Bab 6 Don't Be Noisy
Bab 6 Don't Be Noisy
"Mudah membuatku benci, bernyanyilah!"
- Rean Kainand -
Tidak banyak yang dilakukan teman-teman sekelasnya, selain terdiam seperti habis disiram air es.
Rean sempat melakukan kontak mata dengan Eza yang duduk di bangku depan. Hanya dua detik, selanjutnya mereka saling buang muka. Hubungan mereka memang tidak baik-baik saja, tapi selalu saja perhatian Eza jatuh pada Rean saat nama itu disebutkan. Satu bagian dirinya masih peduli pada Rean. Meskipun tidak begitu dengan Rean.
Keran air berada dekat lapangan basket. Rean berada di sana. Ia mencuci muka seperti saran bu Kimmy. Dingin yang menelusup kulit seperti tusukan jarum untuknya. Rupanya Rean butuh itu, wajahnya memang perlu kesegaran setelah semalam sulit tertidur. Pikirannya bergulat dengan suara-suara di masa lalu. Tanpa terasa pagi sudah datang menjelang.
Sesaat ia mendengar langkah kaki, suara air mengalir dari keran, juga kecipaknya saat mengenai muka.
Rean sadar ada seorang siswi sedang mencuci muka sepertinya. Ia telah selesai, dimatikannya keran hingga menimbulkan bunyi.
KRIET! KRIET!
Suaranya membuat Rean linu.
Siswi itu menoleh. Bola matanya dipenuhi wajah Rean. Saat Rean balas menoleh, siswi itu sedang tercengang. Mata melotot seolah akan jatuh ke tanah.
"Rean-kun!" desisnya.
Rean mematikan keran, sejurus kemudian melenggang pergi dari siswi berambut gelombang tersebut.
Siswi itu berseru. "Matte (tunggu)!” Kemudian menghalangi langkah kaki Rean. Matanya masih melotot menapaki tiap lekuk wajah Rean.
"Ano~ Rean-kun, kamu..." ia menggantung kalimatnya. Rean mengernyitkan kening.
"Anata wa kiseki desu." Rean diam. "Maksudku... kamu keajaiban." Siswi itu memilih kata keajaiban dan spontan membuat Rean bergidik jijik.
Rean tidak merasa harus menggubris. Dilewatinya bahu siswi tersebut. Meski hal itu membuat ia dikejar lagi dan lagi olehnya.
"Namaku Feya Ryuuna. Kelas X-3. Umur 16 tahun. Golongan darah O." Siswi itu memperkenalkan diri sembari membayangi langkah kaki Rean.
"Rean-kun... aku boleh suka Rean-kun?" suaranya melengking. "Aku ga minta disukai balik kok, cuma biarkan aku melihat Rean-kun setiap hari. Ya, ya, ya?"
Rean mengabaikan perkataan yang memberondong di punggungnya. Suara decitan sol sepatu dari siswi itu berhasil membuat urat di pelipis Rean muncul. Sekarang ia benci suara tinggi dari siswi yang mengaku namanya Feya. Seperti nyamuk. Melengking. Suara yang mengganggu.
Feya tidak berhenti. Kata-katanya semakin tidak masuk akal.
"Selama ini aku lihat Rean-kun dari jauh, tapi... lihat Rean-kun dari dekat ternyata lebih menarik ya. Chou kawai (keren sekali)!!"
Rean habis kesabaran, ia berbalik badan dengan gusar.
"HEH!" Bentak Rean. "Mau sampai kapan kamu ikuti aku?"
Itu suara pertama yang Feya dengar dari mulut Rean. Spontan Feya mengatup mulutnya, terbelalak kaget.
"Pergi sana!" Rean menebarkan kebencian di setiap tekanan nadanya.
Tanpa menunggu reaksi Feya, Rean melengos ke dalam kelasnya. Bagi Rean kelasnya lebih nyaman daripada harus diikuti gadis berisik macam Feya.
Feya masih mematung di depan kelas Rean. Dadanya berdebar hebat.
Feya tersenyum. Seringai yang menggambarkan bahwa ia senang dengan teriakan Rean. Menandakan kehadirannya telah dianggap.
Eza sudah memutuskan untuk bermain bersama Feya di acara opening nanti. Mereka memilih lagu First Love sebagai penampilan di atas panggung.
Sepulang sekolah mereka berlatih menyesuaikan nada. Tapi sudah 15 menit, Feya masih saja melamun dan tergelitik senyum seorang diri.
Eza mengernyit. Dicoleknya pipi chubby Feya hingga ia terhenyak. Feya menoleh.
"Lagi seneng ya? Cerita dong!" seru Eza disertai lengkungan senyum menawan.
"He he he... Aku habis ngobrol sama Rean-kun," jawab Feya sumringah.
Eza kehilangan senyumnya, berganti dengan mengerucutkan bibir dan tundukan kepala.
"Oh!"
Eza berpura-pura memainkan tuts piano untuk menyembunyikan rasa kecewa. Feya duduk di sebelahnya, menempelkan bahu mereka lalu menyerang personal space Eza dengan kedipan mata manja.
"Kaichou, aku mau tahu semua tentang Rean-kun. Yang disukai dan yang dibenci, tipe cewe kesukaan, dan hobi," pinta Feya dengan nada menggoda.
"Aku ga dekat sama Rean," ketus Eza mematahkan semangat Feya.
"Sedikit aja, yang Kaichou tahu."
Eza mendelik pada Feya. Ia menghela napas panjang.
"Serius, kamu mau tahu?" tanya Eza.
"Haik!" Feya mengangguk semangat.
"Rean itu... ga terlalu suka sama keramaian, dia suka menyendiri, keras kepala, bicaranya ketus, egois, tidak ramah," Eza bicara penuh penekanan. Lalu menatap udara kosong, terlihat berpikir.
"Tapi... untuk orang yang dekat sama dia, Rean termasuk cerewet, manja, kadang suka pamer kalo punya sesuatu yang orang ga punya, kadang suka senyum-senyum sendiri kalo ada yang memuji dia. Juga... setia kawan."
Eza menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Nampak sedih ketika membicarakan sosok Rean.
"Nani?" Feya menangkap perubahan ekspresi Eza. "Kaichou bohong, katanya ga dekat, tapi Kaichou kenal Rean-kun dengan baik."
Eza menatap mata Feya nanar.
"Ya, dulu aku sempat berteman dengannya. Sekarang ga lagi."
"Kenapa?"
Eza menggeleng. Mulutnya mengatup.
"Maaf ya, bukannya ga mau jawab atau ga cerita sama kamu. Masalah ini biar jadi rahasia aku dan Rean aja. Laki-laki ga menceritakan masalahnya sama orang lain."
Feya mengangguk pelan. "Haik, wakatta!"
Mereka menyudahi pembicaraan tentang Rean dengan melanjutkan latihan mereka.
Dan sebagai penutup latihan sore, Eza meminta Feya menyanyikan Hitomi wo Tojite. Eza bilang itu lagu kesukaannya, ia ingin mendengar suara manis Feya. Mereka sepakat mengakhiri hari dengan satu lagu diiringi piano Eza.
Asa mezameru tabi ni
kimi no nukegara ga
yoko ni iru
Nukumori wo kanjita
itsu mo no senaka ga tsumetai
Nigiwarai wo yamete
omoi kaaten wo akeyou
Mabushi sugiru asahi
boku to mainichi no oikakekko da
Ano hi miseta nakigao
namida terasu yuuhi kata no nukumori
Keshi sarou to negau tabi ni
Kokoro ga karada ga
kimi wo oboete iru
Kemudian, tiba-tiba saja seseorang dari arah luar ruang musik merangsek masuk. Feya ataupun Eza tidak begitu menyadari kedatangannya.
Kedua tangan orang itu mengepal, urat-urat hijau mencuat di balik pelipis putihnya. Tanpa tendeng aling-aling laki-laki dengan mata amber itu menyambar kerah baju Eza. Bogeman mentah mendarat di pipi mulus Eza.
Eza terjatuh ke bawah kursi. Pukulan keras darinya membuat kacamata Eza lepas, jatuh ke lantai.
Feya yang menyaksikan spontan berteriak. Kekacauan terjadi di depan matanya.
"Kaichou!" teriak Feya sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Udah kubilang jangan pernah memainkan lagu itu lagi di sekitarku, kamu mengejekku?!" laki-laki yang Feya kenal baik itu mulai berteriak, memaki.
"Rean-kun!" Feya memanggil lemah. Tidak mengerti maksud kemarahannya.
Eza bangkit dan mengelus-elus pipinya yang nyeri.
"Apa-apan kamu, sejak kapan lagu ini jadi milikmu. Kalo kamu marah, marahlah pada diri sendiri kenapa kau melarikan diri dari musik," timpal Eza kemudian.
"Aku ga terima diceramahi orang macam kamu!"
"Oh, jadi kamu mau aku apakan? Mau aku kasihani? Mau aku minta maaf karena buat kamu begini?"
Kedua orang itu saling bersitegang, tidak ada satu kalimatpun yang Feya mengerti. Berkali-kali matanya berlari pada Eza, lalu pada Rean.
"Kamu tahu, caramu melarikan diri sangat konyol," Eza menambahkan.
"DIAM KAMU!"
Rean mengambil ancang-ancang untuk menghajar Eza lagi. Namun Feya hendak menangkap lengan Rean. Feya ketinggalan sepersekian detik hingga niatnya menangkap lengan Rean malah jadi terkena pukulan.
BUAK! Kyaaa~
Feya tersungkur, badannya oleng. Eza terbelalak. Dengan sigap ia menangkap tubuh Feya. Kekhawatirannya muncul daripada saat ia yang kena pukul.
"Feya?" Eza berteriak cemas. Giginya gemetrukan kini. Eza resmi tersulut amarah. Ia mencari Rean hingga terjadilah aksi pukul berbalas pukul.
Bersyukur ada beberapa orang di luar ruang musik yang mendapati perkelahian mereka. Dhani salah satunya. Ia melerai dua laki-laki yang pernah saling dekat di SMP dulu.
Dhani menarik tubuh Eza ke belakang, sedangkan Rean diamankan oleh tiga orang lainnya.
"Stop! Stop! Za, tenang! Ga biasanya lu berantem," Dhani mendominasi. Dua orang itu masih saja mencari peluang agar bisa memukul lagi. Dhani adalah penengah yang ulung. Dengan kekuatan penuh ia jauhkan Eza dan Rean.
"Dia yang mulai. Dia pukul Feya. Dia harus minta maaf sama Feya!" Lagi, Eza berteriak. Melukai Feya sama artinya membangunkan sisi liar dari seorang Eza Harudi.
Bukannya menurut, Rean malah meludah. Ia melepaskan diri dari cengkeraman tiga orang yang memeganginya. Kekuatan tarung Rean bukan main.
"Makanya, urus cewemu yang benar," seru Rean. Eza terpancing untuk menghajarnya lagi. Tentu saja Dhani dengan sigap menghentikan. Eza sudah berada dalam kontrolnya.
"Za... udah, mending lu urus Feya. Dan Rean.. lu keluar sekarang juga!" perintah Dhani.
Tanpa dibilangpun Rean keluar dari ruangan tersebut. Semua orang memperhatikannya yang keluar secara sukarela. Begitupun dengan Feya. Sejak awal datang, pandangan Feya selalu jatuh pada Rean.
"Feya, ga apa-apa?" tanya Dhani kemudian.
Bukannya menjawab, Feya malah bergegas bangun dan keluar, mengikuti langkah Rean.
Semuanya hanya bisa tercengang, termasuk Eza. Gadis itu, lebih memilih Rean daripadanya.
"Rean-kun!" Feya mengejar dengan langkah kakinya yang pendek.
"Berisik! Jangan ikuti aku!" gerutu Rean kasar.
"Rean-kun baik-baik aja, ga kena pukul kan?"
"Kenapa, kamu mau kupukul lagi?"
"Bukan aku, aku bicara tentang Rean-kun. Jangan pernah lukai wajah itu, onegai shimasu (kumohon)"
"Kamu gila ya?" Rean membentak dengan sangat keras. Tapi Feya tidak ketakutan barang sedikit. Rean kesal.
"Ugh, pergi kamu!"
Saking kesal Rean mendorong bahu Feya. Tidak begitu keras tapi cukup membuat Feya terhenyak. Rean melengos dan pergi.
Feya diam menatap punggung Rean yang makin mengecil. Mata Feya berkaca-kaca. Ia memegang dadanya dan bergumam dalam hati.
Oniichan (panggilan untuk kakak laki-laki)?