Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1

Pagi yang cerah ini Retha awali dengan sesuatu yang indah. Seperti biasa, kebiasaanya yang bangun tidur lalu mandi, tidak lupa menggosok gigi, lalu ia menolong--ah Retha lupa.

Tidak ada yang bisa ia tolong. Ia harus membersihkan sendiri tempat tidurnya, Bunda kan sedang tidur panjang.

Kegiatan pagi Retha belum selesai, gadis itu berjalan menuju lemari besarnya. Ia mengambil setelan seragam sekolahnya yang sudah rapi habis di setrika, tentu saja Retha menyetrikanya sendiri.

Di rumahnya hanya ada satu pembantu dan ada seorang suster khusus untuk menjaga ibunya. Karena, Retha harus bersekolah dan Rio harus bekerja. Tentu tidak murah biaya perawatan private seperti ini, apa lagi sudah hampir setahun lamanya.

Rasanya Retha jadi merindukan ibunya. Jangan di tanya lagi apa yang ia rasakan. Namun, Retha masih bersyukur karena Bundnya masih hidup. Ya, walaupun dengan bantuan alat.

Dengan cepat, Retha melepas handuk mandinya dan memakai seragam putih dengan rok kotak-kotak sebagai bawahannya.

Gadis itu berjalan menuju cermin besar di kamarnya, Retha menyisir rambut panjangnya yang tergerai indah. Namun, tidak jarang ia di bully karena rambut itu.

Manaada orang yang percaya kalau rambut coklat brunette yang ia miliki adalah alami tanpa campur tangan salon, bahkan dengan wajahnya yang agak ke bule-bulean masih ada saja yang nyinyir kalau Retha adalah cabe-cabean.

Namun, Retha tidak perduli. Toh semua itu tidak benar, dan hidup memang seperti itu. Kita yang menjalankan, orang lain yang berkomentar. Jika di ladeni, tidak akan ada manfaatnya.

"Sayang, mau berangkat bareng?"

Suara lembut Kebapaan khas Rio menyapa Retha pagi ini. Seperti biasa, pria berumur tiga puluh sembilan tahun itu selalu bersikap ramah pada putri semata wayangnya itu.

Retha membalikkan tubuhnya, dan tersenyum riang menatap Rio--ayahnya. "Bareng, dong!" ujarnya bersemangat.

Sepertinya Aretha Maharani sudah kembali pada sifat aslinya. Ya, periang dan baik hati. Tidak seperti kemarin, saat ia sedang PMS. Menjadi seorang yang sangat judes dan pemarah adalah sifat Retha ketika kedatangan tamu.

Sekarang, gadis itu sudah bisa berfikiran jernih lagi. Sudah bisa menjadi penyabar lagi. Bahkan, ia akan mencoba berbaikan dengan Farrel. Mengingat semalam ia sudah berkata kasar pada cowok itu, belum lagi tadi malam Retha pulang bersama Radit.

Rasanya sekarang berbeda, kalau kemarin dengan angkuhnya Retha mengangkat dagu membalas tatapan Farrel tanpa merasa takut, sekarang malah sebaliknya.

Astaga, ada apa dengan dirinya?! Membayangkan ia mencoba berbaikan dengan Farrel, bukan hal yang akan berjalan dengan baik.

Bisa jadi Retha akan semakin terjebak, ke dalam permainan yang tidak sengaja sudah ia ikuti. Dan, sekarang Retha harus keluar dari permainan itu.

"Retha, kenapa melamun?" sentak Rio pelan. Ah, Ayahnya ini sangat lembut. Membuat Retha sangat ingin mendapatkan suami seperti Ayahnya, disaat semua orang mengatakan tidak ada harapan untuk Bundanya bisa bangun, Rio yang paling tenang dan tersenyum seraya mengucapkan 'Harapan hidupnya memang kecil. Tapi harapan itu ada, dan dari harapan kecil itu juga aku akan terus menunggu. Walaupun itu kecil, setidaknya ada.'

Retha menggeleng-gelengkan kepalanya. Membuang pikiran negatifnya tentang hal-hal yang akan Farrel perbuat nantinya.

Gadis itu berjalan keluar kamar, tidak lupa mengambil tas sekolahnya yang terletak diatas meja belajar. Dan, menghampiri Ayahnya yang sudah menunggunya daritadi.

**

Ini adalah hari Rabu. Ingat, hari Rabu. Dan, seorang Farrel Manggala Wdyatmaja selalu dan pasti akan masuk sekolah hanya pada jam 11 siang!

Tapi, apa yang di temukan bi Siti pagi ini sangat mengejutkan! Demi rambut palsu Jenita janet! Farrel sudah siap ingin berangkat ke sekolah, pagi ini! Disaat jam baru menunjukan pukul 06.02 pagi!

Yang membuat bi Siti semakin ternganga, adalah kenyataan bahwa seragam Farrel benar-benar rapi! Ya Tuhan, cowok blasteran spanyol itu sangat tampan!

"D-den?" panggil bi Siti, terlihat jelas raut keterkejutan di wajahnya. Berbeda dengan Farrel yang kini menatap bi Siti datar.

"Saya sudah bangun dan saya sudah mau berangkat sekolah. Bibi nggak perlu bangunin lagi." katanya datar.

Farrel sudah bersiap memasang jaket boombernya, diiringi ransel yang hanya berisi satu buku tulis dan satu pulpen. Ia berjalan keluar kamar, dan baru beberapa langkah, ia berbalik. Membuat bi Siti tambah bingung dengan tingkah anak majikannya itu.

"Saya hari ini nggak pulang. Bibi boleh tidur cepat."

Kemudian, Farrel melangkahkan kaki panjangnya. Mengambil kunci motor kesayangannya, dan berjalan menuju garasi rumahnya.

Farrel meneliti setiap benda yang ada di garasinya ini. Lima buah mobil super duper mewah, berharga fantastis yang tidak pernah sama sekali ia gunakan. Terkecuali yang hitam, karena sudah Farrel gunakan untuk membawa Retha.

Ah iya, Aretha. Farrel hampir lupa dengan gadis itu. Alasan Farrel berangkat pagi adalah untuk mengganggu Retha. Karena yang Farrel tahu, gadis itu selalu datang pagi-pagi sekali.

Farrel segera menaiki ninja hitamnya, menyalakan kuda besi itu, dan segera melajukan kendaraanya menuju sekolah tercintanya.

***

"Retha, kapan kamu mau belajar nyetir?" tanya Rio lembut sekali.

Retha menghendikan bahu seraya menggigit Roti selai coklatnya. "Nghak hahu." (nggak tahu)

Rio menoleh ke semping, menatap Retha yang duduk di jok penumpang sembari memakan sarapannya dengan lahap. Pantas saja suaranya terdengar tidak jelas, ternyata gadis itu sedang mengunyah.

"Selalu ingat pesan Ayah, Nak. Kalau makan itu di telan dulu, baru berbicara." nasehat Rio. Masih sama, lembut dan tenang. "Coba kamu bayangkan saat kamu sedang mengunyah, lalu tiba-tiba kamu berbicara dengan posisi masih menguyah. Kira-kira apa yang terjadi?"

Retha menelan rotinya terlebih dahulu, kemudian menjawab. "Muncrat, kaya yang om Rico lakuin ke Ayah. Makanya, Ayah selalu ingetin Retha untuk nelan sebelum bicara. Benarkan, Yah?" jawab Retha antusias.

Rio mengangguk sebagai jawaban. "Untung kamu penurut. Kaya Bunda waktu masih muda, walaupun Bunda agak galak." Rio tertawa.

Retha ikut tertawa. Ia sangat senang mendengar kisah masalalu Bundanya dan Ayah, tidak terkecuali kisah teman-teman orang tuanya.

Yang sangat membekas di hati Retha, adalah perjuangan kedua orang tua Vanesha, Valina. Waktu itu Rio menceritakannya seminggu sebelum Tasya mendapatkan musibah, dan sekarang mungkin kisah Ayah Bunda-nya Retha yang akan ia kagumi.

"Sudah sampai, Nak." sentak Rio. Membuyarkan lamunan Retha tentang kisah kedua orang tuanya.

