Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Overthinking

Bab 3 Overthinking

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak sejam yang lalu.

Siswa-siswi bergegas kembali ke rumah mereka masing-masing. Bahkan ada yang memilih mampir ke tempat temannya atau jalan-jalan. Melepas penat untuk mencari kesenangan. Namun tidak dengan Arindy. Bagi Arin, kesenangan yang sebenarnya hanya bisa ia temukan dari dirinya sendiri. Jarang ia bisa merasakan perasaan senang bersama orang lain, apalagi dalam keramaian. Ia justru malah merasa cepat bosan dan tidak betah. Itulah mengapa ia lebih sering menyendiri dan melabeli dirinya dengan seorang yang introvert.

Arin tidak memilih langsung pulang. Ia saja bingung harus pergi ke mana sekarang. Ia melangkah dengan lesu. Tatapannya kosong ke arah jalanan di hadapannya. Ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menengadahkan kepalanya, menatap ke arah langit yang terlihat mendung oleh gumpalan awan abu-abu.

Apakah akan turun hujan setelah ini?

Arin agak khawatir. Ia tidak bersiap membawa payung saat berangkat sekolah tadi. Ia tidak mengira kalau cuaca yang tadinya cerah mendadak mendung sekarang.

Tetes demi tetes air dari langit jatuh menimpa bumi. Yang semula hanya tetesan kecil beranjak menjadi guyuran yang amat deras. Arin dengan cepat berteduh di bawah fly over. Namun, hal itu tidak berpengaruh besar. Tubuhnya tetap basah terkena air hujan. Ia rasakan rambutnya juga basah, pun dengan seragam yang kini terasa lembab di kulitnya.

Arin memegang siku tangannya menahan dingin. Masih ia rasakan air hujan yang menjatuhi dirinya. Gadis itu memejamkan matanya sejenak. Kapan hujan ini akan berhenti?

TIN TIN

Arin membuka matanya dan menemukan sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depannya. Gadis itu mengerutkan alisnya.

Salah satu kaca mobil itu bergerak turun dan menampilkan sang pemilik mobil. Arin memicingkan matanya menatap laki-laki yang ada di dalam sana. Sepertinya ia pernah melihat laki-laki itu, tapi di mana?

"Hei! Butuh tumpangan?" seru laki-laki itu berusaha menyaingi suara hujan yang turun deras.

Arin memasang raut datar. Ia memilih tidak menggubris perkataan laki-laki itu. Lagian siapa laki-laki itu? Kenal saja tidak. Memang niatnya baik, tapi tidak ada salahnya kan kita waspada terhadap orang asing. Arin mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ke mana saja, asal tidak pada mobil atau bahkan laki-laki di dalam mobil itu.

Arin mencuri tatap sekilas. Kenapa mobil ini tidak pergi-pergi? Arin menghela napas jengah. Lebih baik ia pergi saja daripada harus melihat laki-laki itu.

Arin nekad menerjang hujan yang masih turun dengan derasnya. Ia tidak peduli.

Tanpa Arin sadari, laki-laki itu tidak membiarkannya begitu saja. Ia keluar dari mobilnya dan berlari mengejar Arin dengan payungnya.

Arin mempercepat langkahnya. Ia sesekali menoleh ke belakang dan berdecak kesal ketika mendapati laki-laki itu malah mengikutinya. Ia jadi heran, apa yang diinginkan laki-laki itu?

Arin mengubah jalannya menjadi sedikit berlari. Di depan sana ada persimpangan menuju jalan kecil. Mungkin kalau ia berbelok ke sana ia bisa dengan mudah menghindari kejaran laki-laki itu. Akan tetapi ia harus menyeberang jalan terlebih dahulu.

Saat Arin melangkahkan kakinya ke jalan, ia tidak menyadari kalau ada mobil yang melaju dari sisi sebelah kiri. Gadis itu tetap fokus ke depan hingga ia rasakan tubuhnya tertarik kasar ke belakang dan berbalik tiba-tiba. Wajahnya ia rasakan membentur sesuatu yang keras. Gadis itu sampai mengaduh dibuatnya.

Perlahan Arin membuka matanya dan terkejutnya ia ketika wajahnya berhadapan tepat dengan dada bidang milik laki-laki yang mengejarnya tadi. Arin menengadahkan kepalanya dan menatap wajah laki-laki itu. Sekarang Arin ingat, laki-laki ini adalah yang memergokinya tengah menangis di halaman belakang sekolah tadi pagi.

Mata Arin beralih menatap name tag yang tersemat di dada laki-laki itu.

Leviathan Louis

Levi menatap Arin dengan lekat. "Lain kali hati-hati. Beruntung tadi aku menolongmu."

Arin menatap ke arah Levi. Ia sedikit menjauhkan dirinya dari Levi. Ketika ia memundurkan langkahnya ia rasakan ada sesuatu yang membebani tangannya. Arin menatap tangannya yang dicekal oleh Levi.

"Tubuhmu basah kuyup. Lebih baik ku antar kau pulang dengan mobilku."

Tanpa menunggu persetujuan Arin, Levi menarik tangan Arin. Menuntun gadis itu menuju mobil. Laki-laki itu mempersilakan gadis itu masuk ke dalam mobil. Sebenarnya Arin tidak mau, tapi nyalinya ciut ketika Levi menatapnya tajam. Arin hendak membuka pintu di bagian tengah, namun langsung dihadang oleh Levi. Arin menatap Levi dengan tatapan heran.

"Duduklah di depan. Aku bukan supir, asal kau tau."

Levi membukakan pintu depan dan menyuruh Arin masuk dengan gerakan dagunya. Dengan sedikit terpaksa, Arin pun masuk dan duduk di bangku mobil. Levi menutup pintu tersebut dan berjalan memutar menuju sisi kemudi.

Ia menutup payungnya dan meletakkannya asal di bagian belakang. Ia sudah siap di depan kemudi. Ia menatap sekilas ke arah Arin yang hanya diam menatap lurus ke depan. Levi tersenyum tipis.

"Kenakan seatbelt-nya."

Entah karena tidak terbiasa bepergian dengan menggunakan mobil, Arin bingung di mana seatbelt yang dimaksudkan oleh Levi.

Menyadari hal itu Levi tersenyum geli. Ia mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Arin. Arin yang menyadari hal itu sontak menjauhkan tubuhnya. "M-mau apa kau?"

Levi tersenyum dan menarik seatbelt yang ada di belakang Arin. Levi memasangkan seatbelt tersebut dan menatap Arin. Sepertinya gadis itu terlalu percaya diri.

Arin merasakan pipinya yang terasa panas. Sial! Ia terlalu overthinking tadi.

Tangan Levi beralih bergerak mengambil sesuatu di bagian belakang. Ia menyodorkan sebuah sweater berwarna hijau army ke arah Arin. Arin menatapnya dengan alis bertaut.

"Pakailah, aku tidak mau mataku terkontaminasi."

Arin menatap aneh ke arah Levi. Apa maksudnya?

Levi tersenyum geli. "Tadi dalamanmu kelihatan," ucap laki-laki itu santai.

Berkebalikan dengan Arin langsung membulatkan matanya. Ia refleks menyentuh bagian selakangannya. Ia rasakan seragamnya yang basah dan membentuk lekukan dari dalamannya. Arin merasakan wajahnya yang bertambah panas. Semakin malu ia sekarang. Mendadak ia ingin menyalahkan pihak sekolah yang memberikan seragam dengan bahan yang tipis.

Melihat raut muka Arin, Levi terkekeh geli. Ia kembali menyodorkan sweater miliknya ke arah Arin. "Pakailah."

Arin menatap sekilas ke arah Levi dan meraih sweater itu dengan kasar. Ia langsung mengenakannya. Perlahan, ia mulai merasakan hangat yang menjalar melalui pori-pori kulitnya. Ia jadi merasa lebih rileks.

Setelah menunggu Arin memakai sweater, Levi mulai menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan sedang. Mobil berjalan menerobos tirai-tirai hujan yang lebat.

Levi fokus menatap ke arah jalan. Tidak ada perbincangan yang muncul. Sebenarnya Levi ingin mengajak gadis itu berbincang banyak namun ia bingung harus memulainya darimana.

Levi melirik sekilas ke arah Arin yang tengah menatap ke arah jendela di samping kanannya. Perlu diingat, bahwa kemudi di mobil Levi berada di sebelah kiri.

"Eum... omong-omong namaku Levi. Leviathan Louis."

Arin hanya mendengarkan tanpa menoleh sedikitpun. Sebenarnya tanpa Levi beri tahu pun, ia sudah tahu siapa nama laki-laki itu.

"Siapa namamu?" tanya Levi.

Arin menolehkan kepalanya. Menatap Levi sejenak dan kembali menatap ke jendela.

"Arin. Arindy Cordelia Elora."

Levi tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nama yang indah."

Arin tidak merespons apa pun.

"Sebenarnya... apa yang telah terjadi? Kenapa tadi pagi kau menangis? Apa kau sedang ada masalah?"

Arin melirik sekilas ke arah Levi. "Bukan urusanmu."

Levi sempat dibuat terkejut dengan respons Arin. Akhirnya ia memilih mengedikkan bahu dan diam. Fokus menyetir mobil. Membiarkan hening yang mengambil alih keadaan.

Sedangkan Arin fokus menatap pemandangan luar melalui kaca mobil yang berembun. Namun, keningnya berkerut ketika ia tampak asing dengan jalur yang dipilih Levi. Sebenarnya ke mana Levi akan membawanya pergi? Sejak tadi Levi juga tidak menanyakan di mana Arin tinggal.

Arin mulai gelisah dengan pikiran yang berseliweran di kepalanya. Gadis itu kembali overthinking.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel