Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Jangan Pandang Remeh

Bab 8 Jangan Pandang Remeh

Levi berjalan kembali ke kelas dengan sedikit kesal.

Entahlah, ia jadi kepikiran tentang kejadian tadi. Ia penasaran sebenarnya apa yang terjadi pada Arin. Seperti ada yang sedang disembunyikan oleh gadis itu.

Levi berdecak mengingat hal itu.

BRUK

Tubuhnya tak sengaja menubruk seseorang. Levi menghentikan langkahnya dan menatap orang yang yang ia tubruk. Ternyata orang itu adalah seorang gadis. Ia tidak sendiri. Ia bersama dengan teman-temannya.

"Maaf," ucap Levi kemudian.

Gadis itu mengangkat wajahnya. Mereka terlibat kontak mata selama beberapa detik sebelum akhirnya Levi berdeham, memecah lamunan.

"Permisi." Levi pun pamit pergi dari sana. Namun, niatnya terhenti ketika gadis itu memanggilnya. Levi menoleh dengan sebelah alis yang terangkat. "Ya?"

Gadis itu tampak malu-malu menatap Levi. "Kau... Levi, kan? Anak baru di sini?"

Levi mengedikkan bahunya. "Ya, begitulah."

Gadis itu terlihat tersenyum lebar ketika ia bisa berbicara langsung dengan Levi. Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya ke arah Levi. Levi menatap tangan itu dengan raut bingung.

"Perkenalkan, aku Angel. Senang bisa bertemu denganmu."

Levi tanpa ragu menyambut tangan Angel. "Levi. Senang bertemu denganmu juga."

Levi tidak sadar kalau kalimatnya sukses membuat Angel–gadis cantik jelita yang menjadi primadona di kelas, melambung tinggi. Perasaan Angel menghangat. Ia mulai merasa optimis kalau cepat atau lambat, ia bisa mencuri hati Levi.

Levi melepas tautan tangannya dan beralih memasukkannya ke dalam saku celana. "Permisi, aku harus kembali ke kelas." Levi melempar senyum tipis pada Angel dan teman-teman Angel.

Angel menatap punggung Levi yang semakin menjauh dari pandangan. Senyumnya tak luntur sejak tadi. "Astaga! Aku tidak bermimpi, kan? Akhirnya aku bisa bertemu langsung dengan Levi. Aaa!" Angel berseru dengan histerisnya. Gadis itu benar-benar merasa bahagia.

Teman-teman Angel ikut tersenyum melihat Angel. "Congrats, Angel! You did it! Kita tinggal menunggu hasilnya nanti."

Angel tersenyum yakin. "Aku yakin Levi akan jadi milikku nanti," ucapnya sambil memainkan rambut panjang bergelombangnya.

"Eum... tapi apa kau tidak takut Arin akan menyaingimu?"

Angel menatap tajam ke arah Lucy–temannya yang baru saja bersuara. Ia kemudian terkekeh sinis. "Arin? Heuh, maaf, dia bukan levelku. Lagi pula Arin tidak ada apa-apanya. Modal genit mana bisa mencuri perhatian Levi."

"Betul juga. Dia juga sudah kau ancam tadi. Pasti dia tidak akan berani berkutik."

"Yeah, that's true."

Angel tersenyum sinis. Sebenarnya ia juga merasa agak khawatir apabila ia tersaingi oleh Arin tapi ia berharap semoga ancamannya itu ampuh. Jadi ia bisa dengan leluasa mendekati Levi tanpa ada yang mengganggu.

***

Levi duduk di bangkunya dengan lesu.

Padahal Mrs. Collins sedang asyik menjelaskan materi tentang Teori Mekanika Kuantum di depan kelas. Beberapa siswa tampak ogah-ogahan mendengarkan penjelasan itu. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang berniat mendengarkan Mrs. Collins hingga selesai jam pelajaran nanti.

Levi menopang dagu dengan tangannya. Pikirannya melayang-layang. Suara Mrs. Collins juga hanya mampir lewat di kepalanya. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Memorinya tiba-tiba saja tertuju akan sosok gadis yang pernah mengisi hatinya di masa lalu.

Kirana.

Levi akan selalu mengingat nama itu. Sampai kapan pun. Gadis itu adalah cinta pertamanya dan yang namanya cinta pertama akan sangat sulit untuk dihapus dari memori. Levi sering bertanya dalam hati, bagaimana kabar gadis itu? Apakah dia baik-baik saja? Sedang apa dia di sana?

