Escape : 4
Pagi yang dirasakan sama saja bagi seorang Aiden Mathis. Terbangun di sebuah kamar hotel dengan seorang wanita yang meringkuk di sebelahnya. Wanita yang berbeda dengan malam sebelumnya.
Bayangan percintaannya beberapa jam lalu yang selalu sama.
Bagaimana Aiden bergerak menghentak di dalam tubuh wanita yang ia masuki, wanita yang dibayar mahal oleh Aiden untuk melampiaskan hasratnya hingga suara desahan wanita itu sambil mencengkeram puncak ranjang dan menggeliat.
“Ooohhh, milikmu… ooohhh shit!” maki wanita itu.
Aiden menjulang di atasnya dan ia terus bergerak maju mundur, mencengkeram kedua payudara wanitanya yang ia tak tahu siapa namanya. Wanita itu melemparkan kepalanya tepat saat Aiden menghentak kian keras, menerjang setiap saraf yang berkedut. “Kau luar biasa, Baby,” ucap wanita itu.
Dalam bayangan di kepala Aiden wajah wanita itu telah berubah. Aiden tak mampu menyingkirkan bayangannya terhadap sosok masa lalunya. Wanita yang pernah membuatnya jatuh cinta hingga tak berdaya sampai kini.
“Ooohhh… Fuck me, Baby,” racau wanita itu dan Aiden merasa kacau. Ia melapaskan dirinya, keluar dari dalam tubuh wanita itu dengan mengejutkan. “Kau---”
“Selesai. Kau bisa keluar sekarang,” ucap Aiden sambil meraih piyamanya, menutup tubuh telanjangnya.
“Apa maksudmu, berengsek?!” maki wanita itu.
“Ini bayaran untukmu. Tinggalkan tempat ini sekarang juga,” ucap Aiden dengan tatapan tegas sebelum ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Menyisakan hentakan pada pintu.
“Keparat!” pekik wanita itu dengan amarah.
***
“Kenapa kau menolongku?” tanya Emily dengan suara lantang dan tatapan tajam.
Pria itu tersenyum mengejek. Menatap dengan seringai yang membuat Emily mendengus kesal, meski sekilas, namun benar-benar menyebalkan, sebelum kembali menatap ke depan untuk mengemudi di antara kemacetan.
“Demi kemanusiaan,” selorohnya cepat sambil tersenyum mengejek terselip di antara kedua sudut bibirnya. Emily menoleh dengan tatapan mata tajam.
“Apa?” Emily mengulang dengan bola mata melebar.
Pria itu menatapnya sekilas sambil mengangguk. Ucapannya membuat Emily kian geram. Emily kembali mendengus, tapi pria itu tak bereaksi. “Orang yang aneh,” desis Emily sambil membuang tatapannya keluar jendela mobil.
Tampak deretan bangunan yang telah gelap, namun gemerlap lampu jalanan tak membuat kota tertidur. Emily menggeser posisi duduknya sedangkan pria itu hanya tersenyum melihat sikap Emily, ia melihat Emily dari sudut matanya. Mengamati bagaimana Emily bergerak dengan gelisah di atas jjok yang ia duduki. Pria itu tersenyum miring yang membuat wajahnya terlihat tampan.
“Pengagummu sangat banyak sepertinya,” celoteh pria itu memecah keheningan.
Emily bergeming. Ia tak langsung menanggapi ucapan pria di sebelahnya. Emily menghela napas panjang, menahan geram. Ia tak perlu menunjukkan kehadapan pria itu jika tak ingin membuatnya bersorak sorai penuh kemenangan. Emily memasang wajah penuh senyum. Tersenyum masam.
“Apa kau salah satunya?” tanya Emily dengan tatapan lurus. Pria itu melirik sinis sambil berkata, “Apa maksudmu?”
“Kau juga mengagumi aku, kan?” seloroh Emily dengan percaya diri. Terasa bagai balasan yang setimpal.
Pria itu tersenyum lebar, ia menatap Emily sekilas sebelum menatap ke depan kemudi lagi. Mencoba menutupi senyumnya. Emily dapat melihat senyum pria itu dari samping. Tak dapat dipungkiri pria itu tampan dan maskulin dengan rambut cokelat gelap. Emily hanya menelan ludahnya sendiri.
“Kau terlalu percaya diri,” timpalnya lagi.
Keduanya bertatapan secara tiba-tiba bersamaan dengan pedal rem yang diinjak pria itu hingga mobil berhenti di persimpangan lampu merah. Dugaan Emily benar, pria itu tampan. Keduanya saling menatap dan terdiam.
“Kau...” kalimat Emily berhenti, membiarkannya menggantung.
Mereka masih bertatapan. Emily merasa tak mampu melanjutkan kalimatnya, entah mengapa hingga ia terjebak dalam pikirannya sendiri dan jatuh dalam lamunan.
“Aku tampan, ya?” desis pria itu pelan di hadapan Emily. Apa yang dikatakan pria itu membuat mata hijau Emily menatapnya lurus. Tak ada sekat yang memisahkan pancaran mata antara Emily dan pria itu. Nyaris tersedak dan nyaris lupa bernapas. Emily tersenyum mencibir, berusaha menampik pesona yang ditampilkan pria itu.
“Kau pria menyebalkan,” ujar Emily dengan senyum miring.
“Oya?” balas pria itu dengan senyum yang seakan meledek.
Emily kembali menatapnya lurus. Pria itu bergeming. Ia tetap terlihat santai dan tidak tersinggung. Pikiran gila menghinggapi isi kepala Emily secara tiba-tiba. Menatap pria itu dengan curiga sambil mengumpulkan semua keberaniannya untuk bertanya.
“Kau selalu datang menolongku. Apa kau mengikutiku? Kau pembunuh bayaran, ya?” tanya Emily beruntun langsung tanpa basa-basi dengan tatapan mata penuh curiga. Seketika pria itu tertawa hingga bergema di seisi mobil. Ia terlihat kian tampan. Sesuatu seakan mendesir pelan di antara mereka berdua. Emily hanya menatap hingga pria itu menyelesaikan tawanya.
“Kalau aku pembunuh bayaran, untuk apa bersusah payah menolongmu, Cantik. Aku cukup menyaksikan kau mati konyol di tangan pria-pria itu,” jawab pria yang tak Emily ketahui namanya hingga kini, ia mengatakannya dengan panjang lebar dan penekanan di akhir kalimat sambil mengerlingkan sebelah mata.
Terdiam dan mematung, Emily mencoba untuk berpikir. Mencerna semua perkataan pria itu, hingga tak menyadari mobil sudah berjalan kembali. Pria itu sudah tidak menatapnya. Tak ada alasan bagi Emily untuk tetap di posisi sudut pandangnya, Emily memalingkan pandangannya keluar jendela. Memperbaiki posisi duduknya lagi. Keduanya diam hingga beberapa menit setelahnya.
“Kau lapar?” tanya pria itu memecah keheningan.
Keduanya tidak saling bertatapan. Emily sibuk dengan pikirannya hingga termenung sambil memainkan jari-jari tangannya di atas pangkuan hingga tak menyadari pertanyaan yang diajukan untuknya. Pikiran Emily melayang-layang, bagai dunia menelan dirinya hidup-hidup.
“Hey, kau lapar?” tanya pria itu sekali lagi seraya meraih pergelangan tangan Emily yang membuatnya berjingkat kaget, menoleh dengan terkejut dan kelopak matanya melebar.
“Kau---” kata Emily seraya menghardik tangan lebar pria itu.
“Aku menawari makan, kenapa?” tanya pria itu lagi. Nada suaranya terdengar protes. Emily mencoba melirik ke samping, dia menatapnya, dan Emily menjadi kebingungan setelahnya. Emily menghela napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan.
“Tidak, terima kasih,” sahut Emily sekenanya.
“Kau takut diracun ya?” celotehnya ringan. Emily merasa pria itu sedang mencairkan suasana di antara mereka. Emily mengangguk cepat, tanpa melihatnya dan terdengar suara tawa yang tertahan. Pria itu mengulum bibirnya untuk menahan tawa.
“Harusnya aku biarkan kau tadi ya.”
Emily menoleh seketika. “Kau menyesal menolongku?” sambar Emily dengan nada ketus. Tatapan matanya lurus pada pria itu seakan mencari jawaban. Pria itu masih terkekeh, mengabaikan kekesalan yang dirasakan Emily padanya.
“Sedikit menyesal. Karena ternyata kau wanita yang menyebalkan dan tidak tahu terima kasih,” selorohnya sambil menatap Emily sesaat dengan senyum. Dunia Emily terasa berhenti, matanya melebar seketika dengan menatap pria itu sepenuhnya. Bibir Emily tertutup rapat sampai mata hazel yang indah milik pria itu menatap langsung dirinya.
“Aku suka melihatmu yang sedang marah,” selorohnya lagi dengan melirik ke arah Emily sebelum kembali menatap ke depan.
“Lebih baik kau turunkan aku di sini—”
“Dan aku harus menyelamatkanmu lagi dari pria-pria tak berotak?” tanyanya memotong ucapan Emily bersamaan dengan pedal rem yang ia injak. Emily merasa tubuhnya sedikit terpelanting ke depan, membuatnya terkejut. Pria itu menatap Emily dengan geram.
“Aku tak mengenalmu. Dan kenapa kau selalu mengikutiku?” Emily menghujani pria itu dengan dua pertanyaan beruntun dengan emosi tertahan. Suara Emily terdengar meninggi. Pria itu bergeser tepat di hadapan Emily.
“Aku juga tidak mengenalmu. Selain kau objek dari pameran foto tadi, kan?” Pria itu menggeram.
“Lantas apa masalahmu? kenapa kau selalu ada?” Suara Emily naik beberapa oktaf. Mata hazel itu menghujam Emily seketika. Wajahnya mengeras. Rahangnya terkatup.
“Berengsek,” selorohnya dengan emosi memuncak dan mobil seketika berjalan kembali. Emily mampu mendengar pria itu menarik napas begitu dalam, menyingkirkan kesal. “Aku akan mengantarmu, dan berharap Tuhan tidak akan mempertemukan aku denganmu lagi,” ucap pria itu.
“Amin,” timpal Emily tanpa melihatnya.
***
“Pencalonan Anda tidak akan masalah. Semuanya sudah dipersiapkan. Kita akan mulai berkampanye minggu depan,” jelas sang juru bicara.
Tamu-tamu kehormatan duduk mengelilingi meja besar. Ruangan pertemuan yang berisi orang-orang penting dari partai yang ikut serta dalam pemilihan.
“Kita akan mulai dari mana?” tanya sang calon.
“Florida.”
Seketika sang calon tercenung, seolah lorong waktu mengisapnya bak lorong waktu. Meninggalkannya duduk di masa kini. Bayangan masa lalu yang kembali berputar bak film. Malam kelam usai pesta. Hanya ada minuman, obat dan seks.
***
“Tidak... Aku mohon... Jangan...”
“Apa kau bilang?!”
Di antara gelak tawa yang mengelilingi mereka. Sesosok gadis muda yang setengah telanjang merangkak mencoba menjauh, berlindung di balik bajunya yang sudah compang-camping. Di antara rasa takut dan malu.
“Aku mohon, Danny,” rintih sang gadis dalam ketidak berdayaan.
“Mr. Bullmer,” panggil sang juru bicara. Sang calon bergeming. Tatapannya kosong. “Sir.” Suara yang membuatnya terperanjat.
“Daniel, sayang.” Suara sang istri memanggil seraya meraih telapak tangannya dan spontan pria itu terkejut, tersentak kaget. Mendapati tatapan-tatapan aneh dari sekelilingnya. Beberapa pasang mata mengamatinya dengan heran. Pria itu menahan napas sesaat, sebelum ia kembali tenang seperti sedia kala dan tersenyum lebar.
“Kau kenapa?” tanya sang istri. Pria itu tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang. “Aku... Aku tidak apa-apa. Silahkan dilanjutkan.”
“Kau yakin?”
Anggukan menjadi jawaban yang paling aman bagi pria itu.
***