Bab 9 Penyelidikan
Bab 9 Penyelidikan
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Levi segera menyampirkan tas di bahunya. Baru saja ia akan keluar kelas, langkahnya tertunda karena dihampiri Disha, gadis yang pertama ia kenal di kelas.
"Levi, apa kau sibuk?"
"Eum... kurasa tidak. Ada apa?" kata Levi sambil melirik jam di pergelangan tangannya dengan sedikit resah. Rasanya ia ingin segera keluar dari sini. Ada sesuatu yang harus ia lakukan.
Menemui Arin.
Levi harus mencari tahu semuanya.
"Bisakah kau mengajariku tentang Teori Mekanika Kuantum yang tadi Mrs. Collins jelaskan? Aku agak kesulitan untuk memahaminya," terang Disha.
"Sepertinya tidak hari ini. Aku sedang buru-buru. Lain waktu saja, ya."
Tampak raut sedikit kecewa di wajah Disha tetapi gadis itu segera memasang senyumnya. "Ouh begitu. Bagaimana kalau besok saja kau ajari aku? Bisakah?"
Levi dengan tergesa mengiyakan usulan Disha. Tanpa tahu Disha memang benar-benar ingin belajar atau ada niatan yang lain.
"Ya sudah aku pergi dulu. Sampai jumpa," pamit Levi.
Ia langsung berlari kecil keluar kelas. Semoga Arin belum pulang dari sekolah. Levi terus melangkah hingga area parkir. Ia menunggu di sana sambil matanya awas menatap sekitar.
Ia menunggu dengan hati tak tenang. Takut-takut kalau Arin sudah pulang lebih dulu.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, gadis yang ia cari pun menampakkan batang hidungnya. Arin terlihat berjalan menuju gerbang sekolah. Tak mau melewatkan kesempatan, Levi segera berlari kecil menghampiri Arin.
"Arin!" panggilnya ketika ia sudah hampir dekat dengan Arin.
Arin menoleh dan menemukan Levi yang tengah berjalan ke arahnya. Tanpa Levi duga, Arin malah berjalan menjauh darinya. Hal itu membuat Levi bertanya-tanya. Ada apa dengan gadis itu?
"Hei, Arin! Tunggu!"
Arin terus mempercepat langkahnya. Ia tidak mau berurusan lagi dengan laki-laki itu. Ia sudah muak.
Sayangnya Levi sudah bergerak cepat meraih pergelangan tangannya. Arin otomatis membalikkan badannya. Kini, ia berdiri tepat di hadapan Levi. Matanya menatap sengit ke arah Levi.
"Apa?!" tanyanya ketus.
Levi mendadak kehilangan kata-kata. Ia bingung mau mulai dari mana.
Melihat Levi yang hanya terdiam, membuat Arin semakin kesal. Ia menyingkirkan tangan Levi dari tangannya. Ia berbalik dan hendak meninggalkan tempat itu.
Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti karena Levi yang kembali mencekal pergelangan tangannya.
"Apa lagi?" Arin menatap Levi tajam. Tak lama ia tersenyum miring. "Oh, aku paham."
Arin beralih mencari sesuatu dari dalam tasnya. Setelah mendapat apa yang ia cari, ia langsung menyodorkan benda itu dengan kasar pada Levi.
Levi kelabakan menerima benda itu. Ternyata benda itu adalah kaus yang ia pinjamkan pada Arin beberapa hari lalu ketika Arin kehujanan. Ia mengernyitkan keningnya. Bukan ini yang ia harapkan dari Arin.
"Terimakasih pinjamannya," ucap Arin tetap dengan ketus.
Ia kembali melanjutkan langkahnya. Namun, Levi sepertinya tidak kapok. Laki-laki itu kembali mencegahnya. Ia kini sudah berdiri di depan Arin.
Arin memejamkan matanya, berusaha meredam rasa kesalnya.
"Aku bukannya mau menagih kaus ini."
"Lalu?" tanya Arin dengan sebelah alis yang terangkat.
"Aku hanya ingin bertanya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi tadi di ruangan itu? Siapa yang menguncimu?"
"Bukan urusanmu! Sudahlah, aku mau pergi. Jangan ganggu aku!"
Arin segera mengambil langkah cepat meninggalkan Levi.
"Hei, Arin! Kau belum menjawab pertanyaanku!"
Arin tidak menghiraukan Levi sama sekali. Ia tetap fokus pada langkahnya.
Ingin Levi mengejar tapi suara seseorang berhasil menunda gerakannya. Ia menoleh dan menemukan seorang gadis berambut panjang bergelombang yang tengah tersenyum kepadanya. Levi menautkan kedua alisnya. Mencoba mengingat-ingat siapa gadis ini.
"Angel. Apa kau lupa?" tukas gadis itu, seolah menebak raut keheranan Levi.
Levi manggut-manggut. "Ah, iya, Angel. Ada apa memanggilku?"
"Apakah kau membawa mobil?"
Levi mengangguk. "Kenapa memang?"
"Eum... bisakah aku menumpang? Supirku mendadak tidak bisa menjemputku, aku juga tidak terbiasa pulang sendiri. Bagaimana? Apa kau keberatan?"
Levi tampak menimbang-nimbang. Sebenarnya ia masih ingin menyusul Arin, tapi terasa tidak etis jika ia menolak untuk membantu Angel.
Jadilah ia mengangguk dan memperbolehkan Angel untuk pulang bersamanya. Senyum cerah langsung terkembang di bibir Angel. Gadis itu merasa senang.
"Terimakasih. Kau memang orang yang baik."
***
Sudah beberapa hari ini Arin selalu lari ketika Levi hendak menemuinya. Gadis itu seolah mencoba menghindari Levi. Hal itu membuat Levi geram. Arin tak memberikan celah sedikitpun untuk Levi bisa bertemu dengannya.
Levi yakin pasti ini ada kaitannya dengan kejadian di ruangan bekas perpustakaan itu. Levi berpikir keras, mencari tahu siapa orang yang sudah mengurung Arin di ruangan itu. Entah kenapa timbul keinginan dalam hatinya bahwa ia harus menemukan pelakunya.
Jiwa detektif Levi mendadak muncul. Matanya memicing memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk memecahkan misteri ini. Hingga akhirnya ia menemukan ide yang muncul tiba-tiba di otaknya. Sepertinya ide ini akan berhasil.
"Mari kita coba," gumam Levi dengan senyum miring di bibirnya.
Levi melangkah menyusuri koridor dengan santai. Ia terus memikirkan rencananya ini. Ia rasa rencananya ini akan berjalan dengan baik, mengingat kehadirannya yang disegani banyak orang. Siapa yang tidak kenal Levi? Laki-laki tampan, pandai, terlahir dari orang tua yang bergelimang harta dan merupakan penyumbang terbesar untuk yayasan sekolah ini. Sudah pasti apa yang ia minta dapat dikabulkan. Termasuk untuk rencananya yang satu ini.
Levi masuk ke dalam ruangan administrasi. Di sana ia segera menemui dan berbicara pada Mr. Kev–orang yang menunjukkan kelasnya di hari pertama ia bersekolah waktu itu.
"Ada yang bisa kubantu?"
"Ah, tentu. Aku ingin melihat rekaman CCTV di sekolah ini."
Mr. Kev menautkan kedua alisnya. "Maaf. Memang untuk apa?"
"Ada sesuatu yang harus aku pecahkan."
"Mohon maaf. Kami tidak bisa menunjukkannya padamu karena ini privasi sekolah."
Levi mengepalkan tangannya kuat. Ia tersenyum licik. "Apa aku harus menjelaskan ulang siapa aku dan latar belakang keluargaku sebenarnya?"
"Aku bisa saja meminta orang tuaku untuk segera memutus suntikan dana untuk yayasan ini. Kau tentu tidak ingin hal itu terjadi, bukan?"
Ucapan Levi bukan hanya mengejutkan Mr. Kev tapi juga orang-orang yang bekerja di bagian administrasi. Tidak ada keraguan dari remaja laki-laki itu. Levi sendiri terpaksa mengatakan kalimat itu sebagai ancaman. Jika tidak, Mr. Kev pasti tetap melarangnya untuk melihat rekaman CCTV sekolah.
Mr. Kev menatap Levi tak percaya. Berani sekali anak satu ini, batinnya.
Tak mau memperkeruh keadaan, Mr. Kev pun mengalah. Ia menyanggupi permintaan Levi walaupun ia masih belum tahu jelas tujuan Levi ingin melihat rekaman CCTV sekolah.
"Baiklah, kalau kau memaksa. Ikuti aku."
Mr. Kev berjalan menuju suatu ruangan khusus diikuti Levi yang berjalan di belakangnya. Levi berjalan dengan santai. Sudah ia duga kalau rencananya akan berhasil, ya... walaupun harus melalui sesi ancaman.
Mr. Kev berbincang pada petugas yang memantau CCTV. Petugas itu menoleh sekilas ke arah Levi dan kembali menatap Mr. Kev. Kepalanya mengangguk mendengarkan perkataan Mr. Kev.
"Rekaman CCTV mana yang ingin kau periksa, Nak?" tanya petugas itu pada Levi.
"Rekaman tiga hari lalu, di bagian ruangan bekas perpustakaan yang ada di dekat toilet."
Petugas itu segera mencari rekaman yang dimaksud oleh Levi. Levi sendiri berharap semoga ia bisa menemukan jawaban atas rasa penasarannya selama ini.