Bab 6 Angel is Demon
Bab 6 Angel is Demon
Bel istirahat berbunyi, memaksa Mr. Stephan menghentikan pelajarannya. Siswa-siwi di dalam kelas terdengar menghela napas lega. Akhirnya mereka bisa lepas kurungan ini.
"Okay, everybody. The time is over. Jangan lupa kerjakan tugas yang sudah saya sampaikan tadi, ya. Kita bertemu lagi minggu depan. See you!"
"See you! Thank you, Sir!"
Arin masih berkutat dengan catatannya padahal jam pelajaran sudah selesai. Ada beberapa bagian yang belum selesai ia salin dari papan tulis.
"Arin, apa kau mau ke kantin?"
Arin mengangkat wajahnya, menghentikan aktivitasnya mencatat dan mendapati Shella yang sudah berdiri di dekatnya.
"Boleh, tapi sebentar ya. Aku selesaikan ini dulu."
Shella pun mengangguk dan menunggu Arin selesai dengan urusannya. Tak lama, Arin sudah selesai mencatat materi yang diberikan Mr. Stephan di papan tulis. Ia memasang kembali tutup pulpennya dan menaruhnya di tempat pensil.
Ia menatap Shella dengan senyuman. "Aku sudah selesai."
Shella mengangguk. "Pergi sekarang?"
Arin mengangguk dan segera berdiri dari bangkunya. Baru saja akan melangkah, mereka sudah dihadang oleh seorang gadis dengan wajah cantik jelita. Didukung pula dengan bentuk tubuh yang tinggi semampai, rambut cokelat panjang bergelombang, dan juga kulitnya yang putih mulus.
"Angel?" gumam Arin.
Ya, gadis cantik jelita itu adalah Angel. Sang primadona di kelasnya. Gadis itu melempar senyuman ke arahnya. Kalau Arin laki-lakizl, pasti ia sudah meleleh mendapat senyuman cerah itu. "Kau piket, kan, hari ini?" tanya Angel kemudian.
Dengan polos, Arin mengangguk.
Angel mengangguk sekilas. "Tadi aku diberi pesan oleh Mrs. Collins agar kau membersihkan ruangan di dekat toilet."
Arin mengernyit. Ruangan di dekat toilet? Arin mencoba mengingat-ingat. Tak lama ia mengangguk paham dengan ruangan yang dimaksud oleh Angel. "Ruangan bekas perpustakaan itu, ya, maksudmu?"
"Ya, sepertinya. Sudah, ayo kita ke sana."
Arin menoleh ke arah Shella. "Shell, maaf ya, aku harus piket dulu."
"Iya, tidak apa. Oh ya, apa perlu kutemani?"
Arin menggeleng pelan. "Tidak perlu. Kau ke kantin saja dulu. Lagipula, kan, sudah ada Angel."
Angel yang mendengar nama disebut tersenyum miring diikuti dengan memutar bola mata malas.
"Ya sudah kalau begitu. Semangat ya piketnya," ujar Shella.
Arin tersenyum dan segera berjalan mengikuti Angel menuju ruangan yang harus mereka bersihkan. Agak aneh karena biasanya ia mendapat jatah piket di kelasnya. Sekarang Mrs. Collins yang merangkap menjadi wali kelasnya memintanya untuk membersihkan ruangan bekas perpustakaan yang ada di dekat toilet. Namun, Arin tetap berpikir positif. Mungkin, ruangan itu akan digunakan untuk sesuatu hal.
Arin tetap berjalan dengan tenang, tanpa merasa curiga sedikitpun. Akhirnya mereka pun sampai di depan pintu ruangan. Arin menoleh ke arah Angel yang berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Arin seperti merasa ada yang kurang.
"Eum... kita diminta untuk membersihkan ruangan ini, tapi kenapa kita tidak membawa alat kebersihan sama sekali?"
Angel menatap Arin. Ia kembali memutar bola matanya. Ia mendesah pelan. "Alat kebersihannya ada di dalam, Arin."
Arin ber-oh ria. Ia tidak terpikir akan hal tersebut. Ia melihat Angel yang mulai membuka pintu ruangan tersebut. Angel tiba-tiba membalikkan badannya. "Kau yang masuk dulu ya, ambil alat kebersihannya."
"Aku?" Arin menunjuk dirinya sendiri dengan jarinya.
Angel mengangguk. "Ayo, waktu kita tidak banyak. Bisa-bisa kita ditegur oleh Mrs. Collins."
Arin segera melaksanakan perintah Angel. Arin benar-benar melakukannya tanpa rasa curiga sedikitpun. Hal itu membuat Angel terkikik dalam hati. Sungguh polos sekali Arin ini. Mau-mau saja mengikuti permintaannya.
Arin melongokkan kepalanya ke dalam, matanya kemudian mengedar, menyapu ruangan. Namun, ia tidak menemukan ada alat kebersihan di sana. Arin menggaruk tengkuknya, bingung.
"Mana alat kebersihannya Angel?"
"Eum... sepertinya ada di balik pintu. Coba kau cari dulu di sana."
Arin kembali mengangguk patuh. Ia memasuki ruangan itu lebih dalam lagi. Ia membalik pintu namun tidak ada apa-apa di sana. Kosong. Tangan Arin hendak meraih pintu tapi tiba-tiba saja pintu itu tertutup sendiri.
Arin langsung panik. Ia memukul-mukul pintu itu dengan kepalan tangannya. "Hei, Angel! Kau masih di situ?! Kenapa pintunya ditutup?! Angel!" Arin mencoba menggerakkan gagang pintu, menariknya agar terbuka tetapi gagal. Pintu itu seperti ditahan sesuatu yang kuat.
Di sisi lain, Angel terkikik dalam hati. Ia menahan pintu itu dengan tangannya kuat. Ia kemudian menoleh ke samping kanan.
"Pssst... Pssst..." Angel memberi kode pada teman-temannya untuk keluar dari tempat persembunyian.
Teman-temannya yang berjumlah empat orang itu segera berjalan mendekati Angel. Angel langsung menyuruh mereka untuk mengunci pintu tersebut dengan kayu. Menyelipkannya pada gagang pintu dengan dinding. Otomatis Arin yang menarik pintu dari dalam tidak akan berhasil keluar.
Angel ber-high five pada teman-temannya. Kemudian ia berjalan mendekati pintu yang masih dipukul-pukul dari dalam oleh Arin. Suara Arin yang berteriak minta tolong pun samar terdengar.
Angel tersenyum penuh kemenangan.
"Angel, tolong aku! Keluarkan aku dari sini! Aku mohon!"
"Ouh... Maafkan aku, Arin. Aku tidak akan membukanya sebelum kau bereskan ruangan itu sampai bersih. Ya... aku merasa sayang saja dengan tanganku yang terawat ini," ucap Angel dengan nada seolah-olah sedih. "Jadi, kau bersihkan dulu ya ruangan ini. Aku yakin kau bisa melakukannya sendiri."
Teman-teman Angel tertawa mendengar ucapan Angel. Tawa yang terdengar meremehkan. Arin yang berdiri di balik pintu tertegun dengan perkataan Angel.
Angel menatap pintu di depannya lagi. Ekspresinya berubah masam. "Oh ya, ada satu hal lagi yang ingin aku katakan padamu."
Sejenak Arin menghentikan gerakannya memukul pintu. Tangannya terasa panas karena sudah berkali-kali berbenturan dengan kerasnya pintu kayu di hadapannya. Ia menunggu kelanjutan kalimat Angel. Jujur, ia tidak menyangka Angel akan melakukan hal setega ini padanya. Memangnya Arin salah apa?
"Aku ingin memberi peringatan padamu. Jangan pernah kau dekati Levi lagi. Jangan ge-nit jadi perempuan. Memangnya kau pantas untuk Levi, hm? Jangan bermimpi!" Angel terkekeh dengan sinisnya. "Kalau sampai aku melihatmu masih dekat-dekat dan genit pada Levi, aku tidak segan-segan akan bertindak lebih dari ini," ucap Angel penuh penekanan. Supaya Arin tahu kalau dirinya sedang tidak main-main. Ia benar-benar sedang mengancam Arin sekarang.
Angel tersenyum sinis. "Do you understand?"
Arin meneguk ludahnya. Lagi-lagi masalah baru datang padanya dan lagi-lagi masalah itu berhubungan dengan laki-laki bernama Levi. Arin menghela napasnya. Semakin bertambah rasa kesalnya pada laki-laki itu. Arin merasa semenjak ia bertemu dengan Levi ada saja gangguan yang harus Arin hadapi. Padahal Arin juga tidak merasa melakukan apa-apa. Namun, penilaian dari orang-orang sungguh sulit untuk dipertanggungjawabkan. Mereka dengan mudah memutuskan sesuatu hal yang belum pasti kebenarannya. Mereka menilai hanya dari satu perspektif saja.
Angel tertawa sinis untuk terakhir kalinya sebelum ia menjauh dari pintu itu. "Aku harap kau paham dengan maksudku, Arin. Well, selamat bersih-bersih."
Angel dan teman-temannya pun berjalan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Arin yang terkurung dalam ruangan itu tanpa tahu kapan gadis itu bisa keluar dari sana.