tanpa adanya percintaan panas di antara mereka.

"Katakan saja dan kamu akan segera mendapatkannya," bisik Edward. Tangannya semakin erat merengkuh wanita di hadapannya. Sementara bibirnya membelai tengkuk leher Meghan dengan penuh gairah.

"Wel, aku menginginkan Hardin. Apakah kamu mau memberikannya untukku?" Meghan memutar tubuhnya kali ini. Menghadap pada Edward yang langsung memberinya wajah bingung.

"Hardin?" tanyanya.

"Ya, aku menginginkan Hardin." Meghan mempertegas tatapannya kali ini. Indera pendengaran Edward masih berfungsi dengan baik, namun ia berkata seperti sedang bicara pada orang tuli.

"Hei, apa yang kamu bicarakan? Hardin adalah puteraku dan kamu adalah istriku. Tentu saja Hardin juga adalah milikmu. Kenapa kamu mengatakan hal konyol seperti itu?" Edward terkekeh setelah berhasil mencerna ucapan Meghan.

Namun dirinya salah mengartikan ucapan istrinya itu. 'Menginginkan' dalam arti ingin memiliki seutuhnya. Itu yang dimaskud oleh Meghan. Namun lain arti bagi Edward, dia berpikir Meghan cemburu dengan adanya Hardin di antara mereka.

Dia berpikir Meghan menginginkan Hardin untuk mengangapnya sebagai ibu sambungnya.

Cukup realistis. Edward tak mungkin berpikir sejauh itu antara Meghan dan Hardin. Tanpa ia ketahui istri dan anaknya itu sedang berusaha menggunting di dalam lipatan.

Edward pria berpendidikan tinggi dan merupakan lulusan terbaik universitas London. Berpikir Meghan menyukai Hardin terdengar sangat konyol baginya. Tidak masuk akal dan mustahil.

Meghan hanya memutar bola mata hazelnya dengan wajah bosan. Percuma saja bicara dengan mesin ATM berjalan ini, pikirnya. Sepasang tungkai jenjangnya segera terayun menuju lemari besar di sana. Sebaiknya ia berpakaian dan segera pergi dari sini. Ke salon atau menghabiskan uang Edward di mall, apa saja asalkan bisa membuat mood-nya lebih baik.

Edward hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis. Kedua tangannya segera melepaskan jas hitam yang melekat di tubuhnya. Dia lantas berjalan menuju kamar mandi. Tak ada pikiran buruk apa pun di hatinya tentang ucapan Meghan barusan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel