Ringkasan
Persamaan takdir dan cerita masa lalu yang telah mempertemukan seorang Emily Watson, seorang model dewasa nan cantik jelita dengan seorang Ethan Davis, pria tampan pemilik perusahaan keamanan terkenal di London, DAVIS HUMAN SECURITY. Ayah Emily, dr. Watson menyewa jasa Ethan untuk menjaga putrinya dari seseorang yang menginginkan rahasianya dibenamkan. Pencarian dan pelarian diri Mr. dan Mrs. E di iringi dengan pengungkapan kisah hidup keduanya. Kisah Ethan yang pernah menjadi submissive dan Emily dengan cinta yang kelam. Kisah yang lahir dari kegelapan masa lalu keduanya. Rahasia apa yang harus di sembunyikan? Akankah kedua E berhasil selamat? Akankah kisah kelam masa lalu membuat keduanya mampu bertahan? Siapa yang telah membunuh dr. Watson dan meninggalkannya jasadnya tanpa kepala?Kisah cinta yang di iringi intrik dan pembunuhan di akhir cerita dengan latar belakang kota London.
Escape : 1
Kita semua memiliki sebuah cerita. Kita semua tidak pernah mengatakannya. Emily bagai merasakan kehampaan di tengah keramaian dunia. Tanpa tahu apa yang dirinya inginkan. Sejauh dirinya berlari dari kehidupannya di masa lalu, seakan kian membuatnya merasa lelah. Emily juga menginginkan kehidupan yang normal, layaknya orang-orang pada umumnya, merasakan yang dirasakan wanita lain.
Emily selalu memimpikan kehidupan yang bahagia bersama dengan seorang pria. Menghabiskan sisa umurnya bersama hingga ajal datang menjemput. Saling mencintai dan mampu menerima dirinya dengan masa lalunya yang kelam.
Emily tidak dapat memilih hadir di keluarga seperti apa. Ia memiliki sepasang orangtua dan seorang kakak bernama Cruz Watson. Ayahnya pernah menjadi seorang pengajar dengan prestasi yang hebat, hingga ia memutuskan untuk menghilang dari dunia akademisi, yang Emily sendiri juga tidak memahami alasan di balik itu. Yang Emily tahu, David Watson, ayahnya begitu menyayanginya. Melindunginya dari rasa sakit masa lalu.
Yang selalu menjadi pertanyaan dalam hidup Emily adalah sikap sang ibu, Mercy Watson. Ada rasa benci yang tersirat jelas pada sikapnya. Namun bagi Emily, biar bagaimanapun Mercy tetap ibunya, yang melahirkannya ke dunia. Sedangkan Cruz Watson, Emily merasa muak dan tak pernah ingin menyebut namanya lagi seumur hidupnya. Karena dia, awal kisahnya.
Dunia Emily kini hanya tenggelam dalam kesibukan. Bersukacita dalam gemerlapnya dunia modeling. Dari pargelaran satu ke pargelaran lainnya. Dari pesta ke pesta. Bertemu banyak orang. Berbenturan dengan persaingan. Yang terkadang hingga menghancurkan jalinan pertemanan. Emily tidak bisa memahami apa yang dirinya inginkan setelah kembali pulang.
Kesuksesan demi kesuksesan telah mampu ia raih meski dengan banyak pengorbanan. Emily harus menanggalkan semua yang ada di tubuhnya untuk sebuah bayaran yang layak. Ia butuh untuk hidup di tengah kejamnya kehidupan kota London yang terkenal mahal dan kopetitif. Selain semua alasan itu, ia melakukan hal itu untuk menuntaskan pendidikannya di bangku kuliah. Karena Emily berpendapat jika wanita masa kini tak dapat hanya bermodalkan paras cantik dan tubuh molek. Tapi juga otak yang cerdas.
Ketika Emily telah sampai pada titik itu. Ia merasa tetap kesepian. Ia tetap tidak mendapatkan yang bersemayam dalam hati dan dapat dirasakan bernama CINTA.
“Kau sedang ada masalah?” tanya Alec yang tiba-tiba muncul dari arah belakang, dalam sekejap mata semua lamunan dalam kepala Emily hancur berantakan.
“Tidak.” Emily mengatakannya sambil memasukan semua perlengkapan miliknya ke dalam sebuah tas. Emily memperbaiki posisi duduknya sementar Alec menunjukan beberapa foto hasil pemotretan sore ini. Keduanya bersisian sampai terdengar Emily yang menghela napas panjang sebelum menghembuskannya perlahan.
“Bye semua!” pekik Jerry seraya melambaikan tangan berpamitan. Memecah keheningan antara Emily dan Alec Dorantes. Jerry menghilang di balik pintu lift yang membawanya turun. Emily hanya membalasnya dengan lambaian tangan dan seulas senyum untuk kepergian pasangan fotonya hari itu.
“Bagaimana menurutmu?” Pertanyaan yang tidak lngsung dijawah oleh Emily. Ia tampak terdiam sambil tetap menatap ke arah deretan foto yang dihasilkan Alec. Pria tampan dengan rambut blonde yang selalu tampak rapi. “Apa kau menyukainya?”
“Oh Alec,” seloroh Emily sambil menoleh untuk menatap Alec yang ada di sampingnya. Keduanya bertatapan. “Aku selalu menyukai semua yang kau hasilkan bersama kameramu.”
“Begitukah?” Terdengar Alec yang tak yakin sampai Emily perlu untuk mengangguk. Alec memanyunkan bibirnya seakan tak yakin dengan dirinya sendiri.
“Yakinlah pada dirimu sendiri, Brother,” seloroh Emily sambil menepuk bahu Alec sebanyak dua kali dan tersenyum, meski Alec masih bergeming. “Apakah masih ada yang perlu aku lakukan?” tanya Emily yang terdengar lelah. Alec menatap Emily dengan tatapan curiga, sikap Emily ang tidak biasa usai pemotretan.
Alec meletakkan kameranya di atas meja.
“Kau sedang ada masalah?” Kali ini Alec yang bertanya dengan wajah khawatir. Emily tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum masam, seirama dengan yang ia rasakan pada dirinya. Merasakan kebosanan yang tidak ia ketahui sebabnya. Emily merasa semua yang ia rasakan salah. “Entahlah. Semua terasa membosankan bagiku saat ini.”
Alec menyentuhkan ujung jarinya pada pipi Emily, membelai lembut menghantarkan ke lembutan dan rasa tenang seorang sahabat. “Berliburlah. Kau membutuhkannya. Sebelum pergelaran London fashion week lima minggu lagi.” Alec mengatakannya sebelum tersenyum pada Emily, menampilkan deretan gigi putihnya. Emily terdiam, menatap lurus ke dalam tas yang ada di hadapannya sebelum perlahan menatap sosok Alec yang masih berdiri disamping kanannya.
“Haruskah aku ikut?” tanya Emily.
Alis Alec naik sebelah secara spontan.
“Kau tidak bisa menolaknya, Em sayang. Kau sudah menandatangani kontraknya satu bulan yang lalu,” jawab Alec tenang.
Emily memejamkan mata, menghela napas dengan berat, sebelum manik matanya bertemu dengan manik mata Alec.
“Aku akan pulang dan tidur,” ujar Emily seraya meraih tas di hadapannya lalu beranjak meninggalkan kursi yang ia duduki.
“Baiklah kau membutuhkannya, Sayang. Tidurlah sepuasmu. Selamat bermimpi indah,” ujar Alec yang dilengkapi dengan senyuman menawan di wajah tampannya. Emily hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. Meninggalkannya di ruang studio.
***
Kesedihan dan kebahagiaan datang silih berganti bagai hantu gentayangan. Entah mengapa Emily merasakan hidupnya mulai terasa membosankan. Ada lelah yang bergelayut, ia merasakan tubuhnya butuh istirahat. Pikirnnya butuh ketenangan.
Emily masih berdiri di halte pemberhentian, menanti sebuah taksi yang tak kunjung tampak. Sementara malam kian larut. Jalanan mulai sepi, hanya satu dua buah mobil melintas. Cuaca malam kian dingin menggigit. Hening dan senyap. Berulang kali dirinya menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Hi, Cantik,” goda seorang pria yang muncul secara tiba-tiba tepat di sampingnya.
Pria itu menatap Emily dengan perangai mencurigakan. Emily coba mengabaikan. Ia bergerak selangkah ke kanan sementara jantungnya terasa mulai berdegup hebat.
“Ingin aku antar?”
“Tidak, terima kasih,” kata Emily sopan sambil menyingkirkan tangan pria itu dari lengannya. Emily beranjak pergi untuk meninggalkan pria yang tak dikenalnya itu.
“Ayolah Cantik.” Pria itu berkata dengan lantang, membuat malam yang sepi kian terasa mencekam. Emily mengabaikannya dan terus berjalan sementara pria itu mengikutinya. Mereka mengekor di belakang langkah Emily. Dua orang pria yang Emily bisa duga jika mereka di bawah pengaruh alkohol. Aroma menyengat dari napas mereka.
“Sial,” desis Emily saat menyadari apa yang telah ia kenakan pada kakinya. Sepatu yang dikenakannya tidak tepat. Ia masih mengenakan heels. Tak ada pilihan lain selain memperlebar langkahnya dan pria itu menyusul dengan langkah yang tak kalah cepat. Tepat di belakang Emily, di antara napasnya yang memburu.
“Kau akan ke mana?” tanya pria itu meraih tangan Emily hingga membuat tas selempangna melorot, pria iti mencengkeram Emily dengan kuat. Dengan usaha yang mencoba melepaskan diri dengan menyingkirkan cengkeraman pada lengnnya, namun sia-sia hingga orang itu mendorong tubuhnya ke dinding. Seketika punggung Emily terasa panas.
“Tolong!!!” pekik Emily kencang yang berhasil loncat dari bibirnya.
Pria itu menghimpit tubuhnya, mencoba untuk menciumnya dengan menyurukkan kepalanya pada lipatan leher Emily yang terbuka. Dengan sekuat tenaga Emily mencoba menjauhkan diri dari tubuh pria itu. Dadanya terasa sesak, namun apa yang ia lakukan terasa kian menghimpit, usahanya sudah semampu yang ia bisa. Tubuh pria itu terasa lebih berat dari dugaannya.
“Tolong!!!” pekik Emily saat bibir pria itu mengenai kulit lehernya. Terjangan angin malam yang dingin terasa berbanding terbalik dengan panas kulit pria itu di permukaan kulit lehernya.
Emily tetap mencoba untuk melepaskan diri. Memberontak dengan sekuat tenaga. Tangan pria itu kokoh mencengkram tangan Emily dengan begitu kuat. Tubuh besarnya menghimpit hingga membuat tubuh Emily menempel dengan dinding.
“Lepaskan!!!” pekik Emily di sela napasnya yang berubah cepat.
Pria itu terus mendesakkan tubuhnya, menghimpit hingga terasa menyakitkan. Wajah pria itu tepat di leher Emily lagi. Panas terasa menerjang kulitnya yang bercampur dengan rasa jijik, perasaan takut dan amarah yang perlahan merambati tubuh Emily.
“Tolong!!!” pekik Emily sekali lagi dan lebih lantang disisa keberaniannya. Emily tak mampu berpikir apa pun lagi, ia berada di titik tak berdaya.
“Dasar kau bajingan!!!” Suara hinaan yang datang tiba-tiba disusul dengan pukulan datang bersamaan setelahnya.
Terdengar suara BUUUK!!! Suara hantaman yang cukup keras. Emily merasakan napasnya tercekik sebelum dirinya terjatuh. Tubuhnya gemetar dan menempel pada dinding. Emily merasakan kepalanya berat, pusing seakan ingin meledak. Ia tak ingin melihat baku hantam yang terjadi di dekatnya. Antara pria bajingan itu dan sosok yang tak ia kenal yang tiba-tiba datang di antara kegelapan.
Emily mencoba merangkak untuk menjauh. Berpegang pada dinding, berusaha untuk bangkit, hingga bayang menyilaukan yang melintas di matanya, dan tiba-tiba gelap. Emily terkulai.
***
“Kepalaku... Ya Tuhan...” desis Emily sambil memegangi kepalanya yang terasa berat.
Perlahan ia berusaha untuk membuka kelopak matanya. Terasa pening. Dunianya terasa berputar cepat di porosnya. Hidung Emily menangkap aroma wangi dari pengharum. Ia mencoba untuk mengingat meski saat ini ia berada di antara batas kesadarannya.
“Di mana aku?” tanyanya pelan nyaris berbisik sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya. Tak ada jawaban, selain keheningan sampai manik matanya mendapati dashboard dan menyadari saat ini ia berada di dalam sebuah mobil. Emily tersentak sementara dirinya merasakan nyeri disekujur tubuhnya.
“Kau sudah sadar?”
Suara yang tiba-tiba muncul saat seseoang membuka pintu mobil dan spontan Emily melonjak kaget. Ia mencoba meraih apa pun untuk melindungi dirinya. Napasnya memburu sambil menatap lurus ke pria di hadapannya. Tatapan yang menyalang dan tajam. Pria itu duduk di balik kemudi. Pria berperawakan besar dengan seringai wajah yang tak mampu Emily terjemahkan.
“Kau siapa? Apa yang kau inginkan?” tanya Emily beruntun dengan emosi tertahan dan suara yang tersekat. Pria itu menatapnya dengan tatapan lurus dan menghujam, tapi terasa lembut. Emily menarik napas, mencoba mengembalikan kendali dirinya. Suaranya terdengar bergetar. Ada takut yang terselip.
“Apa yang kau lakukan malam-malam seperti ini seorang diri?” tanya pria itu yang ditujukan padanya. Pertanyaan terdengar penuh penekanan. Mata Emily melebar sementara suara pria itu terdengar parau.
Emily merasa napasnya tertahan, ada jeda sebelum dirinya menjawab.
“Aku. Aku...” Kalimat Emily menggantung sampai bayangan gelap pria jahat itu melintasi kembali di dalam kepalanya. Keduanya terdiam beberapa saat. Keheningan yang kembali menyelinap.
“Pria itu ingin berbuat tidak baik denganmu.”
Emily masih bergeming. “Dan itu hal yang wajar, karena pakaianmu sangat mengundang, Nona,” seloroh pria itu dengan tatapan sinis dan senyum miring. Emily tidak mengenal pria yang kini ada di hadapannya.
Emily menundukkan kepala untuk mengamati pakaian yang sedang ia kenakan. Napasnya terasa tersedak saat menyadari yang dikatakan pria itu benar dengan penilaiannya. Seharusnya ia mengganti pakaiannya dengan t-shirt dan jins serta sepatu kets, bukan dengan pakaian seperti yang ia kenakan saat ini. Rok mini dengan sepasang sepatu heels.
“Ini...” Emily tertunduk memandangi tubuh bagian atasnya. Kelopak matanya kian melebar, dan tenggorokannya terasa kering hingga tak dapat mengatakan apa pun. Emily mengenakan jaket yang tidak ia kenali.
“Kenapa?” tanya pria itu lagi yang membuat Emily mengangkat wajahnya untuk menatap. “Aku tak ingin kau sakit karena pakaian seksimu itu.” Pria itu seakan mapu membaca isi kepala Emily. Pria itu masih tetap dengan seringainya.
“Ini... Ini jaket milikmu?” tanya Emily yang dijawab dengan anggukkan oleh pria itu sebelum ia menghidupkan mesin mobilnya. Emily mencoba untuk melepaskan jaket yang ia kenakan di saat roda mobil yang mulai berputar sebelum meninggalkan trotoar jalan.
“Lebih baik kau gunakan sabuk pengamanmu, daripada melepaskan jaketmu,” ujar pria itu sinis dengan lirikan tajam dari sudut matanya.
“Tapi--”
Pria itu menatap sambil lalu sebelum menatap lurus ke depan, di balik kemudi, tatapan tajam yang membuat napas Emily terasa tersekat, tersedak di tenggorokan sebelum pria itu kembali bertanya, “Katakan di mana alamat rumahmu?”
Pertanyaan yang membuat Emily terdiam, menatapnya beberapa detik, membiarkan jeda untuk berpikir.
“Aku...” Otak Emily langsung berputar, rasa curiga menyusup masuk dalam dirinya. Emily membiarkan kalimatnya menggantung dan melayangkan tatapan matanya keluar jendela mobil yang mulai beranjak. Tanpa mengatakan apa pun, mencoba mengatur dirinya agar duduk lebih nyaman di jok mobil mahal yang ia duduki. Jalanan tampak gelap, namun kehidupan masih terus berjalan. Kota yang terasa tidak pernah tidur.
Emily kembali menghela napas panjang, mencoba untuk melirik pria di balik kemudi. Ia tampak tenang. Tak menunjukan sosok yang memiliki niat jahat. Hanya ada keheningan di antara keduanya. Tanpa kata-kata apa pun.
“Aku--”
“Kau akan segera sampai satu blok lagi,” selaknya.
Mata Emily kembali membulat sebelum melihat sekeliling, keluar kaca jendela, dan apa yang pria itu katakan benar. Mobil telah melaju jauh.
“Kau--” Suara Emily kembali tersekat dengan kelopak mata yang kian melebar karena terkejut. Terdengar tarikan napas yang disusul hembusan napas keras.
“Aku mencari identitas dirimu di dalam tas, saat kau pingsan,” katanya memotong kalimat Emily bersamaan dengan dencit ban mobil yang berhenti, injakan pada pedal rem di kaki pria itu. “Yup. Kau sudah sampai, Miss.” Ia mengatakannya dengan santai. Pria itu menggeser sedikit posisi duduknya untuk berhadapan langsung dengan Emily sementara Emily masih terperangah dan menatap pria itu dengan curiga. Pandangan matanya menilai namun pria itu tak tersinggung, ia tersenyum mencibir.
“Kenapa?” tanyanya kali ini seraya menatap Emily dengan seringai dan tatapan mengejek.
“Kau…”
Mata Emily memicing dengan alis terangkat sebelah.
“Sudah, turun sana. Kau sudah sampai dengan selamat,” ucapnya bersamaan dengan suara klik dari suara pintu yang dibuka otomatis. Emily menelan ludah, lalu menghela napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar disusul dengan meliriknya sambil mendengus. “Terima kasih untuk tumpangannya, Sir,” kata Emily seraya mengambil tas miliknya dan membuka pintu mobil lalu menutupnya dengan keras hingga terdengar suara bantingan pintu di belakang langkahnya.
Emily memutuskan untuk tidak menoleh, perasaannya bercampur dengan rasa kesal.
***
Emily menyeruput teh panas dalam mug yang ia genggam sambil menatap keluar jendela kamar apartemennya. Tampak kegelapan yang terhampar di hadapannya, langit tak berbintang, bulan bergelantung rendah. Jarum jam menunjukan pukul satu malam dan hari telah berganti. Matanya tak juga merasakan kantuk. Ia terus terjaga, bahkan bayangan pria yang menyerangnya beberapa jam lalu kembali melintasi kepalanya, terasa segar dalam ingatan hingga dadanya terasa sakit hingga ke punggung, dan nyeri.
“Ya Tuhan, nyaris terulang,” desis Emily seorang diri dengan perasaan frustasi.
Emily beranjak menuju ranjangnya, meletakkan mug di nakas samping ranjang tidur. Menyibakkan selimut sebelum ia membaringkan tubuh lelahnya. Menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Mata hijaunya menatap langit-langit kamar yang tak lagi putih di beberapa bagian akibat kebocoran dari penghuni lain di lantai atas.
“Pria itu ingin berbuat tidak baik denganmu. Dan itu wajar, pakaianmu sangat mengundang.”
Kalimat itu melintasi kepala Emily lagi dan lengkap dengan ekspresi menyebalkan pria itu.
“Aku tak ingin kau sakit karena pakaian seksimu itu.”
Bayangan pria itu menarik bibirnya yang Emily rasakan bagai cibiran yang ditujukan padanya. Pria itu jelas-jelas menyindir dirinya di balik suara beratnya.
“Lebih baik kau gunakan sabuk pengamanmu, daripada melepaskan jaketmu.”
Kalimat terakhir yang terngiang di telinga Emily.
“Hmmm, sial,” Emily mendengus, memiringkan tubuhnya. “Benar-benar menyebalkan. Dasar pria mata keranjang,” desis Emily geram dan langsung menarik selimutnya.
***