Retha mengangguk, gadis itu menyalimi tangan Ayahnya. Dan, kemudian berjalan masuk ke dalam lingkungan sekolah. Tidak seperti kemarin, saat ia terlambat dan mobilnya sampai masuk ke depan gedung sekolahnya.

Sekolah masih sepi, tentu saja. Ini masih terlalu pagi. Bel berbunyi tepat pukul tujuh, dan sekarang baru pukul 6 lima belas menit.

Retha selalu saja kepagian. Hanya demi berangkat bersama Ayahnya, Retha rela selalu sendirian di sekolah pada jam seperti ini.

Ia bisa saja seperti teman-temannya, datang disaat bel akan berbunyi. Namun, Retha tidak tega menghancurkan kebahagiaan kecilnya dengan bisa diantar Ayahnya bersekolah.

Ini karena kantor Rio yang sangat jauh. Membuat lelaki itu harus berangkat sangat pagi untuk bisa sampai tepat waktu, seorang president direktur harus tepat waktu. Begitu kata Rio.

Tanpa sadar, Retha sudah berjalan memasuki kelasnya. Seperti biasanya, kelasnya sepagi ini akan sunyi, sepi dan tidak berpenghuni. Sudah mirip kuburan, bahkan kuburan masih bisa terdengar suara jangkriknya.

"Good morning, little Barbie doll."

Retha mendongakkan kepalanya. Astaga, tepat lima senti meter wajah Farrel berjarak dengannya. Tangan Retha refleks mendorong wajah Farrel menjauh dengan menamparnya keras.

"Argh!" geram Farrel saat wajah tampannya tidak sengaja kena tamparan keras oleh Retha.

Retha jadi panik sendiri. Ya ampun, baru saja Retha berpikiran untuk bisa berdamai dan akur dengan Farrel. Namun, sepertinya kejadian barusan hanya membuatnya menambah masalah. Apa lagi ia dapat dengan jelas mendengarkan geraman Farrel.

"Aduh, Farrel, maafffff" ujar Retha memelas. Tangannya terulur hendak menyentuh wajah Farrel yang lelaki itu tutupi dengan tangannya.

"Lagian, lo ngagetin gue." tambah Retha pelan. Seakan menjelaskan bahwa bukan hanya dirinya yang bersalah di sini.

Farrel menurunkan tangannya yang menutupi wajahnya yang memerah karena di tampar Retha. "Lo kaget bukan berarti harus nampar!" gertak Farrel.

Retha meringis pelan. Sekarang nyalinya benar-benar cuit, oh Tuhan. Kenapa Retha hanya akan menjadi singa saat hari pertama PMS? Kenapa tidak sekarang saja?!

"Gue kan nggak sengaja, Farrel. Itu namanya refleks.." Retha membela dirinya. Siapa suruh cowok itu tepat berdiri di belakangnya dan mengejutkannya.

"Lo emang pacar yang buruk." ucap Farrel sinis.

Wait? Pacar? Jadi cowok ini masih bersitegas dengan perkataannya semalam? Jadi itu bukan bualan yang akan di lupakan dalam semalam?

"Farrel. Gue harus ngelurusin satu hal sama lo." Retha menghela nafasnya. "Maaf karena kemaren gue tidur di 'kerajaan' lo itu. Maaf karena gue 'songong dan berani' sama lo. Kita kemaren sama-sama emosi, dan gue udah sadar sama hal itu. Jadi, ayo kita lupain kejadian kemaren. Dan, lupain soal hubungan pacaran paksaan yang nggak pernah gue terima ini."

Farrel tertawa mendengarkan rentetan kalimat-kalimat Retha. "Baru sadar kalo lo salah? Tapi maaf, untuk seorang Farrel Manggala Wdyatmaja, semua hal yang udah gue lakuin dan gue katakan, itu nggak akan bisa di tarik lagi. At least, you still my girlfriend."

Cowok itu maju satu langkah, mendekatkan dirinya pada Retha. Dilihatnya wajah pucat Retha, bagus sekali. Gadis itu ketakutan.

"And now, welcome to my life. Barbie doll."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel