Bab 4 Kaichou?!
Bab 4 Kaichou?!
"Katakan, sebenarnya sihir apa yang sudah kau lakukan padaku? Kenapa aku menyukaimu?"
- Eza Harudi -
Gadis itu benar-benar datang. Ia duduk di kursi paling pinggir yang disiapkan OSIS di ruang musik. Ia sedang sibuk menjilati es krim yang dibawa sebelum meeting mulai.
Saat pertama ia datang Eza sudah menyoroti tiap gerak-geriknya. Cara jalannya yang seperti menari, gaya duduknya yang mengayun-ayun kaki, ataupun ketika matanya berkeliling menyapu segala penjuru ruangan. Entah kenapa Eza menyukai segala hal yang ia lakukan. Gadis itu sudah jadi magnet baginya.
Acara technical meeting dimulai, intinya adalah tentang bagaimana membuat Festival nanti sukses dengan bantuan penampilan epik dari para pengisi acara.
Sengaja Eza yang membagikan kertas rundown. Klise, ia mengharapkan satu interaksi dengan gadis bernama Feya Ryuuna. Dan di sinilah Eza. Berdiri di samping kursi Feya, tangannya menyodorkan kertas. Senyum terkembang memicu balasan senyum serupa dari Feya.
Feya menundukkan kepala saat Eza memberikan kertas padanya.
"Arigatou, kaichou (terima kasih, ketua)!" serunya bersama suguhan senyuman manis. Eza nyaris kepayang, senyum itu berhasil melumpuhkan otak dan syarafnya.
"Kaichou?" ulang Eza dengan dahi mengerut. Itu taktiknya, salah satu cara untuk berlama-lama di dekat Feya.
"Haik, Kaichou artinya ketua. Ga keberatan kan aku panggil Kaichou?"
Jangankan Kaichou, dipanggil sayang juga Eza tidak akan keberatan.
"Ya, ga apa-apa." Eza membangun imej cool di depannya, padahal dadanya menggebu.
"Eeto~ Kaichou~ sebenarnya suaraku ga bagus-bagus amat. Aku cuma sering nyanyi di karaoke. Irdan sensei terlalu melebih-lebihkan. Aku ga percaya diri di atas panggung," keluh Feya sembari berbisik.
"Hm... dicoba aja dulu. Besok kita mulai latihan geladikotor. Nanti ada tim yang menilai kamu layak atau engga buat jadi pengisi acara," jelas Eza.
"Kalo ga layak gimana?"
"Kok pesimis gitu?"
"Habisnya... aku takut kalo sendirian di atas panggung." Feya berekspresi seperti anak kecil merajuk. Eza gemas bukan main.
"Kaichou~" Feya mendendangkan nada panggilannya. Eza mulai terbiasa. "Mau ga, temenin aku di panggung?"
"Temenin apa? Aku ga bisa nyanyi, loh!"
"Bukan nyanyi, tapi piano." Feya mengacungkan telunjuk seperti memberi ide. "Aku dikasih tahu Irdan sensei kalo Kaichou bisa main piano. Ah, sugoi~ (keren) aku suka laki-laki yang bisa main piano."
Udara di sekitar Eza terasa panas. Seketika hatinya melambung dengar ucapan tak bertujuan itu. Pertama kalinya Eza bersyukur sudah belajar piano dari musisi yang ia hormati. Setidaknya ada satu bagian darinya yang disukai Feya.
"Mau ya, Kaichou?" pinta Feya dengan mata berbinar seperti anak anjing.
"Kita lihat nanti aja ya, sekarang kamu ikuti meeting aja dulu," ucap Eza kalem.
"Haik, wakatta (baik, aku mengerti)!" seru Feya bersama anggukan semangat nan lincah.
Eza kembali ke mejanya di depan podium ruang musik. Ia menjelaskan rincian acara pada semua yang hadir di sana. Sesekali saat ia menerangkan, matanya berlari pada Feya. Eza tersipu sesuai porsinya, tanpa mengurangi sosok wibawa yang jadi dambaan sebagian gadis di sekolahnya.
Acara telah selesai. Satu persatu berpencar keluar ruang musik. Eza menandai Feya yang bersiap-siap. Eza menghentikan langkahnya dengan tepukan ringan di pundak.
"Mau pulang bareng?" tawar Eza.
Serius, Eza sudah yakin dengan pilihannya. Ia jatuh cinta pada gadis dengan senyum memikat ini.
Feya mengangguk. Satu langkah untuk dekat dengannya berhasil ditembus.
Mereka berjalan keluar gerbang sekolah, berkata basa-basi sekedar tahu sifat masing-masing. Yang Eza yakini adalah semakin ia dekat dengan gadis ini, semakin ia menyukainya. Feya adalah penyihir hatinya, karena lewat satu kedipan saja, Eza sudah tersihir untuk menyukainya.
Mereka ada di parkiran sedang mengeluarkan motor Eza dari antrian.
Kemudian, seorang laki-laki dengan wajah kuyu melintas di hadapan mereka. Eza memperhatikan laki-laki itu, ia mengenalnya. Dia adalah Rean, teman sekelasnya yang selalu kelihatan mengantuk. Rean berjalan dengan langkah kaki sedikit terseret. Dan tanpa sadar Feya memperhatikan laki-laki itu secara serius.
Ada yang aneh dengan garis muka Feya. Matanya terbelalak seperti melihat hantu. Mulutnya menganga. Hingga laki-laki itu menjauh pun pandangan matanya tak pernah lepas.
Eza menyaksikan bagaimana wajah Feya berubah serius karena seseorang.
Eza tidak bodoh, hanya melihat sekilas saja ia sudah mengerti. Feya menyukai Rean. Ada ungkapan, seorang wanita yang melihat wajah pria secara berlebihan, adalah ciri dia menyukainya. Persis seperti apa yang Feya lakukan barusan.
Siapa yang tidak suka dengan wajah tampan Rean, ia miliki campuran Eropa-Asia yang kental, hidung mancung, kulit putih pucat seperti porselen, rambut lurus tetapi sedikit berantakan, badan tinggi gagah, serta yang istimewa adalah bola matanya. Warna amber, emas dan kekuningan yang mirip seperti mata serigala. Sekali ia menatap, syarafmu akan lumpuh tak berdaya.
***
Lagi, Eza dapati Feya sedang memperhatikan Rean dari jauh. Sering sekali, dalam satu hari ia melakukannya hampir puluhan kali.
Sekarang pun begitu. Kelas Eza sedang pelajaran olahraga di lapangan. Kebetulan Feya dengan rombongan kelasnya baru selesai praktek kimia di lab. Ia sengaja berhenti untuk melihat sosok pujaannya yang sedang duduk malas di pinggir lapangan.
Eza buang muka, tiba-tiba saja dadanya panas. Ia memutuskan berhenti sebelum terlibat jauh dengan perasaannya.
Tapi... Feya berteriak memanggilnya.
"Kaichou~" lengkingan yang enerjik. Siapapun bisa mendengarnya dan menoleh.
Feya melakukan sesuatu dengan tangan di kepala membentuk lambang love. Eza mengerjap diberi atraksi imut lengkap dengan senyum khas Feya.
Sebagian teman sekelasnya tidak ada yang tahu panggilan Kaichou diperuntukan pada Eza. Tapi Rean tahu, ia bisa bahasa Jepang sedikit. Rean menoleh pada Eza yang memerah wajahnya. Kemudian pada gadis yang buat heboh teman sekelasnya.
Untuk pertama kalinya, tatapan Rean dan Feya bertemu. Bukan jenis tatapan yang bersahabat, tapi Feya suka.
Feya tersenyum. Eza tersenyum. Teman-teman sekelasnya ribut memuji gadis periang dan cantik tersebut. Sedangkan Rean satu-satunya orang yang buang muka dan memunggungi Feya.
Katakanlah itu cinta pada pandangan pertama. Perasaan Feya selalu resah bila sedetik saja tidak mendapati wajah Rean di areanya. Beruntung kelas mereka berseberangan, Feya selalu rajin memerhatikan kelas Rean, syukur-syukur bisa menangkap basah wajah Rean saat keluar atau masuk kelas. Meskipun dari jauh, tapi Feya suka.
Sejak pertama bertemu Rean di gerbang sekolah, Feya bersikap seperti stalker yang mengejar pujaannya. Selalu, setiap dapat waktu, matanya mencari sosok Rean. Baginya, Rean sudah seperti napas untuknya. Rean membuatnya hidup.
Sejak jam istirahat Feya duduk di depan kelasnya, tidak ke kantin seperti yang lain, atau merumpi dengan kelompok gadis. Feya lebih sering sendiri daripada beramai-ramai. Sesekali memang selalu bersama Sanny. Tapi gadis berambut kuning itu lebih senang menghabiskan jam istirahat di dalam kelas.