05. George First Friend
"Sayang, sepertinya ada yang salah dengan George." Suatu hari, Joly menyuarakan isi hatinya kepada suaminya, Erick Owens, ketika sepasang suami istri itu sedang duduk di belakang rumah. Wanita yang selalu mengeritingkan ujung bawah rambutnya itu ingin membahas kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi di rumah keluarga mereka.
Semenjak George bermain bersama mereka di taman belakang dan menunjukkan permainannya, sejak itu pulalah Joly menatap lain putra semata wayangnya itu. George memang terlihat baik-baik saja, selain tak adanya teman di sisinya, anak laki-laki itu tetap asyik bermain dengan mainan balok-balokannya yang selalu bertambah setiap harinya.
"George baik-baik saja, jangan khawatir." Erick yang sedang membaca koran harian membalikkan halamannya perlahan. Joly merasa terabaikan jika suaminya sudah fokus dengan kertas berisi berita yang terjadi selama sepekan itu.
"Kau tak peduli dengan anakmu, ya?" tuduh Joly dengan nada sinis. "George bermain dengan tarantula yang sudah mati! Lebih parahnya lagi, dia memutuskan semua kakinya!"
Belum lega juga perasaan sang wanita yang dinikahi Erick beberapa tahun silam, meski sudah mengungkapkan semuanya, tetapi bampir setiap malam, sejak hari di mana George memperlihatkan kengerian itu kepada mereka, Joly selalu terngiang dengan bentuk dari tarantula malang yang menjadi mainan George.
Erick melirik istrinya tajam, hatinya tergelitik saat mendengar ucapan sang istri. Genggaman pada kertas koran yang sedang ia baca mendadak mengerat. Dituduh melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ia lakukan jelas adalah perbuatan yang paling dibenci oleh Erick.
"Kata siapa aku tak peduli dengan anakku sendiri?" sahutnya tak kalah sinis. "Justru kau yang tak peduli dengan George, kau selalu mengabaikannya ketika dia menginginkan makanan tertentu darimu."
Joly mencibir. "Itu karena aku memang tidak bisa memasak!" kilahnya sengit. Dengan kesal, suaminya yang duduk di sampingnya pun menutup kembali surat kabar di tangan dan menaruh koran yang sudah dilipat itu di bawah meja.
"Diamlah, itu memang sudah salahmu karena tak belajar memasak dengan benar!" Erick menunjuk Joly di depan wajahnya langsung. "Aku semakin yakin dengan penyesalanku saat menikah dengan wanita sepertimu!"
"Jadi kau menyalahkanku?!" teriak Joly kesal. Dan pasangan suami istri itu kembali bertengkar untuk yang kesekian ratus kalinya. Mengabaikan permasalahan yang seharusnya mereka bahas sebagai orang tua yang baik.
Di samping itu, George yang sedang bermain sendirian di halaman depan tampaknya tak mengetahui sama sekali perihal adu mulut orang tuanya di halaman belakang. Anak itu tetap asyik mengotak-atik rubik di tangannya, dengan ekspresi wajahnya yang begitu serius.
"Wah, main rubik, ya?" Tiba-tiba, sebuah suara membuyarkan konsentrasi putra pasangan Erick dan Joly Owens yang langsung menghentikan aktivitasnya saat itu juga. George lalu memilih menengadahkan wajahnya perlahan. Demi menemukan seraut wajah asing yang sedang memperhatikannya.
"Ah, kenapa berhenti?" tanya orang bertopi biru itu dengan nada kecewa. "Umurmu berapa? Kau hebat sekali bisa bermain rubik jenis yang satu ini. Padahal sangat susah menjadikan warnanya pas."
George memasang ekspresi datar saat ada seseorang yang tidak ia kenal, berbicara padanya. Anak berusia lima tahunan itu sudah didikte oleh kedua orang tuanya untuk tidak asal berbicara dengan orang asing sembarangan.
George lantas menilik kembali penampilan pria muda di depannya. Dari wajahnya, laki-laki ini sebenarnya masih remaja. Namun, sudah memiliki tubuh tegap dengan tinggi berkisar 186 cm. Benar-benar tinggi.
Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan kedua matanya saat menyadari tatapan menyelidik yang dilayangkan oleh anak kecil di depannya. Merasa ada yang salah, ia pun sengaja menundukkan badan dan tersenyum kecil kepada sang anak kecil.
"Aku bukan orang jahat," jelasnya dengan nada mantap. "Aku Sean, seorang pengantar susu yang kebetulan lewat saat sedang mengantar pesanan di rumah sebelah."
"Lalu kemudian aku melihatmu bermain rubik itu."
George masih dengan ekspresi yang sama, membuat Sean menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung harus berbuat apa untuk meyakinkan anak kecil di depannya.
George pun mengalihkan pandangan dan merapikan mainannya. Begitu selesai, anak itu pun berdiri dan berniat masuk ke dalam rumah, jika saja Sean tak mencegat tangan kecilnya. "Tunggu, kau mau kemana?" tanya Sean cepat.
George melirik sekilas dan menjawab dengan pelan. "Menonton televisi di dalam," ucapnya.
Sean tampak tertarik. "Apa yang kau tonton?"
George tak berusaha melepas pegangan Sean padanya, justru anak itu kembali menatap Sean. "Spongebob," jawabnya. "Spongebob Squerepants."
Sean tersenyum lebar. Masih belum melepaskan genggamannya pada George, pemuda itu lantas berdiri. "Aku juga suka menontonnya," ucapnya riang. "Siapa tokoh kesukaanmu?"
George memutar tubuhnya menghadap Sean, dan kembali menatapnya. Ia merasa lehernya sakit karena terus mendongak untuk menatap pemuda itu. "Squidward," jawab George datar.
Sean tampaknya terpukau dengan kepribadian anak berusia lima tahun di hadapannya ini. Benar-benar mengingatkannya pada tokoh di Spongebob Squerepants yang tak pernah merasa hidupnya bahagia. Siapa lagi jika bukan Squidward?
"Aku juga suka Squidward," ucap Sean sambil tersenyum penuh percaya diri. "Tapi apa kau tahu jika ada sebuah cerita di baliknya?"
"Di mana rahasia ini ... benar-benar mengerikan."
Genggaman mereka memang sudah terlepas, tapi tampaknya George tertarik dengan pembahasan yang tadi diucapkan oleh Sean. "Beritahukan padaku tentang cerita ini," ucapnya datar. "Dan ceritakan apa pun yang kau ketahui tentangnya."
"Aku akan menceritakan tentang kisah seorang saksi mata yang melihat sesosok makhluk misterius yang dijuluki Houle. Seringkali, kehadirannya membawa kematian. Seorang anak berusaha mencari ibunya, yang juga salah satu saksi mata dari penampakan makhluk ini. Dan yang akan ia temukan adalah cerita mengerikan yang akan menghantui seumur hidupnya."
George semakin penasaran dengan apa yang baru saja Sean katakan. "Bisakah kau menceritakannya?" desaknya tak sabaran. Dia sudah terlalu bosan dengan buku yang biasa dibacakan oleh kedua orang tuanya, kebanyakan yang mereka bacakan untuk George adalah buku tentang bisnis. Sedangkan George tak suka bisnis.
Sean terkekeh dan menatap mata indah George yang terlihat seperti manik-manik biru yang indah. "Baik, baik, akan kuceritakan. Ini adalah kisah yang kudengar dari kedua orang tuaku, dan didapat dari Nenekku, kini mereka semua sudah tiada."
"Selama musim panas 2xxx, kejadian aneh berlangsung di sepanjang timur laut wilayah Amerika Serikat, melibatkan penampakan makhluk aneh menyerupai manusia yang terlihat sebelum padamnya listrik. Berita itu menghebohkan media dan masyarakat saat itu. Namun tak banyak informasi yang tersisa. Sebab secara misterius, semua berita online dan catatan tertulis dari para saksi mata mengenai makhluk itu tiba-tiba lenyap."
Sean mulai menceritakan kisah yang pernah didengarnya saat kecil. Dia baru tahu jika ada anak yang ternyata sangat terkesan dengan kalimat pembukanya, dia senang karena ada orang yang mau mendengarkan apa yang ia sampaikan. Anak yang menarik, pikir Sean sambil tersenyum.