Bab 5 Cibiran
Bab 5 Cibiran
Levi bersandar pada gerbang sekolah.
Kedua tangannya terlipat di depan dada. Matanya mengawasi sekitar, mencari keberadaan seseorang.
Ia pun menilik jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir tiga puluh menit ia menunggu kedatangan Arin. Gadis misterius yang ia temui di belakang sekolah kemarin. Entah apa yang membuatnya rela menunggu Arin di depan gerbang sekolah. Ia bahkan tak henti-hentinya menjadi sorotan siswi-siswi lain yang melintas di depannya. Sesekali mereka menyapa Levi dengan ramah, apalagi kalau bukan untuk mendapat perhatian dari laki-laki berparas tampan itu. Levi hanya membalas dengan anggukkan kepalanya.
Ia berdecak karena orang yang ditunggunya tak kunjung muncul. Apa gadis itu tidak berangkat ke sekolah? Apa jangan-jangan gadis itu belum pulang ke rumah karena tersesat?
Begitu sibuk dengan prasangkanya, hampir saja Levi kelewatan akan kedatangan gadis yang sudah ia tunggu sejak tadi. Arin berjalan melintas di depannya. Sepertinya gadis itu tidak menyadari keberadaan Levi.
Levi dengan segera menyusul langkah Arin. Ia meraih pergelangan tangan Arin, hingga tubuh gadis itu berbalik tiba-tiba. Rambut sebahu milik Arin yang tergerai melambai dengan indahnya.
Arin menengadahkan kepalanya dan menemukan Levi yang tengah menatapnya. Arin menghela napasnya. Dia lagi, dia lagi, gerutunya dalam hati.
Arin melepas pegangan tangan Levi. "Apa?"
Levi masih menatap Arin. "Kenapa kemarin kau tiba-tiba pergi dari apartemen?"
Arin melipat kedua tangan di depan dada. "Apa itu jadi masalah untukmu?"
Levi tersenyum miring. "Tentu saja. Kau tiba-tiba saja pergi tanpa pamit sepatah kata pun. Apa kau kira itu sopan?"
Arin menghela napasnya. "Aku harus buru-buru pulang. Lagipula waktu itu hujan sudah reda. Puas?"
"Memangnya kenapa terburu-buru?"
Arin menatap Levi tak percaya. Benar-benar laki-laki yang terlalu penasaran, ingin tahu urusan orang lain.
"Apa itu penting untukmu, hm?"
Arin memilih berbalik badan dan berjalan meninggalkan Levi. Membuang-buang waktu saja jika ia berurusan dengan laki-laki itu.
"Hei, Arin! Aku belum selesai bicara!"
Arin tetap berjalan, tak menghiraukan Levi sedikitpun. Levi berdecak dan berlari kecil menyusul langkah Arin yang sudah ada beberapa meter di depannya.
Levi berhasil mengimbangi langkah Arin. Mereka kini berjalan beriringan menyusuri koridor sekolah yang lumayan ramai oleh siswa-siswi. Arin melirik sekilas ke samping kirinya. Ia sebenarnya kesal karena ternyata Levi mengikutinya. Namun, Arin hanya diam, membiarkannya. Malas sekali ia meladeni orang itu.
Kini mereka berdua sukses menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di koridor. Bahkan bisa Arin dengar dengan jelas mereka-mereka yang mulai membicarakan dirinya.
"Itu Arin, kan?"
"Eh, iya. Apa-apaan dia dekat-dekat dengan Levi?"
"Aneh!"
Arin berusaha untuk tegar mendengar ocehan-ocehan itu. Ia tetap berjalan tenang dan tidak menghiraukan omongan mereka. Tidak penting. Meladeni mereka hanya akan membuang waktunya saja. Lagipula kalau Arin meladeni mereka, mereka justru akan semakin menjadi. Mereka akan terus berusaha menyudutkannya dengan berbagai macam alibi. Jadi lebih baik Arin memilih diam saja dan membiarkan mereka lelah sendiri dengan ocehan tak berguna yang mereka ciptakan.
"Eum, itu benar Arin yang aneh itu?"
"Yang pendiam itu, kan?"
"Iya. Kok bisa ya Levi mau dekat-dekat dengan dia? Memangnya apa menariknya Arin?"
"Eum, sepertinya ucapanmu perlu diralat."
"Lho, kenapa?"
"Mana mau Levi dekat-dekat dengan gadis aneh itu. Sepertinya memang dasarnya Arin yang genit pada Levi."
"Wah, aku tidak menyangka kalau Arin diam-diam ternyata genit juga."
"Dasar, tidak tau malu!"
Arin mengepalkan tangannya di samping tubuh karena mereka masih saja asyik mencibir dirinya. Padahal Arin tidak melakukan apa-apa pada mereka. Mereka tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Arin memejamkan matanya sejenak. Cool down, Arin. Jangan dengarkan omongan mereka. Anggap saja mereka orang yang haus perhatian, batin Arin.
Arin terkesiap ketika kedua telinganya tiba-tiba seperti ditutup. Ia jadi tidak bisa mendengar suara dari sekitarnya. Arin menoleh dan menemukan Levi yang menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.
Berkebalikan dengan Arin, Levi malah mengulas senyum terbaiknya pada Arin. Arin menatapnya bingung. Ia masih terkejut dengan perlakuan Levi.
"Jangan dengarkan perkataan mereka. Itu hanya akan mengganggu hidupmu."
Levi menatap Arin lekat. Bahkan laki-laki itu masih mempertahankan senyumannya. Sejenak Arin tertegun melihat senyuman Levi. Entah mengapa ia merasakan jantungnya yang berirama tak seperti biasanya. Degupannya terasa lebih kencang.
Arin segera menggeleng-gelengkan kepala, mengembalikan kesadarannya. Ia langsung berjalan cepat meninggalkan Levi. Tanpa sepatah kata pun. Tak peduli lagi dengan Levi yang keheranan di tempatnya.
Arin menghela napasnya. Pikirannya kembali melayang pada wajah Levi yang tersenyum padanya. Ia berdecak. Ia menepuk-nepuk kepalanya dengan tangan.
Ck, ada apa dengan pikiranku?
***
Begitu masuk kelas, Arin langsung duduk dengan lesu. Ia membenamkan wajahnya di lipatan tangan. Ingatannya kembali memikirkan fitnah-fitnah yang tadi dilontarkan orang-orang padanya. Apa ia seburuk itu? Lagipula siapa yang sedang berusaha mendekati Levi? Yang ada laki-laki itu yang mengekor Arin.
"Rin."
Arin terlonjak ketika bahunya ditepuk seseorang. Gadis itu segera mengatur napasnya karena terkejut.
"Kau mengagetkanku," keluhnya.
Seorang gadis yang duduk di depannya hanya menyengir tanpa dosa. Namanya Shella. Gadis dengan rambut panjang sebahu berwarna cokelat gelap. Tak lupa dengan bandana yang tersemat di atas kepalanya.
"Ada apa?" tanya Arin kemudian.
"Kau kenapa? Tidak biasanya kau terlihat lesu begini? Ada masalah? Dengan siapa? Mamamu?" tanya Shella beruntun.
Arin tambah pusing harus menjawab pertanyaan Shella yang mana dulu. "Bukan, bukan itu."
"Lalu?"
Arin menghela napasnya. Ia memang tidak sungkan untuk bercerita dengan gadis itu. Selama di sini, teman yang benar-benar teman baginya hanyalah Shella seorang. Hanya dia yang mau berteman, bertukar cerita, bercanda, dan membantunya ketika kesulitan. Itulah yang membuat Arin leluasa terbuka pada Shella. Bahkan tak jarang menceritakan masalah pribadinya, terutama masalah keluarga pada Shella.
Contohnya saja kemarin ketika Arin diusir dari rumah oleh sang mama. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, Arin memutuskan untuk lari ke kediaman Shella. Kebetulan jarak rumahnya dengan rumah keluarga Shella tidak terlalu jauh. Shella mendengarkan keluh kesah Arin dan berusaha menenangkan gadis itu. Bahkan ia dengan senang hati menerima Arin untuk menginap di rumahnya. Shella kadang merasa prihatin dengan kehidupan yang harus dijalani oleh Arin. Namun, ia juga tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menyemangati Arin agar tidak terlalu memikirkan masalah yang tengah dihadapinya.
Arin mulai bercerita tentang apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Termasuk menjelaskan bagaimana pertemuannya dengan Levi akhir-akhir ini. Shella mendengarkan cerita Arin dengan penuh perhatian. Sesekali ia mengangguk paham.
"Begitu, Shell. Aku jadi tambah kesal dengan laki-laki itu."
"Eum... omong-omong, apa Levi yang kau maksud itu adalah anak baru yang pindah beberapa hari lalu?"
Arin mengangkat bahunya. "Mungkin. Aku pun tidak tau."
Shella mengulas senyum di bibirnya. Tangannya bergerak menepuk bahu Arin beberapa kali, menguatkan. "Sudah jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya iri padamu. Jangan diambil pusing."
Arin ikut tersenyum.
"Terima kasih, Shell."