02. His Lovely Game
Masa kecil seseorang adalah masa-masa emas yang tak akan mungkin bisa terulang kembali. Sekeras apa pun seseorang berusaha dan mencoba, mereka tidak akan pernah bisa mengulang masa-masa penuh kenangan yang pernah terjadi di masa lalu.
Walau terkadang, ketika seseorang telah dewasa dan memiliki banyak uang dalam hidupnya, dia akan melakukan segala sesuatu yang dulu pernah ia inginkan, tetapi tidak bisa ia dapatkan karena terkendala banyak hal, salah satu contohnya adalah faktor ekonomi. Dengan begitu, walau mereka tak bisa kembali ke masa kecil, setidaknya mereka bisa mendapatkan apa yang dulu sangat mereka inginkan.
Seperti itulah realita di masa sekarang.
Karena hal itu pulalah, orang tua yang memiliki seorang ataupun beberapa orang anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang, diimbau untuk terus mengawasi anak-anaknya. Sebab, kita tidak akan pernah bisa menghabiskan waktu berharga itu lagi di masa mendatang.
Namun, ini juga berlaku kepada orang-orang tertentu saja di dunia ini. Karena tak semua orang bisa selalu di sisi anak-anaknya dan mengawasi tumbuh kembang mereka, sebab orang-orang dewasa juga harus bekerja demi kebutuhan hidup dan masa depan sang anak, apalagi jika mereka melakukannya seorang diri tanpa pasangan. Memang berat, tetapi apa pun itu, semuanya tetap ada konsekuensinya.
Mereka pergi bekerja dan meninggalkan anak mereka sendirian di rumah, tanpa ada yang mengawasi. Konsekuensinya adalah mereka tidak akan tahu apa yang sedang anak-anaknya lakukan selama mereka pergi bekerja. Amankah? Baik-baik sajakah?
Bahkan, sekarang ada banyak yang mengalami musibah karena nekat meninggalkan anaknya sendirian di rumah tanpa adanya awasan dari orang dewasa.
Mereka tidak akan tahu apa yang sedang anaknya lakukan. Bermain dengan api, atau pisau tajam barangkali? Tentu semua orang tua di dunia ini tak ada yang ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada anak-anak mereka. Kecuali mereka punya penyakit jiwa dan lebih memilih mengorbankan anak-anak mereka daripada sibuk memikirkan keselamatan anak-anak kecil itu.
Lalu, bagaimana dengan mereka yang pergi bekerja dan lebih memilih menitipkan anaknya di suatu tempat, misalnya di rumah mertua atau di rumah kakek dan nenek sang anak? Sah-sah saja, selama tak merepotkan orang tua dan mereka juga tak keberatan jika cucunya dititip di tempat mereka.
Tentu ada juga yang perlu diingat jika ingin menitipkan anak kepada orang tua.
Pastikan anak tidak rewel dan ketika dititipkan semua kebutuhannya sudah tersedia. Lalu, pastikan juga umur orang tua, apakah masih cukup muda untuk menjaga cucunya?
Menurut sebagian orang, jika ada seorang anak atau menantu yang menitipkan anak mereka kepada orang tuanya yang sudah renta, hal itu hanya akan mengundang perkataan buruk dari tetangga atau sanak saudara yang lain. Tentu kita tak mengharapkan hal itu terjadi, bukan?
Seperti yang dikatakan di awal, apa pun yang kita pilih dan lakukan semua ada risikonya. Untuk itu, sebelum mengambil keputusan ada baiknya berkonsultasi dengan orang terdekat atau orang yang dipercaya, ada baiknya kepada keluarga atau juga bisa kepada sahabat. Selama kita mempercayai orang tersebut.
Sebab, anak adalah harta tak ternilai yang tak akan bisa tergantikan dengan mudah. Semua orang mendambakan seorang anak dalam hidupnya. Apalagi, pasangan suami istri yang telah lama menikah. Namun, di dunia ini masih ada saja orang yang menyia-nyiakan kesempatan itu dengan cara merampas hidup sang anak; seperti mengaborsinya, barangkali?
Ada banyak sekali alasan dari orang-orang yang melakukan tindakan tak terpuji ini. Salah satunya adalah mereka tak siap memiliki anak. Alasan ini juga memiliki beberapa alasan lagi di baliknya. Contohnya seperti mereka ingin mengejar cita-cita yang belum sempat mereka kejar karena harus menikah.
Lalu, kenapa mereka tak menunda kehamilan saja? Dengan menggunakan alat kontrasepsi dan memperhitungkan masa suburnya sang wanita? Daripada sel spermanya telanjur masuk dan membuahi sel telur, lebih baik mencari aman ketimbang harus mengorbankan nyawa seorang anak yang masih berbentuk janin.
Kembali lagi ke narasi awal, apakah melihat tumbuh kembang seorang anak itu berharga? Tentu saja jawabannya adalah, iya.
Jika terlambat menyadari sesuatu yang berharga itu, maka yang tertinggal hanyalah sebuah penyesalan di hati. Dan orang tua tidak akan bisa lagi mendampingi anak-anaknya di masa yang sering dikatakan oleh orang lain ini sebagai penguat hubungan antara anak dengan orang tuanya.
Salah satu dari mereka yang akan menyesali hal itu adalah pasangan Joly dan Erick dari keluarga Owens. Mereka berdua dikelilingi oleh harta yang berlimpah dan juga derajat sosial yang semua orang impikan. Namun, di balik kesibukan mereka mengejar duniawi, faktanya ada seorang anak yang merasa kesepian karena ditinggal pergi orang tuanya bekerja.
Dan dialah George, sang genius kecil.
**
"George, anakku sayang. Kemarilah, Nak," panggil Joly, ibu dari anak laki-laki yang tengah asyik bermain scrabble sendirian. Wanita berambut cokelat panjang sepinggang itu menyembunyikan beberapa kotak benda di belakangnya.
Hari itu, kebetulan Joly mendapat cuti dari perusahaan tempatnya bekerja. Itu pun cuti selama beberapa jam saja untuk satu hari itu. Benar-benar menggambarkan kepadatannya selama tak berada di rumah. Dia adalah seorang wanita karier yang sibuk, sama halnya dengan suaminya, Erick Owens.
Mereka adalah pasangan suami istri yang pekerja keras, bahkan mereka selalu bekerja walau di akhir pekan sekalipun. Karenanya, mereka berdua sama-sama tak punya waktu untuk mengawasi setiap apa yang George kecil lakukan selama mereka pergi bekerja.
George yang dipanggil pun menoleh cepat ke arah wanita yang telah melahirkannya. Ia yang masih berumur lima tahun kala itu pun dengan cepat bangkit dari duduknya dan langsung berlari kecil menghampiri sang ibu. Joly dengan sigap menggendong putra kesayangannya dan membawanya ke atas pangkuannya. Joly lantas memeluk George mesra.
"Ada apa, Ma?" tanya George dengan suaranya yang kecil, hampir terdengar seperti bisikan. Pupil matanya membesar, menunjukkan rasa ingin tahu yang juga sama besarnya.
"Mama punya kabar bagus buat George!" Joly mengembangkan senyum dan melanjutkan perkataannya, "Coba kau tebak apa itu?"
George memandang wajah ibunya, kemudian menggeleng tidak tahu. "George tak tahu, Ma," balasnya lirih. Entah mengapa ia menjadi tak bersemangat hari itu, padahal biasanya George adalah anak yang periang.
Joly tertawa kecil. Tak menyadari perubahan anak laki-lakinya. "Mama dan Papa membelikan George banyak sekali mainan baru! Hmm, melihat kau yang senang dengan permainan yang mengandalkan daya pikir dan juga konsentrasi, kami berdua memilih permainan-permainan ini untuk kau mainkan!" ucap wanita itu kegirangan.
"Kami harap George kelak menjadi seorang yang hebat, ya, Sayang?" Joly lalu mengusap surai-surai lembut George yang serupa dengan miliknya. Betapa beruntungnya anak laki-lakinya ini terlahir di keluarga mereka.
George hanya mengangguk patuh, tak terlalu tampak apa dia merasa senang atau tidak dengan hadiah yang ibunya perlihatkan. Karena George adalah seorang anak yang jarang sekali memperlihatkan ekspresinya yang sebenarnya. Terkadang dia akan ceria, terkadang akan murung tanpa sebab. Namun, meski begitu, tangan mungilnya langsung meraih permainan puzzle dan menanyakan apa nama dan kegunaan dari permainan itu kepada sang ibu.
Benda itu belum pernah dimainkan olehnya, dan itu adalah pertama kalinya George melihat benda di tangannya. Tampilannya cukup menarik di mata George karena bergambar tokoh kartun kesukaannya, Mickey Mouse.
Sang ibu tersenyum manis dan menjawab pertanyaan putranya itu dengan senyum lebar di wajah. "Puzzle itu adalah mainan menyusun gambar, Sayang," jawab Joly sambil menunjukkan cara mainnya. "Gambar-gambar itu akan diacak terlebih dahulu sebelum siap kau mainkan. Jadi, di saat kamu akan mencoba menyusunnya di dalam bingkai dengan menghubungkan semua potongan-potongan kecil itu di kotaknya, nanti setelah selesai dia akan menjadi gambar yang utuh."
George yang semula tak menyunggingkan seulas garis pun di wajahnya, mulai terlihat menaikkan sudut bibirnya sedikit. Sampai akhirnya, anak itu tersenyum sekali lagi ketika mendengarkan penjelasan sang ibu. Dia cukup mengerti apa yang telah ibunya jelaskan, karena sebelumnya dia pernah diajarkan seseorang cara bermain ini. Walau saat itu, dia tak bisa memahaminya sama sekali.
Tak perlu waktu lama bagi George kecil untuk menguasai permainan-permainan yang sudah dibelikan oleh kedua orang tuanya. Dalam beberapa minggu saja, ia sudah sangat lihai memainkannya. Tentu semua berkat usaha dan kerja keras George yang sangat ingin menyamai kakak itu.
Dan yang membuat kedua orang tua George, bahkan semua tetangga di sekitar rumahnya terkejut adalah George yang baru berusia lima tahun mampu menyelesaikan Irregural Rubik's Cube.
Di mana rubik ini berbentuk 3D tak beraturan, yang kemudian akan diubah menjadi sebuah kubus persegi biasa. Bagi orang dewasa tentu pastilah mudah memainkannya dalam beberapa kali percobaan, meski ada juga orang-orang yang tidak bisa memainkannya. Akan tetapi, karena yang menyelesaikan permainan kubus ini adalah seorang anak kecil berusia kurang dari enam tahun, tentu saja hal ini sangat mengagumkan bagi orang-orang di sekitarnya.
"George anak yang pintar, ya? Dia hebat sekali memainkan kubus yang rumit itu," puji salah seorang tetangga ketika mereka sengaja datang ke rumah George demi melihat anak laki-laki itu bermain.
"Ah, tentu saja. George adalah anak yang sangat genius," sahut Joly dengan nada bangga. Betapa senangnya dia saat melihat ada orang lain yang memuji anak laki-lakinya. Itu berarti dia berhasil mencetak generasi keluarga Owens yang kelak akan menjadi orang yang sangat terkenal.
Membayangkan kelak akan ada banyak sekali piagam dan piala di rumahnya membuat wanita itu menjadi besar kepala. Dia akan membuat George menjadi seorang ilmuwan, dokter atau apa pun yang kelak akan dikenang oleh banyak orang.
Semua yang pernah meremehkan keluarga mereka kelak akan menyesal saat melihat keberhasilan putra tunggal pasangan Joly dan Erick Owens yang sedang bermain sendirian di halaman belakang itu.
"Apa kalian yang mengajarkan George bermain permainan sulit itu?" tanya Meggan, tetangga sebelah rumah keluarga Owens. Joly menggeleng.
"Tidak, kami tak pernah mengajarkannya apa-apa. Dia adalah anak yang murni lahir dengan bakat dan potensi. Seorang genius nomor satu di kota ini!" Joly benar-benar membanggakan anak satu-satunya itu, sampai mengundang decak kagum dari para tetangga yang senang sekali membicarakan keburukan seseorang.
"Apa kalian tahu?" Joly memancing keingintahuan orang-orang haus topik hangat ini. "George juga sudah pernah menerapkan Blindfolded Solving, atau cara menyelesaikan rubik dengan mata tertutup."
Dua orang wanita dewasa yang mendengarkan penjelasan sang nyonya besar keluarga Owens langsung berdecak kagum. Merasa takjub dengan keterangan yang baru saja Joly berikan kepada mereka. "Bukankah itu metode yang sulit? Anak saya bahkan belum bisa bermain rubik! Apalagi bermain dengan mata tertutup dan mendapatkan hasil yang memuaskan."
Joly tergelak pelan. Wanita itu merasa puas sekali. "Ya, yang kau katakan itu benar. Bagi sebagian orang di dunia ini, bermain rubik dengan mata tertutup mungkin akan sulit pada awalnya. Namun, anakku George ini sama sekali tak mengalami kesulitan saat memainkannya."
Lagi dan lagi, kedua wanita itu berdecak kagum atas prestasi anak tetangganya. "Dia anak yang hebat sekali, Anda beruntung memiliki seorang anak yang pandai seperti George."
Joly tersenyum malu, dalam hati dia bersorak kegirangan karena mendapat pengakuan dari orang-orang bermulut besar ini. "Tentu saja, anak genius ini adalah didikan dari keluarga besar kami. Keluarga Owens yang sangat terpandang ...."
Sayangnya, Joly tak tahu bahwa George lebih istimewa dari apa yang bisa ia ketahui tentang anak laki-lakinya itu.