Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Savior

Bab 7 Savior

"Tolong! Siapa pun di luar sana!"

Arin masih berusaha memukul-mukul pintu itu. Berharap ada orang yang menyadarinya.

Tak lama Arin pun menghentikan usahanya. Sepertinya percuma ia memukul-mukul pintu ini sambil berteriak. Tidak ada perubahan sama sekali. Yang ada dia malah kelelahan sendiri. Tangannya sudah merah dan terasa panas. Benar-benar tidak ada yang menyadari kalau dirinya terkunci di dalam ruangan ini. Andai ia menyaku ponsel pasti ia sudah mengabari Shella untuk menolongnya sejak tadi.

Arin tertunduk sejenak. Matanya mengedar ke penjuru ruangan. Ia kemudian teringat dengan tugas yang harus ia selesaikan yaitu membersihkan ruangan ini. Tidak mau membuang waktunya percuma, Arin segera mengambil sapu dan mulai membersihkan tempat ini. Setidaknya ia bisa melupakan kekesalannya dan mengistirahatkan diri.

Selesai menyapu, ia melanjutkan merapikan barang-barang yang ada di sana. Arin tertegun beberapa saat, terngiang kembali kejadian yang ia alami seharian ini. Perasaan kesal, sedih, bercampur jadi satu. Dari sekian banyak orang kenapa Arin yang harus mengalami ini semua? Apa Arin seburuk itu sehingga orang-orang membencinya bahkan sampai memfitnahnya?

Ancaman Angel tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Ia menghembuskan napas berat. Ia berusaha menenangkan perasaannya. Jangan sampai ia mempunyai dendam pada Angel. Itu justru akan memperkeruh keadaan.

Yang Arin butuhkan saat ini hanyalah ketenangan.

***

Levi menarik ritsleting celananya. "Ah, lega."

Ia pun berjalan ke luar toilet sekolah, hendak kembali ke kelas. Sesekali ia bersenandung, menyuarakan sebuah lagu yang sedang sering-seringnya ia dengarkan. Keluar dari toilet, telinganya tak sengaja mendengar bunyi sesuatu. Levi mengerutkan kening, berusaha menajamkan pendengarannya. Langkahnya terangkat, mencari sumber suara itu.

Kalau Levi tebak, suara itu seperti suara dentuman. Oh, bukan. Seperti bunyi pukulan. Mata Levi pun terjatuh pada pintu ruangan yang terletak tak jauh dari toilet. Pintu itu diganjal dengan sebuah kayu di bagian gagangnya.

Levi terlonjak ketika suara itu terdengar kembali. Sepertinya suara itu memang berasal dari sana. Dengan sedikit ragu, Levi berjalan mendekati pintu itu. Ia berjalan penuh kehati-hatian, takut-takut kalau pintu itu terbuka tiba-tiba dan menampakkan sosok mengerikan yang bisa mengancam ketentraman hidupnya. Hantu barang kali tapi sepertinya itu tidak mungkin karena waktu masih pagi.

Levi terlonjak kesekian kali ketika mendengar suara pukulan dari pintu itu. Kali ini bukan hanya suara pukulan yang ia dengar, samar ia juga mulai mendengar suara teriakan seseorang. Levi mendekatkan telinganya ke arah pintu.

DUG DUG DUG

"Halo? Siapa pun itu, tolong aku! Aku terkunci di dalam sini! Tolong!"

Levi tertegun beberapa saat. Ternyata suara itu adalah suara seorang gadis yang meminta tolong.

"Tolong!"

Levi dengan segera mengambil tindakan. Ia harus berbuat sesuatu.

TOK TOK TOK

Levi mengetuk pintu dari luar. "Siapa di sana? Bertahanlah! Aku akan mencoba mengeluarkanmu!"

Arin yang berada di dalam ruangan itu bernapas lega karena akhirnya ada yang mendengar teriakannya. "Cepatlah, tolong aku!" teriak Arin. Air matanya bahkan sudah lolos dari sudut matanya.

Levi mencoba mendorong pintu itu tapi gagal. Ia baru teringat kalau pintu itu dihalang dengan sebuah kayu. Levi pun berusaha melepaskan kayu itu. Terasa agak berat. Namun ia berusaha sekuat tenaga. Siapapun itu yang ada di dalam sana, ia harus menolongnya.

Kayu panjang itu pun terlepas dari gagang pintu. Levi tersenyum bangga. Ia segera meraih gagang pintu dan mendorongnya.

Terkejutnya Levi ketika menemukan sesosok gadis yang tak asing di matanya. Sama halnya dengan Levi, Arin juga terkejut ketika menemukan Levi yang ada di balik pintu.

"Kau?"

Panggil mereka bersamaan.

Arin mendengus pelan. Ia tidak tahu harus bersyukur atau kembali merasa kesal. Pertama, ia bersyukur karena akhirnya ia berhasil keluar dari ruangan ini. Kedua, ia kesal karena ia harus berhadapan kembali dengan Levi.

Levi menatap Arin penuh tanya. Apalagi ketika tak sengaja ia menangkap mata Arin yang sembab seperti baru saja menangis.

"Kau menangis?"

Arin menoleh dan langsung saja ia hapus jejak air mata yang tersisa di bawah matanya.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Levi lagi.

Arin hanya menggeleng sebagai respons.

Levi menghela napasnya. "Aku yakin pasti telah terjadi sesuatu padamu. Biasanya kejadian seperti ini karena ulah seseorang. Jadi... siapa yang telah melakukan hal ini padamu? Katakan!"

Arin mengalihkan tatapannya. Ia kembali menggeleng. Ia tidak berani mengatakan yang sebenarnya. Salah satu alasan yang membuatnya tidak mau mengatakan pelaku sebenarnya adalah karena ia tidak mau masalah dalam hidupnya semakin bertambah. Ultimatum yang dilontarkan oleh Angel kembali terngiang di ingatannya.

"Aku ingin memberi peringatan padamu. Jangan pernah kau dekati Levi lagi. Jangan ge-nit jadi perempuan. Memangnya kau pantas untuk Levi, hm? Jangan bermimpi! Kalau sampai aku melihatmu masih dekat-dekat dan genit pada Levi, aku tidak segan-segan bertindak lebih dari ini."

"Hei, kenapa diam? Siapa yang tega melakukan ini padamu, hm?"

Entah sejak kapan, Levi sudah berdiri tepat di hadapan Arin. Matanya tak lepas dari menatap Arin.

Arin menghadiahi tatapan tajam ke arah Levi. "Ini bukan urusanmu! Kau tidak perlu tau!" ketusnya kemudian.

Levi tersenyum sinis. "Kenapa? Apa orang itu mengancammu? Cepat katakan, biar aku beri pelajaran padanya."

Arin mendesis. Keras kepala sekali laki-laki ini. "Aku bilang ini bukan urusanmu!" Arin mengatakan kalimat itu dengan sekuat tenaga sampai bergetar. Bahkan tanpa aba-aba, matanya kembali berair.

Arin mengepalkan kedua tangan kuat di samping tubuh. Ia benci hal ini. Ia benci terlihat lemah di depan orang lain.

Levi sempat terkejut dengan suara keras Arin. Ia menyadari gadis itu yang menangis. Entah mengapa Levi merasa tak tega. Sebenarnya apa yang sudah terjadi pada Arin? Apa yang membuat gadis itu menangis?

Levi berjalan mendekati Arin. Tanpa permisi, tangannya bergerak menghapus air mata Arin. Ia mengusapkan ibu jarinya lembut. Arin terhenyak diperlakukan seperti itu. Matanya terkunci dengan tatapan teduh milik Levi.

"Don't cry, please," ucap Levi lirih.

Rasanya kalimat itu ampuh menghentikan tangisannya.

Levi menarik dua sudut bibirnya ke atas. "Good girl."

PLAK

Levi menganga ketika pipinya ditampar oleh Arin. Ia memegangi pipinya yang terasa panas. Ada apa dengan Arin?

Levi yang diperlakukan seperti itu terkejut bukan main. Sepertinya gadis itu kembali seperti semula, menaruh emosi padanya.

"Jangan macam-macam kau, ya! Berani-beraninya menyentuhku!"

Arin berjalan tergesa meninggalkan tempat itu tanpa mengatakan pamit apapun. Ia terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan Levi.

"Hei, Arin! Harusnya kau berterimakasih padaku karena aku sudah menolongmu keluar dari ruangan itu! Bukannya malah manamparku!" teriak Levi pada Arin yang semakin menjauh dari pandangan.

Sayangnya, gadis itu tetap tidak meresponsnya sama sekali.

"Benar-benar gadis yang aneh."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel