Bab 2 Arin & Aretha
Bab 2 Arin & Aretha
Arindy mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, memfokuskan penglihatannya. Kepalanya terasa sedikit berdenyut.
Matanya terbuka sempurna dan langsung menatap ke atas, ke arah langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos. Gadis itu mengusap wajahnya. Sepertinya ia baru saja ketiduran setelah membaca buku pelajaran sambil berbaring di kasur.
Arindy merubah posisinya menjadi duduk di atas kasur besar miliknya. Berusaha mengumpulkan keseluruhan nyawa yang ia miliki. Samar, pendengarannya menangkap suara televisi yang menyala. Mungkinkah itu mamanya? Tumben sekali mamanya sudah pulang jam segini. Tidak biasanya. Atau Arindy lupa mematikan televisi tadi? Sepertinya tidak. Arindy saja jarang menyentuh benda yang bisa mengeluarkan audio serta visual bersamaan itu. Entahlah, tontonan di televisi tidak ada yang berhasil membuatnya betah. Ia malah cenderung bosan jika menonton televisi.
Arindy beranjak berdiri dari duduknya. Ia mengikat rambut panjangnya asal dan berjalan menuju pintu kamar. Tangannya meraih gagang pintu dan membuka pintu berwarna putih itu.
Gadis itu terpaku di tempat ketika matanya disuguhi pemandangan yang menurutnya tidak layak ia lihat, tapi ia sudah terlampau sering melihat hal ini.
Tangan Arindy menggenggam gagang pintu erat, mencari tumpuan. Gadis itu tengah terdiam menatap wanita paruh baya yang tengah asyik mengepulkan asap dari batang langsing berisi racikan tembakau. Belum lagi dengan botol kaca yang berdiri di atas meja yang kini jadi sandaran kedua kaki jenjang milik wanita itu. Yang tak lain dan tak bukan adalah mamanya sendiri. Wanita yang melahirkan Arindy ke dunia. Walaupun kehadirannya sebenarnya tidak direncanakan dan mungkin saja tidak diinginkan. Arindy tersenyum kecut memikirkan hal tersebut.
Ia kembali menatap mamanya yang sepertinya tidak sadar dengan kemunculan Arindy. Sebegitu gaibkah Arindy sampai-sampai Aretha–mamanya Arindy–tidak menyadari kehadirannya. Harusnya naluri seorang ibu itu kuat. Harusnya.
Arindy melepaskan pegangan tangannya dari gagang pintu. Ia beranikan diri berjalan menghampiri sang mama. Ia mencoba mengulas senyum terbaiknya. Walaupun itu adalah salah satu hal yang tidak biasa ia lakukan.
"Mama sudah pulang. Tumben sekali."
Aretha menoleh sekilas dan kembali sibuk menyalakan batang rokok untuk yang kedua kali. Jangan heran kalau Aretha sanggup menyamai kekuatan laki-laki sebagai perokok aktif. Sehari mungkin Aretha bisa menghabiskan setengah dari isi kotak rokok. Rokok sudah menjadi candu baginya. Arindy pernah mendengar dari mamanya sendiri kalau merokok itu enak. Tapi Arindy tidak setuju akan hal itu. Arindy yang sering terkena asap dari perokok pasif saja sudah batuk-batuk. Kecanduan yang lain dari seorang mamanya yang Arindy tahu adalah mamanya hobi meminum minuman beralkohol. Konsentrasinya pun tak main-main. Tak terhitung sudah berapa botol minuman yang katanya haram ada di rumahnya.
Arindy berjalan lebih dekat ke arah Aretha. Ia merendahkan tubuhnya hingga lututnya menyentuh lantai yang dingin. Ia memunguti puntung rokok dan bungkus yang masih tersisa beberapa batang, memidahkannya ke asbak.
"Benda ini tidak bagus untuk kesehatan Mama," ucap Arindy.
Aretha mendengus. Matanya menatap tajam ke arah putrinya. Ia mengepulkan asap abu-abu tipis itu ke udara dan membuang puntungnya yang sudah mengecil ke sembarang arah.
"Apa kau bilang?"
Arindy terdiam. Gerakan tangannya memberesi meja dari puntung rokok terhenti. Ia menelan salivanya berat. Dari nada bicara mamanya saja sudah membuat buku kuduk Arindy meremang.
"Jawab! Apa yang baru saja kau katakan, hah?!" Nada bicara Aretha meninggi. Membuat Arindy sedikit berjengit.
"Rokok ini akan membunuhmu, Ma. Kalau dikonsumsi terus menerus, apalagi kalau jumlahnya banyak."
Aretha tertawa sinis. "Ouh... jadi kau ingin aku mati terbunuh hanya karena rokok itu, hm? Dasar anak tak tau diuntung!"
Arindy menoleh cepat ke arah Aretha. "Bukan begitu, Ma. Arin–" Ucapan Arindy tergantung di udara ketika sebelah tangan Aretha bergerak meraih botol di atas meja.
Arindi menatap benda itu dengan was-was. Apa yang akan Mama lakukan? Tolong , jangan lagi.
Aretha menatap putrinya dengan emosi yang mulai meradang di benaknya. Tangannya terkepal kuat mengelilingi sisi botol. "Bisakah kau ulangi perkataan tadi padaku?"
Walaupun suara Aretha terdengar pelan dan lembut, itu tidak berlaku bagi Arindy. Justru kalau mamanya sudah bersuara dengan nada seperti itu, tandanya wanita itu tengah menyimpan emosi yang siap meledak kapanpun itu. Tidak tertebak.
"Maaf, Ma," lirih Arindy. Tangannya ia letakkan si atas lutut, meremas rok yang ia kenakan. Menahan keresahannya terhadap apa yang akan dilakukan Aretha padanya selanjutnya.
Aretha tertawa sarkastik. Tangan yang menggenggam botol terangkat tinggi dan dalam sekejap botol itu sudah melesat cepat, jatuh hancur berkeping-keping membentur lantai. Arindy menahan napasnya. Pasalnya botol itu melesat tepat melewati wajahnya. Beruntung tidak mengenai kepalanya. Kalau sampai iya mungkin ia sudah amnesia sekarang karena kepala yang terbentur botol.
"Jangan coba berani untuk mengaturku, Arindy! Kau... tidak ada hak untuk itu. Jangan sampai aku bertindak lebih keras daripada ini padamu karena sudah mengganggu waktu istirahatku. Jangan pernah katakan 'maaf' di depanku!"
"Pergilah!" lanjut Aretha, memerintahkan Arindy untuk pergi.
Bukannya menuruti perintah sang mama, Arindy malah bergerak membersihkan pecahan-pecahan beling dari botol minuman beralkohol. Sepertinya isi dari botol memang sudah habis karena lantai tetap kering, tidak ada cairan apapun.
Aretha menghela napasnya. "Astaga! Kau sudah tuli ya?! Ku bilang pergi!"
"Tapi ini bahaya kalau dibiarkan, Ma. Biar ku bereskan dulu," keukeuh Arindy dengan suara bergetar menahan tangis. Ia terus memunguti pecahan-pecahan beling dengan tangannya.
"Ku bilang pergi!" bentak Aretha. Wanita itu mendorong kasar tubuh Arindy hingga gadis itu kehilangan keseimbangan dan tangannya langsung bertumpu pada pecahan-pecahan beling yang ujung-ujungnya tajam.
Arindy meringis ketika tiba-tiba ia rasakan perih yang menjalar dari telapak tangannya. Ketika ia menengadahkan telapak tangannya, ia menemukan bercak merah di beberapa titik di telapak tangan putihnya.
"Baiklah jika kau ingin terus mengurus sampah-sampai itu. Lebih baik kau pergi sekalian dari rumah ini. Aku muak dengan kehadiranmu!"
Setelah mengatakan hal tersebut, Aretha berjalan meninggalkan Arindy yang tertunduk. Bahunya bergetar diikuti isakan kecil yang mulai tercipta.
Ia menatap telapak tangannya yang terluka. Darah segar masih mengalir di sana.
Arindy memejamkan matanya kuat-kuat. Ia tidak ingin menambah masalah semakin runyam jika Aretha menemukannya tengah menangis.
BRUK!
Arindy menghentikan tangisannya saat tiba-tiba saja sebuah tas besar terlempar di depannya.
"Pergi sekarang dari rumahku! Dasar pembangkang!"
Aretha menatap sendu ke arah Aretha. Sayangnya Aretha tidak peduli. Wanita itu mengambil sisa rokok di meja dam berjalan meninggalkan Arindy. Kini Arindy sendiri. Ditemani pilu yang menyayat hati.
Padahal niatnya baik tadi, tapi memang dasarnya Aretha selalu memandangnya salah. Bahkan sejak kehadirannya di dunia ini. Semua yang ada pada diri Arindy salah.
Arindy menghapus sisa air matanya. Ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Ia meraih tas yang diberikan Aretha tadi dan membawanya ke luar rumah.
Arindy berjalan lesu. Ia menatap bangunan besar yang bernama rumah. Tapi Arindy tidak benar-benar merasakan makna rumah yang sebanarnya, yang seharusnya bertabur kebahagiaan. Lagaknya, itu hanyalah sebuah angan-angan belaka bagi Arindy.
Gadis itu menatap bangunan ini untuk terakhir kalinya. Ia pun membalikkan badanya dan berjalan meninggalkan rumahnya.
Sekarang aku harus ke mana?