Ringkasan
Melihat sudut pandang detektif dalam novel misteri, agaknya sudah umum kita ketahui. Akan tetapi, bagaimana jika kita melihat dari sudut pandang sang pembunuh? Apa kau juga percaya dengan arwah yang balas dendam?"Meski melihatku menderita di ujung ambang kematian, tampaknya mereka tidak akan berhenti sampai aku benar-benar mati ...."Dia adalah George Owens, pria yang semasa mudanya bekerja pada pihak kepolisian Selatan. Menjadi seorang detektif adalah impiannya di masa remaja. Bersama Smith Hegner dan juga Niels Johansen, George melakukan pekerjaannya dengan baik dan cepat. Namun, siapa sangka, di balik pekerjaannya yang selalu berurusan dengan para penjahat ulung tersebut. Nyatanya ada fakta yang dia sembunyikan rapat-rapat. Lantas, bagaimana dengan akhir hidupnya? Apakah semua dosa yang pernah dia lakukan di masa lalu akan menimbulkan sebuah karma yang justru membuatnya lebih memilih mati daripada hidup bersama dengan berbagai kenangan buruk? Inilah kisah seorang pembunuh berantai yang juga merangkap sebagai detektif swasta di kepolisian bagian Selatan. Sang psikopat ulung, George Owens.
Prolog
Satu minggu yang lalu....
"George Owens, pelaku pembunuhan keji dari 23 warga sipil tak berdosa, dengan ini dinyatakan bersalah. Atas kejahatan yang telah dia lakukan, pengadilan menjatuhkannya hukuman pancung sebagai cara kematiannya."
~~~~~
Masih terngiang jelas dalam benak lelaki itu, suara berat sang hakim saat membacakan surat keputusan dari pengadilan atas kejahatan yang telah dia lakukan selama ini. Pun dengan bunyi ketukan palu sang hakim yang masih berputar bak rekaman kaset rusak di otaknya.
Semua masih terlihat jelas, seolah hakim bernama Simmons itu sengaja memutar kenangan buruk dalam hidupnya. Meski pada kenyataannya, dia tak pernah bertemu lagi dengan hakim yang menjatuhkannya hukuman pancung tersebut.
Dia adalah George Owens, seorang mantan detektif yang masuk ke dalam penjara saat berusia 63 tahun karena kesalahan yang tak bisa dimaafkan.
Dia harus berurusan dengan pihak kepolisian saat semua bukti mengarah padanya, dan George sama sekali tak bisa mengelak dari hukuman, meski tetap merasa tak adil dengan keadaan.
Tiba-tiba pria setengah abad itu merasa marah. Dia lalu menggertakkan giginya seraya menyumpah, "Hakim sialan! Mati saja kau!" umpatnya kasar.
Apa salahnya jika dia sedikit bersenang-senang dan bermain-main dengan para manusia sampah itu? Toh, dia hanya membantu pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk yang hanya menganggu keseimbangan perekonomian negara. Dengan matinya orang-orang seperti itu, George berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu lagi pusing-pusing memikirkan lowongan pekerjaan ataupun sarana transportasi untuk mereka nantinya.
Lagipula, dia hanya membunuh mereka yang bersalah, tetapi pada akhirnya tetap dialah yang disalahkan.
Jelas-jelas apa yang sudah dia lakukan adalah kebaikan tersirat.
Seharusnya bapak walikota memberikannya sebuah penghargaan atas kemurahan hatinya dalam mengenyahkan orang-orang itu, dan bukan memasukkan dirinya ke dalam penjara yang dingin, sempit, kotor serta menjatuhkan dia hukuman mati, penggal kepala pula.
Untuk apa dia berjasa dalam menumpas kejahatan jika pada akhirnya menjadi seorang penjahat? Dunia lah yang salah, bukan dirinya.
George mendongak, dan memandang langit-langit kamar sel tempatnya dipenjara, pria itu lalu meraba dinding ruangan berwarna hitam yang menjadi tempat tinggalnya sejak beberapa hari yang lalu. Ditatapnya selama beberapa saat dinding selnya yang dingin dan kotor.
Seperti itulah perumpamaan dirinya dulu dan sekarang.
Dingin dan bermain kotor adalah kegemarannya dahulu.
George kemudian menyeringai lebar. Jika boleh jujur, sebenarnya tempat ini sangat cocok untuknya daripada harus tinggal di luar sana. Sebab, ia senang berada di penjara yang tenang seperti ini.
Tak ada masalah, tak ada keributan sama sekali.
Ia tidak perlu lagi repot-repot berurusan dengan para tetangga di rumah lamanya yang menyebalkan. Mereka itu gemar sekali mengomentari aroma tidak sedap yang berasal dari rumahnya dan itulah yang membuat George sangat tidak tahan dengan mulut besar mereka.
Jika saja dia tidak ditangkap, dan dimasukkan ke dalam penjara oleh para polisi yang keparat itu, mungkin saja ia sekarang sedang bermain-main dengan jasad mereka, begitu pikirnya.
George kembali menyeringai sehingga tampak deretan gigi putihnya yang rapi.
Namun sayangnya, George lupa satu hal. Para tetangga menyebalkan yang berada di sekitar rumahnya itu, semua telah mati di tangannya, tanpa sisa. Mereka mati, jauh sebelum para polisi itu meringkusnya di kediamannya.
Ternyata memang semudah itu melupakan sesuatu yang tidak terlalu penting dalam ingatan seseorang. Lagipula, bagi George kematian orang-orang itu sama sekali tidak berkesan untuknya. Kecuali fakta di mana ia bisa mencoba peralatan dan penemuan barunya.
Laki-laki berusia 63 tahun itu lalu membaringkan tubuh tingginya di ruangan sempit yang bahkan tidak cukup untuk sekadar meluruskan kakinya saat tidur. Ia ditempatkan dalam penjara khusus oleh kepolisian untuk sementara waktu.
Akan tetapi, meski begitu, ia sama sekali tidak ingin mempersalahkannya lebih lanjut. Yang penting adalah, dia tidak harus berinteraksi dengan orang-orang yang kebetulan satu sel dengannya. Yah, setidaknya untuk satu hari saja, karena besok dia tidak akan berada di tempat sempit itu lagi.
Dia akan dipindahkan ke sel yang sama dengan orang-orang.
George masih mempunyai batas waktu selama beberapa bulan sebelum tanggal eksekusi kematiannya tiba. Besok adalah hari di mana dia akan dipindahkan ke dalam sel dan tinggal bersama narapidana lainnya.
Walau ada perasaan tak suka ketika harus memikirkan dirinya berbaur dengan orang lain, tetapi jauh di lubuk hatinya, George merasa gembira sekali. Bisa saja nanti dia akan bermain-main sedikit dengan para penjahat itu.
Lamunan George buyar saat mendengar suara dari luar sel sempitnya.
Ding dong... Ding dong
Bunyi bel yang nyaring itu seakan-akan menggema di setiap telinga para tahanan sel. Bahkan gemanya pun terasa di dinding besi yang dingin. Bel itu seperti mengisyaratkan kepada semua orang, bahwa telah tiba waktunya bagi para penghuni penjara untuk tidur.
Para sipir melewati tiap sel seraya memukul batang jeruji besi dengan tongkatnya, menimbulkan bunyi berisik yang menganggu para tahanan yang bersiap untuk tidur.
George lagi-lagi memperbaiki posisinya yang terasa tidak nyaman karena kaki panjangnya tidak bisa diluruskan di dalam sana. Setelah cukup nyaman, ia pun mulai memejamkan mata, bersiap memasuki alam bawah sadarnya secara perlahan dan menuju alam mimpi.
Tak butuh waktu yang lama, ia pun sudah tertidur pulas.
**
Tampak sebuah keluarga kecil sedang duduk beralaskan kain besar berwarna merah hati yang dihampar di atas rerumputan taman. Senyum dan gelak tawa bahagia terukir jelas di wajah mereka. Pagi Minggu memang merupakan waktu yang sangat pas untuk berpiknik bersama orang terkasih di luar rumah.
"Papa! Mama! Kakak!" Seruan riang seorang anak laki-laki terdengar begitu nyaring di pagi hari yang terasa cukup panas. Meski begitu, sang anak seolah tak peduli dengan hal itu. "Aku membeli es krim!"
Anak perempuan dari keluarga yang tengah bersantai itu kemudian melambai penuh semangat kepada sang anak lelaki yang berada di seberang jalan. Sepertinya, dia adalah kakak dari anak laki-laki yang kedua tangannya penuh dengan dua buah mangkok es krim.
"Hati-hati jatuh, Michael!" seru sang kakak memperingatkan.
Tak jauh dari Michael—anak laki-laki yang tengah berlari menghampiri keluarganya di taman—tampaklah seorang remaja laki-laki yang sepertinya sedang kesal karena mobilnya yang tiba-tiba saja mogok di pinggir jalan. Padahal ada hal penting yang harus dia lakukan segera.
Garis wajahnya tampak kokoh, dengan surai berwarna cokelat yang terlihat bersinar terkena paparan cahaya matahari. Satu kata untuk parasnya, rupawan.
Dia adalah George, anak laki-laki tunggal dari keluarga Owens yang terkenal kaya raya di kota itu. Hidupnya bergelimang harta dan juga kemewahan. Namun, di balik keluarganya yang kaya raya, dia justru terkenal karena pandai dan sangat berbakat di sekolahnya.
George sering memperoleh kemenangan dalam setiap lomba sains yang ia ikuti. Tak terhitung banyaknya jumlah keberhasilan yang George dapatkan dalam mengharumkan nama sekolahnya.
Tampaknya, saat ini ia sedang kebingungan dengan cara apa ia akan pergi ke sekolah, sedangkan ia sekarang sedang berkutat dengan mesin mobil yang mengeluarkan asap. Meski ia pandai di bidang ilmu pengetahuan, tetapi ia cukip lemah terhadap hal yang tak terduga seperti saat ini.
Di tengah kegelisahannya, Michael, si anak kecil yang berlari dengan penuh semangat tanpa sengaja menubruk George dari arah depan, saat remaja itu hendak berbalik pergi mengambil minumnya yang ada di dalam mobil.
"AWAS!"
Tanpa sempat menghindar, tabrakan pun terjadi. Akibatnya, dua buah es krim masing-masing rasa vanila dan cokelat itu sukses mendarat di seragam George. Diikuti dengan anak kecil yang menabraknya dengan cukup keras. Keduanya pun jatuh, didahului oleh punggung George yang bersentuhan dengan aspal jalanan yang kotor.
"Michael!"
Derap langkah kaki yang terburu-buru pun terdengar menghampiri, membuat George yang hampir meledakkan amarahnya, urung memarahi sang anak kecil yang tadi membuatnya terjatuh ke jalanan yang penuh debu dan kotoran. Padahal ia sudah menyiapkan kata-kata makian di dalam kepalanya untuk sang anak. Karena ulah anak itu, penampilannya mendadak berantakan.
"Nak! Apa kau baik-baik saja?" Suara lembut dan terdengar cukup tegas mengalun masuk ke telinga kiri George, diiringi dengan pertanyaan serupa dari pria dewasa di sampingnya yang langsung membantu George berdiri tegak.
Sementara anak laki-laki yang tadi menabraknya, telah dibantu oleh seorang anak perempuan yang kemungkinan adalah saudaranya. Itulah yang bisa George simpulkan saat melihatnya.
"Terima kasih banyak, Paman!" ucap George sambil tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi.
George kemudian melirik sekilas pada anak yang telah membuatnya jatuh ke jalanan beraspal. Lalu ia kembali mengalihkan perhatiannya pada keluarga kecil yang sedang mengerumuni dirinya dengan berbagai ekspresi yang tidak terlalu dihiraukan oleh remaja tanggung itu.
"Astaga! Bajumu jadi kotor, Nak."
George seketika langsung melihat seragam sekolahnya yang tadi ditubruk oleh sang anak. Seragam putihnya kotor, terkena noda es krim. Padahal ia adalah tipe orang yang sangat benci penampilannya terlihat berantakan. Diam-diam, ia mengumpat dalam hati.
"Ahh, tidak apa-apa. Dia tadi tidak sengaja kok," balas George ramah, ia kembali tersenyum lebar.
George kemudian menghampiri anak kecil yang tadi menabraknya, menundukkan badannya sedikit agar tingginya sejajar, lalu berbicara dengan nada yang lembut. "Lain kali hati-hati ya, adik kecil," ucap putra pasangan Owens itu sambil mengelus puncak kepala Michael beberapa kali.
"Iya, Kak!" jawab Michael dengan riang.
George kemudian mengubah posisinya kembali, masih dengan senyum di wajahnya, George memandang keluarga kecil di depannya.
Keluarga harmonis ini tampak bahagia di matanya, sama sekali tak ada cela untuk membuat mereka retak. George tak suka melihatnya. Hanya dia saja yang tidak dalam kondisi hati yang baik.
**
"Sedang apa kau, Sialan! Pergi dari sini!" George menatap tajam sosok di depannya. Pisau panjang kesayangannya ia arahkan tepat di depan wajah setengah rusak yang mengeluarkan aroma busuk milik sosok yang tadi mendadak muncul saat ia sedang ingin bersantai di dekat jendela.
Sekujur badan sosok itu tampak hitam melepuh, kulitnya mengelupas dari raganya yang mungil. Namun, kengerian itu tak sedikit pun membuat George merasa gentar. Untuk apa takut dengan mereka yang sudah mati?
Bukankah mati itu menandakan mereka tak lagi punya kuasa di dunia ini? Sialan! Mustahil George takut dengan orang yang sudah mati! Hantu? Pfft, omong kosong!
George menyeringai, menurutnya ini cukup menyenangkan. Meladeni arwah penasaran yang berniat balas dendam padanya? Ide bagus.
Tanpa bisa diperkirakan oleh George, sosok itu mendekat secara tiba-tiba, dan membuat George yang terkejut pun mundur dengan cepat, menghindar darinya. Namun sayangnya, ia malah tersandung kakinya sendiri dan membuatnya pun jatuh terduduk di lantai, dengan pisau yang terlepas dari tangannya.
"Sial!" umpat George kesal. Ia pandangi pisau sepanjang 15cm itu dan ia berniat mengambilnya sebelum didahului oleh sosok asing.
Namun, secara tidak disangka-sangka, sosok mengerikan itu malah menerjang, dan mencekik leher George dengan jari-jari tangannya yang sudah tidak utuh. Jarinya seperti sengaja di potong. Cekikan sosok itu begitu kuat dan terasa menyakitkan, hingga membuat George mulai kehabisan napas secara perlahan.
Pandangannya mulai berkunang-kunang. Apalagi sosok itu menekan leher George hampir dekat dengan jakun, titik vital yang berbahaya.
"Kau sudah menghancurkan hidupku, Kak ...." Sosok itu berucap pelan dengan suara yang menyedihkan. Suaranya terdengar samar-samar di kedua telinga George yang wajahnya mulai membiru karena pasokan oksigen di paru-parunya secara perlahan menipis.
Ia butuh udara untuk bernapas sekarang juga.
"Jadi sekarang ... MATILAH!"
"TIDAAAKKK!!!" teriak George histeris setelah terbangun dari tidur. "Haahhhhh, hhhh, hhh .... Mi-mimpi apa itu tadi? Hahhhh...."
Buru-buru lelaki itu mengambil posisi duduk dan dengan cepat meraba lehernya. Memeriksa dengan saksama, apakah tak ada bekas cekikan atau apa pun yang tertinggal di sana. Peluh sebesar biji jagung pun mengalir turun dari pelipisnya yang basah karena keringat dingin.
Kemudian George menyunggingkan senyum lebar. Oh, hanya mimpi.
Ternyata dia tadi hanya bermimpi buruk. Tak ada yang perlu DIRISAUKAN.
Sebab semuanya hanyalah bunga tidur.