Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Care & Love

Bab 4 Care & Love

Tak lama, mobil berhenti di sebuah area parkir, di dekat bangunan tinggi. Arin menatap bangunan itu dan menduga kalau ini adalah kawasan apartemen. Kenapa Levi membawanya kemari?

Levi melepaskan seatbelt-nya dan menatap ke arah Arin. "Semoga kau tau cara melepaskan seatbelt itu," kata Levi menunjuk kuncian seatbelt dengan isyarat matanya.

Arin dengan gugup mencoba melepaskan kuncian tersebut. Ia bernapas lega ketika ia berhasil melepas seatbelt-nya. Setidaknya ia tidak terlalu terlihat bodoh di depan Levi.

Levi keluar pertama dari mobil dengan payung yang mengembang. Hujan masih mengguyur Kota Portland. Levi membuka pintu di sisi Arin. Arin menurut keluar dari mobil. Ia kini berdiri sangat dekat dengan Levi. Bahkan ia rasakan bahunya yang bersentuhan dengan bahu Levi.

Levi mengajak Arin untuk masuk ke dalam gedung apartemen elite itu. Levi tampak berkutat memasukkan password pada pintu apartemennya. Tak lama, kunci pintu pun terbuka.

Levi mendorong pintu itu dan mempersilakan Arin untuk masuk terlebih dahulu. Gadis itu menatap Levi was-was. Ia mulai curiga dengan maksud Levi.

"Aku tidak akan berbuat macam-macam. Di luar masih hujan, jadi lebih baik kau berdiam di apartemenku sampai hujan reda. Masuklah."

Arin memasuki ruangan itu dengan sedikit ragu. Semoga saja Levi tidak berbohong padanya. Arin mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Ruangan bernama apartemen ini cukup luas dengan bilik-bilik yang memiliki fungsi tersendiri. Cukup luas dengan gaya yang sederhana tapi tetap terlihat elegan.

Levi menyuruh gadis itu untuk duduk di sofa sedangkan dirinya berjalan menuju kamarnya. Arin duduk dan matanya masih menatap ke sekitar. Ruangan ini tertata sangat rapi juga bersih. Nuansa kasual bisa ia rasakan dari tempat ini.

Levi kembali dengan sesuatu di tangannya. Ia memberikan benda itu pada Arin. Yang satu berupa kaus berwarna hitam, satunya lagi adalah obat oles. "Gantilah pakaianmu dengan kaus itu. Kamar mandi ada di sebelah sana. Oh ya...," Levi menatap ke arah tangan Arin. "Jangan lupa obati tanganmu dengan obat ini." Levi menyodorkan dua benda itu pada Arin.

Arin langsung menerima kaus pemberian Levi dan pergi ke kamar mandi, mengganti seragam serta sweater yang dikenakannya tadi di mobil.

Sembari menunggu gadis itu selesai berganti pakaian, Levi berinisiatif membuat sesuatu yang hangat. Sepertinya sup cocok untuk cuaca sekarang yang dingin karena hujan.

Levi mulai sibuk di dapur, hingga tidak sadar kalau Arin sudah keluar dari kamar mandi dengan kaus pemberiannya. Levi memgangkat wajahnya dan melihat penampilan Arin. Ia terdiam menatap gadis itu. Ia pandangi gadis itu dari atas ke bawah. Satu yang membuat Levi salah fokus adalah bagian bahu Arin yang terekspos karena kaus yang oversize di tubuh Arin.

Arin yang merasa ditatapi seperti itu merasa risih. Beberapa kali ia mencoba menarik kausnya agar bahunya tertutup namun tetap saja gagal. Arin mendesah kesal.

Levi tersenyum geli melihat ekspresi Arin. "Kau cantik dengan baju itu."

Arin memutar bola matanya malas. Ia pun membalikkan badan, kembali duduk di sofa.

"Kau tunggulah sebentar, aku sedang memasak makanan spesial untuk kita berdua. Setidaknya bisa untuk menghangatkan tubuh."

Arin hanya diam, tidak merespon. Ia kini sibuk mengoleskan obat di tangannya yang terluka oleh pecahan botol kaca kemarin. Sesekali ia sibuk mengurus kaus kebesaran milik Levi yang kini melekat di tubuhnya. Ia menggerutu, kenapa Levi memilihkan kaus ini untuknya. Apa laki-laki itu sengaja? Dasar!

Arin menatap Levi yang tampaknya sangat sibuk di dapur. Samar ia mendengar Levi yang bersenandung. Sebenarnya apa yang tengah laki-laki itu buat? Mengherankan. Jarang-jarang Arin lihat laki-laki mau bermain dengan peralatan masak di dapur.

Arin mengalihkan perhatiannya ke arah jendela apartemen. Sepertinya hujan sudah reda. Arin mencuri tatap ke arah Levi. Bagus, laki-laki itu masih sibuk dengan urusannya. Sepertinya ini kesempatan yang pas untuk Arin pergi dari tempat ini. Lagipula siapa yang betah menunggu hujan reda di sini bersama dengan orang yang baru saja dikenal?

Arin berdiri, mengambil tasnya. Ia melangkah dengan mengendap-endap. Sambil tetap matanya mengawasi Levi. Semoga laki-laki itu tidak sadar.

Arin bernapas lega ketika ia sudah sampai di dekat pintu. Ia membukanya dan langsung keluar dengan cepat. Ia sampai tidak sadar telah menutup pintu itu dengan keras sehingga menimbulkan suara 'brak' yang khas. Arin meringis. Pasti Levi menyadarinya. Arin segera berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Levi yang tadi sedang memotong bahan makanan dibuat terkejut dengan suara pintu yang tertutup dengan keras. Ia berjalan meninggalkan dapur, memastikan apa yang terjadi. Ia terdiam ketika tak ia temukan siapa-siapa di sana. Tidak ada lagi Arin di ruangan itu.

Rahang Levi mengeras. Tangannya terkepal kuat. Ia mendesah pelan kemudian.

"Berani juga gadis itu. Lihat saja. I will catch you Arin."

***

Arin berhasil keluar dari apartemen Levi. Napasnya terengah-engah usai berlari. Ia menoleh ke belakang. Ia menghela napas lega. Bersyukur Levi tidak mengejarnya.

Arin terdiam beberapa saat. Ia mengedarkan pandang. Sekarang ia bingung. Ia tidak hafal daerah ini. Bagaimana ia bisa pulang?

Dengan berbekal nekad, Arin berjalan meninggalkan kawasan itu. Ia seperti orang tersesat sekarang. Ia benar-benar tidak tahu daerah ini. Ia mencoba mengingat-ingat jalur yang ia lewati tadi bersama Levi. Sempat mengalami keraguan beberapa kali, akhirnya Arin menemukan shelter bus di ujung jalan sana. Ia menghembuskan napas lega. Ia segera mempercepat langkahnya ke sana.

Ternyata ia berada di daerah Tillamook Row yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, tapi tetap saja Arin tidak hafal dengan daerah ini.

Beberapa menit menunggu, sebuah bus berhenti di depan shelter. Pintu bus itu terbuka otomatis. Arin segera naik dan mencari tempat duduk yang masih kosong.

Sebentar lagi Arin akan sampai di rumahnya. Rumah. Ia jadi teringat dengan mamanya. Bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Apakah dia baik-baik saja?

Sekadar informasi, setelah mamanya mengusirnya dari rumah, Arin pergi ke rumah temannya yang tidak jauh dari rumahnya. Ia menginap di sana untuk satu semalam dan temannya tidak keberatan. Hari ini ia sama sekali belum menginjakkan kakinya kembali ke rumahnya.

Arin menatap pemandangan dari jendela. Langit sudah berubah gelap. Tak terasa waktu sudah berjalan dengan cepatnya. Pasti karena ia tadi sempat tersesat, kesulitan menemukan jalan keluar.

Bus berhenti di shelter berikutnya. Arin turun dari bus dan melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki. Arin menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar hangat. Udara setelah hujan dinginnya bukan main.

Arin berjalan di trotoar dan berbelok ke kiri ketika sampai di persimpangan. Sampailah Arin di depan rumahnya dengan pekarangan yang lumayan luas. Bangunan dengan dominasi cat berwarna putih dan abu-abu. Dengan pagar kayu yang mengelilingi pekarangan. Tak ketinggalan terdapat sebuah kotak pos yang berdiri tegap di dekat pagar.

Gadis itu terdiam menatap pintu di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya meraih kenop pintu dan mendorong pintu berwarna putih itu.

Mata Arin mengedar dan langsung terpusat pada mamanya yang tengah berbaring di atas sofa ruang keluarga. Arin berjalan mendekat ke arah mamanya. Sepertinya wanita itu tengah tertidur. Arin beralih menatap meja di dekat sofa. Di atasnya berdiri tegap sebuah botol kaca berwarna hijau dengan tulisan merk minuman alkohol di sisinya.

Arin menatap ibunya sendu. Ia berjalan menuju kamarnya dan kembali ke ruang keluarga dengan selimut di tangannya. Ia menutupi tubuh wanita itu dengan selimut tersebut.

Arin merendahkan tubuhnya dan memberikan kecupan ringan di pipi mamanya.

Mau sebenci apa pun mama terhadapku, aku tidak akan pernah bisa membencinya. Karena membencinya adalah suatu kesalahan terbesar bagiku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel