Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Senbazuru

Bab 5 Senbazuru

"Permintaanku... aku mau menyukaimu, selamanya!”

- Feya Ryuuna -

Tangan Feya penuh dengan kertas origami, ia sedang membuat burung bangau. Feya punya misi, membuat senbazuru yaitu seribu burung bangau kertas. Mitosnya, bila ia berhasil membuat seribu maka permintaannya akan terkabul. Feya memang tipikal orang yang percaya mitos. Ia punya satu permintaan seputar Rean. Ingin laki-laki itu balas menyukai atau sekedar balik memandangnya. Memikirkan saja buat pipi Feya bersemu, berwarna merah muda sama seperti kertas origami yang dipegangnya

Sementara itu, ekor mata Feya menangkap sosok Rean yang baru kembali ke kelasnya. Feya spontan berdiri melihat Rean berjalan di lorong sambil menguap.

Feya terburu-buru, ia nyaris lupa dengan burung bangau kertas yang memenuhi rok abunya. Semua berceceran ke lantai saat Feya bangun berdiri. Sekarang pikiran Feya terpecah antara mengejar Rean ke kelasnya atau memunguti sepuluh burung bangau kertas yang tercecer.

Rean sudah berbelok ke pintu kelasnya, punggung tegapnya menghilang dari pandangan. Feya merengut kecewa. Harusnya radar Feya bekerja dengan baik. Belum satu detik Feya pandangi wajah Rean. Hari ini Rean memang sulit ditemukan hingga menunggunya di depan kelas jadi pilihan satu-satunya.

Feya memungut burung bangau kertas dengan hembusan napas yang kencang. Ia menunduk, pemandangannya adalah lantai dan burung bangau kertas sebesar telapak tangan. Tiba-tiba sebuah kaki berada di hadapannya, Feya mendongak untuk melihat si pemilik kaki.

Eza. Kaichou-nya.

Eza berjongkok seraya bantu memungut burung bangau kertas. Refleks bibir Feya melengkung melihat Eza dari jarak dekat.

“Nih!” Eza menyapu burung bangau terakhir dan menyerahkan ke telapak tangan Feya. Mereka berdiri bersamaan. Senyum sipu malu terlontar dari keduanya.

“Arigatou Kaichou~”

Senyum Feya terkembang dan sangat murni. Hampir saja Eza tersedot ke alam khayal sedang menemukan bidadari cantik memberi air segar padanya. Feya-lah bidadari cantik itu.

“Bikin apaan?” Eza bertanya.

“Senbazuru!” jawab Feya polos. “Pernah dengar mitos kalo berhasil buat seribu burung bangau kertas permintaanmu akan dikabul? Aku mau membuktikan itu. Sekarang baru tiga puluh biji, perjalanan masih jauh.” Feya terkekeh setelah menyebutkan angka di hadapan Eza.

“Emangnya apa permintaan kamu?”

Pipi Feya bersemu merah. Ia melirik kanan kiri perhatikan lorong kelasnya yang ramai orang. Feya mendekatkan bibirnya ke telinga Eza, berbisik.

“Aku mau orang yang kusuka punya perasaan yang sama,” bisiknya pelan sekali.

Eza memperhatikan Feya. Mata bulat Feya mengedip perlahan. Feya mungkin belum tahu kalau Eza sadar siapa laki-laki yang disukai Feya.

"Feya... Kamu... Suka Rean, ya?" ungkap Eza, akhirnya.

Feya langsung membelalakan mata. Baginya ia tidak menduga Eza akan tahu.

"Eeeh kok tahu. Iya... aku suka Rean-kun!”

Beda dengan gadis kebanyakan. Feya cenderung jujur dan spontanitas. Ia tidak ragu mengatakan jawaban. Bukti kalau ia telah mantap.

"Kenapa kamu suka Rean?" Eza tak berhenti bertanya.

"Karena wajahnya!"

Kening Eza ditekuk. "Karena Rean ganteng gitu maksudnya?"

"Haik~ Rean-kun emang ganteng, kan. Aku suka laki-laki ganteng," seloroh Feya disertai senyum ambigu.

Eza tidak puas dengan jawaban itu. Memang, menyukai seseorang alasannya kadang tidak logis.

"Kalo... Ada laki-laki lain yang lebih ganteng suka sama kamu, gimana?" Eza memberanikan diri bertanya.

Feya mengerucutkan bibir. Manis sekali. "Ga mau! Kecuali Kaichou sih, boleh. Kaichou kan ganteng juga. Tapi emangnya Kaichou suka sama aku?”

Eza tidak menyangka pembicaraan mereka akan sesantai itu. Ia kira akan sulit menyatakan perasaannya pada Feya. Ternyata gadis ini lebih terbuka dari yang ia tahu.

"Ya... Suka, sih!" Eza salah tingkah. Terlebih Feya sedang memperhatikannya dengan mata bulat penuh.

"Kalo aku bilang suka, apa kamu bakal berhenti suka ke Rean?"

"Engga dong, aku cuma suka Rean-kun."

"Kamu yakin?"

"Seribu persen!"

"Rean itu rumit loh, dia ga sama kayak laki-laki kebanyakan. Jalan kamu menuju dia bisa dibilang susah. Apa kamu siap?"

"Aku suka, meskipun ga dekat juga ga apa-apa, yang penting aku bisa lihat wajahnya setiap hari.”

Eza menggeleng tak mengerti. Sesuka itukah Feya pada wajah gantengnya Rean?

“Tadi, kamu bilang baru berapa biji buat burung bangaunya?” tanya Eza lagi.

“Tiga puluh.”

“Aku minta satu!”

Feya memiringkan kepalanya ke kiri. “Buat apa?”

“Minta aja, buat koleksi. Itu juga kalo boleh.”

“Boleh. Nih!” Feya menyerahkan burung bangau kertas berwarna biru ke telapak tangan Eza. Selanjutnya mereka saling tatap sampai bel tanda istirahat usai berbunyi nyaring. Feya yang melambaikan tangan pertama kali. Mereka berpisah dan memasuki kelas masing-masing.

Eza berjalan ke kelas. Diliriknya Rean yang berada di barisan belakang dekat jendela. Laki-laki itu sedang tertidur di mejanya. Eza memerhatikan burung bangau kertas dari Feya, lalu menoleh pada Rean lagi.

Eza menghampiri meja Rean. Tanpa sepatah kata, ditaruhnya burung bangau kertas biru di meja Rean. Sejauh yang ia ingat warna biru adalah kesukaan Rean. Eza meninggalkan meja Rean bersamaan dengan kedatangan guru ke kelas mereka dan seluruh murid kelas XI IPA 2 serentak mengucapkan salam.

Rean terbangun karena sapaan salam tersebut. Ia menegakkan badannya dengan mata yang masih sayu. Di sana, di mejanya, ia melihat burung bangau kertas seperti sedang menghadapnya. Bentuk yang rapi, berisi, seolah hidup. Rean terpana cukup lama. Bergeming. Hingga akhirnya ia meraih burung bangau dan melemparnya ke kolong meja.

Ada kisah di masa lalu saat Rean masih sangat kecil. Ibunya membuatkan burung bangau kertas, menggantungnya di celah pintu. Dengan senyum merekah juga gincu merah yang mendominasi pikiran Rean, ibunya mengucapkan kalimat yang terus terngiang di kepala.

“Rean, ibu sayang kamu. Rean sayang ibu juga ga?”

Rean menepis suara ibunya yang mulai berdengung di telinga. Ia mengacak rambutnya, membenamkan wajah di antara kedua lututnya.

***

Mata dan kepala Rean berat. Bangku yang keras sekejap bisa ia sulap jadi bantalan empuk. Rean tahu ini bukan posisi nyaman, tapi rasa kantuknya sangat luar biasa. Lima menit saja ia ingin bisa terlelap tidur.

Tapi... seorang memukul kepalanya dengan gulungan kertas tebal. Mau tidak mau kegiatan tidurnya terganggu.

Dengan sinis ia lihat si pengganggu itu. Sedang berdiri tegap, tangannya berkacak pinggang. Gulungan kertas yang dipegangnya jadi barang bukti atas senut-senut di kepala Rean.

"Kau datang ke sekolah untuk belajar atau tidur?" nadanya sarkatis.

Itu guru sekaligus wali kelasnya, bu Kimmy.

"Apa disetiap pelajaran kau selalu tidur seperti ini?" lanjut bu Kimmy. Rean membisu. Bukan karena kehabisan kata-kata untuk menimpali, tapi lebih kepada ia belum sadar betul dari kantuknya.

"Daripada aku melihatmu tidur di pelajaranku, lebih baik kau keluar!" bu Kimmy membentang tangan kanannya, menunjuk pintu keluar dan berisyarat untuk mengusir.

Semua mata mengarah padanya. Mereka dapat tontonan menarik dari bu Kimmy yang menggerutu marah dan wajah Rean yang kusut masai.

Rean menghela napas untuk kemudian keluar kelas seperti yang diperintahkan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel