Bab 11 Versus
Bab 11 Versus
"Eum... bagaimana kalau kita pergi bersama sepulang sekolah? Apa kau keberatan?"
Perkataan Levi tadi masih terngiang kuat di kepala Angel. Akibatnya, selama perjalanan menuju kelas, gadis cantik itu tak henti-hentinya mengembangkan senyum di bibirnya.
Selama itu pula, ia menduga-duga apa maksud Levi mengajaknya untuk pergi bersama sepulang sekolah nanti. Kalau dilihat dari ekspresi Levi tadi, sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Levi, tapi apa?
Angel mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di dagu, berlagak berpikir. "Apa mungkin..."
Angel membelalakkan matanya ketika suatu pikiran terlintas di kepalanya begitu saja. Ia bahkan sampai membekap mulutnya sendiri agar tidak kelepasan berteriak histeris. Angel merasakan pipinya yang terasa panas membayangkan hal tersebut. Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia bernapas lega. Beruntung tidak ada yang melihat ke arahnya.
"Mungkinkah kalau Levi mengajakku pergi untuk... kencan?" Senyum Angel semakin lebar. "Ah, tidak bisa dipercaya. Secepat itukah Levi tertarik padaku?"
Buru-buru Angel mempercepat langkahnya menuju kelas. Rasanya ia ingin segera mengumumkan berita ini pada teman-temannya. Bahkan kalau perlu satu sekolah harus tahu hal ini. Dengan begitu, tidak akan ada lagi yang berani mengganggunya dengan Levi.
Mendadak, Angel berharap agar bel pulang sekolah bisa berbunyi lebih cepat. Ia benar-benar tidak sabar untuk bisa pergi bersama dengan Levi. Ia juga berharap semoga yang ada di bayangannya itu benar adanya.
Angel memasuki kelas dan langsung disambut dengan tatapan keheranan dari teman-temannya. Kelas masih agak ramai oleh kasak kusuk siswa karena belum ada guru yang masuk.
Langkah anggun Angel diakhiri dengan pantatnya yang mendarat di bangkunya. Langsung saja ia dicecar pertanyaan dari teman-temannya. Mereka penasaran ketika melihat wajah Angel yang tampak berseri-seri. Seperti orang yang baru saja menerima kabar bahagia.
"Ada apa denganmu, Angel? Sepertinya kau tampak sangat bahagia sekarang."
"Iya, apa yang sudah terjadi?"
"Apa ini ada hubungannya dengan... Levi?"
Angel mengulas senyumnya. "Kalian semua benar. Ini ada hubungannya dengan Levi dan aku merasa senang sekali," ungkap Angel dengan nada bahagia.
Percakapan Angel dan teman-temannya tak sengaja terdengar oleh Arin yang kebetulan duduk tak jauh dari mereka. Arin sedang fokus mengerjakan soal-soal di bukunya. Fokusnya sedikit terganggu karena suara perbincangan Angel yang mendominasi ruang dengarnya.
Arin menghentikan gerakan tangannya ketika mendengar nama laki-laki itu disebut dalam obrolan Angel dan teman-temannya. Arin segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat ketika tiba-tiba saja wajah Levi yang menyebalkan itu terbayang di otaknya.
Fokus, Arin! Fokus!, gerutu Arin dalam hati.
Beberapa hari terakhir, ia merasa lega karena berhasil bebas dari gangguan manusia bernama Leviathan Louis itu. Tentu, setelah berusaha sekuat tenaga menghindar agar Levi tidak memiliki celah sedikitpun untuk menemuinya. Waktu itu, ia pernah berpapasan dengan Levi tetapi ia langsung bergerak cepat, balik kanan menghindar sejauh mungkin. Hal tersebut ampuh mengembalikan ketentraman hidupnya. Tentu, ia tidak mau mencari gara-gara dengan gadis primadona di kelasnya. Siapa lagi kalau bukan Angel. Yang tempo lalu mengancam Arin agar menjauh dari Levi. Yang kini tengah bercerita heboh dengan teman-temannya. Entahlah apa yang tengah mereka bicarakan, Arin tak peduli karena itu tidak penting baginya. Yang penting Arin tidak membuat ulah sehingga Angel tidak perlu merasa terganggu dengan kehadirannya dan berbuat macam-macam pada Arin.
Angel dengan bersemangat menjelaskan pembicaraannya bersama Levi tadi. Dengan penuh keyakinan pula ia menjelaskan kalau Levi mengajaknya pergi untuk berkencan. Entah sengaja atau tidak, teman-temannya memberikan reaksi yang berlebihan hingga satu kelas bisa mendengarnya.
Kebanyakan sudah tidak heran kalau Angel bisa menggaet banyak hati laki-laki tampan seperti Levi dengan mudahnya. Hanya dengan satu jentikan jari pun jadi.
"Wajar kalau dia bisa dekat dengan Levi, bahkan sampai berkencan."
"Betul sekali. Yang satu cantik, yang satu tampan. Sudah tentu cocok. Beda nasib kalau..."
"Kalau apa?"
"Ya... kalau yang dekat dengan Levi itu adalah Arin."
"Ahaha, Arin katamu? Mana mungkin Levi mau dengan gadis lusuh iu. Melirik saja sepertinya juga enggan. Dia-nya saja yang terlalu ber-ha-rap."
"Betul itu."
Arin menatap penampilannya sendiri. Memang ia tidak terlalu memikirkan setiap penampilannya. Yang terpenting ia merasa nyaman dengan pakaiannya.
Arin menggenggam pulpennya dengan kuat. Hatinya agak meradang mendengar cibiran-cibiran tak berkesudahan itu. Baru saja ia merasa lega karena hidupnya tenang seperti sediakala tanpa gangguan dari Levi. Sekarang, kehidupannya kembali terusik dengan ocehan tak beradab dari teman sekelasnya.
Arin menelan ludah dengan berat. Ia coba menenangkan pikiran dan hatinya. Ia tidak ingin membiarkan emosinya tersulut hanya karena masalah sepele seperti ini.
"Kasihan sekali ya, Arin. Levi lebih memilih Angel daripada dia."
"Biarlah. Itu pantas untuk dia. Supaya dia sadar diri kalau dia itu memang tidak pantas untuk Levi. Memang siapa dia?"
"Aku setuju denganmu."
Angel melirik sekilas ke arah Arin. Ia menangkap gelagat Arin yang merasa tidak nyaman dengan topik hangat hari ini di kelas. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, menciptakan sebuah senyuman remeh sekaligus puas.
Banyak yang mendukung hubungannya dengan Levi. Jadi tak heran jika ia merasa semakin yakin kalau Levi akan luluh padanya sebentar lagi dan ia tidak perlu merasa tersaingi dengan kehadiran Arin. Ya... karena Arin bukanlah levelnya.
Arin mencoba kembali fokus pada pekerjaan di depannya. Tidak ada gunanya mendengarkan ocehan-ocehan itu. Hanya akan mengotori indera pendengarannya saja.
Lagi pula, apa Arin kecewa dengan kenyataan tersebut? Tentu tidak. Ia tidak merasa rugi sedikit pun. Toh, ia tidak menaruh harap apalagi sampai menaruh perasaan lebih pada Levi.
Suasana kelas berubah hening ketika Mr. Paul—pengampu pelajaran Sejarah— memasuki kelas. Semua siswa dalam kelas kembali duduk rapi di tempat mereka masing-masing.
Arin masih berkutat dengan pikirannya. Bahkan tangannya masih menggenggam pulpen dengan kuat.
Shella yang menyadari hal tersebut mengerutkan kening. Bertanya-tanya apa yang terjadi pada Arin. Sepertinya karena ucapan-ucapan itu, pikirnya. Ya, Shella juga ikut mendengarkan dengan jelas cacian serta hujatan yang dilayangkan untuk Arin tadi. Kalau ia berada di posisi Arin, tentu ia sudah tidak kuat menahan emosi dan akan langsung melabrak Angel serta teman-temannya. Namun, ia urungkan niatnya karena tidak ingin masalah Arin bertambah runyam karena dirinya. Shella diam-diam kagum dengan ketegaran Arin menghadapi cibiran-cibiran dari orang-orang bahkan sebelum ada Levi di sekolah ini.
Shella menepuk pelan bahu gadis yang tengah termenung itu. Arin terhenyak ketika bahunya ditepuk. Ia menatap Shella dengan tatapan bertanya.
"Ada apa, Shell?"
"Are you okay?"
Arin tertegun beberapa saat. Tak lama ia menganggukkan kepala, yakin.
"Sure. I'm fine, Shell."