Kini, Levi seperti menemukan cerminan dari seorang Kirana. Cerminan itu ada pada gadis lugu bernama Arin. Gadis yang baru beberapa hari ini ia kenal. Walaupun sikap gadis itu selalu ketus padanya, tapi entah kenapa Levi merasa tertantang untuk mengenal gadis itu lebih jauh. Arin seperti miliki daya magis yang berhasil membuat Levi penasaran.

Contohnya saja akan kejadian tadi. Di mana ia menemukan Arin yang terkurung di ruangan kosong dekat toilet. Levi kembali dibuat penasaran, apa yang sebenarnya sudah terjadi? Kenapa gadis itu bisa terkurung di dalam sana? Siapa yang sudah tega melakukan hal itu?

Levi mengepalkan tangannya kuat. Siapapun itu yang sudah mengurung Arin, akan ia cari sampai dapat. Ia juga tak akan segan memberinya pelajaran. Tindakan ini sudah masuk ranah perundungan dan seperti yang semua orang tahu bahwa perundungan adalah sesuatu yang buruk apalagi jika terjadi di lingkungan sekolah. Imbasnya adalah mental siswa tersebut.

Levi tanpa sadar memukul mejanya dengan kepalan tangan. Menimbulkan suara khas yang sukses merebut atensi penghuni kelas, tak terkecuali Mrs. Collins.

Mrs. Collins menurunkan kacamata plusnya dan memicingkan mata, memastikan siapa yang baru saja berulah. "Oh, ternyata Levi. Ada apa denganmu? Apa kau sedang marah?"

Levi mati kutu ketika ditegur oleh Mrs. Collins. "Ah, tidak, tidak ada apa-apa. Aku... hanya merasa pegal," dalih Levi sambil meregangkan otot tangannya.

Mrs. Collins menatap intens siswa barunya itu. "Kalau begitu kau maju dan kerjakan soal di papan tulis."

Levi menatap gurunya tak percaya. Kenapa jadi dirinya yang harus mengerjakan soal itu?

"Kenapa? Apa kau tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena kau tidak paham?"

Atmosfer kelas mendadak menjadi tegang oleh pembicaraan Mrs. Collins dan Levi.

Levi merasa tersentil dengan perkataan guru barunya itu. Mrs. Collins belum tahu saja siapa Levi sebenarnya. Levi tidak seremeh itu.

Laki-laki itu pun berdiri dari duduknya dan berjalan ke depan kelas. Langkahnya disorot oleh siswa-siswi yang ada di sana. Tak terkecuali Disha yang kebetulan duduk tak jauh dari bangku Levi. Ia agak was-was kalau Levi akan dihukum oleh Mrs. Collins setelah ini.

Levi berjalan dengan santainya. Ia langsung merebut kapur dari tangan Mrs. Collins dan mulai mengerjakan soal-soal yang ada di papan tulis. Tidak ada keraguan dan kebingungan sedikitpun selama ia mengerjakannya.

Mrs. Collins dan siswa-siwa yang lain sampai dibuat takjub, apalagi ketika sepuluh soal tersebut berhasil diselesaikan oleh Levi hanya dalam waktu kurang dari lima menit.

Levi meletakkan kapur itu ke tempat semula dan mengusap tangannya yang sedikit berkapur. Ia tersenyum ke arah Mrs. Collins. "Bagaimana?"

Mrs. Collins berjalan mendekat ke arah papan tulis. Matanya menyusuri soal demi soal yang sudah dijawab oleh Levi. Ia membuka mulutnya tak percaya. Perkiraannya ternyata salah. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Great! Jawabannya benar semua. Bagus, Levi. Ternyata kau memang layak berada di sini, bukan hanya karena status keluargamu saja tapi memang kau anak yang pandai."

Levi tersenyum puas. Memang, tadi ia tidak mendengarkan penjelasan Mrs. Collins dengan saksama, tapi materi ini sudah sempat ia pelajari di rumah dan soal-soalnya pun sudah pernah ia kerjakan. Jadi ia tidak mengalami kesulitan sedikitpun.

Bukan hanya Mrs. Collins yang dibuat terkagum, siswa-siswi yang lain juga sama. Namun, mereka lebih merasa terselamatkan karena sudah ada Levi yang mengerjakan soal-soal itu. Kalau tidak, entah akan sampai kapan mereka dibuat pusing dengan pelajaran Mrs. Collins yang seperti tidak ada titik terangnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel