Bab 7 Keraguan
Bab 7 Keraguan
Jashie mengetuk pintu kamar Aaron. Dengan segera, Aaron yang berada di dalam membukakan pintu untuk sang adik. Aaron tersenyum lebar, merasa senang akan kedatangan Jashie. Begitupun dengan Jashie, wajahnya yang semula tegang terlihat kendur dan membalas senyum Aaron.
Aaron menarik tangan Jashie untuk segera masuk ke dalam kamar. Menutup kembali pintu kamar itu. Aaron kembali duduk di meja belajarnya, sedangkan Jashie duduk di atas tempat tidurnya saling berhadapan dengan Aaron.
“Ada apa Jashie?” tanya Aaron memperhatikan.
Jashie bungkam, wajahnya terlihat pucat. Kerlingan matanya menunjukkan, betapa ragunya ia. Jashie menggigit bibirnya. Pandangan matanya lurus ke lantai. Aaron menyadari ada sesuatu yang terjadi pada Jashie.
Mungkinkah tentang masalah Jashie yang memberikan nomor telponnya pada Briyan? Entahlah, Jashie hanya diam dan larut dalam renungannya.
“Ada apa Jashie?” tanya Aaron sekali lagi.
Jashie memandang Aaron dengan sendu dan berkata, “Kak, Briyan memaksaku untuk memberikan nomor kakak padanya,” matanya berbinar takut.
“Maksud kamu apa?” tanya Aaron masih tak paham dengan apa yang dikatakan Jashie.
“Briyan ingin dekat dengan kakak,” jawab Jashie.
“Ya, sudahlah Jashie, kamu jangan pernah pikirkan hal itu lagi. Lagipula Kakak tidak ingin dekat dengannya,” Aaron tersenyum dan mengelus rambut Jashie.
“Tapi, Kak. Briyan sudah mengancam aku jika dia tidak bisa menghubungi Kakak,” ujar Jashie enggan beranjak dari kamar Aaron.
“Kamu jangan khawatir, Jashie. Kakak akan selalu ada untuk melindungi kamu. Sekarang kamu pergi ke kamarmu, dan istirahatlah!” ucap Aaron mengecup kening Jashie dengan lembut.
Jashie mengangguk. Ia pun beranjak meninggalkan kamar itu. Langkahnya terlihat lemas tak bersemangat. Ada rasa enggan dirinya untuk beranjak dari kamar Aaron.
Setelah pintu kamar Aaron tertutup, Aaron mengepalkan tangannya dan memukup tepian meja, merasa kesal pada Briyan yang telah mengancam Jashie. Bagaimanapun rasa sayang Aaron terhadap Jashie begitu besar. Ia tidak rela jika Jashie yang amat ia sayangi itu merasa terancam karena ulah Briyan.
***
Setelah jam istirahat berbunyi, dengan segera Aaron menghampiri Jashie di kelasnya. Ia tidak ingin jika Briyan melakukan hal yang aneh-aneh kepada Jashie. Sehingga Jashie yang sangat lembut hatinya merasa takut pada sosok Briyan yang angkuh dan licik.
“Kakak.” Jashie merasa senang melihat kehadiran Aaron di depan kelasnya. Jashie melihat ke sekeliling. Tidak ada Briyan di sana. Entah kemana anak itu, tetapi itu adalah sebuah kesempatan yang bagus bagi Jashie untuk menghampiri Aaron dengan bebas, tanpa harus waspada dengan ancaman kamera yang bisa saja merusak citra kakaknya.
Jashie segera berlari menghampiri Aaron yang masih berada di depan pintu kelas. Jashie menarik tangan Aaron menjauhi kelasnya.
“Ada apa Jashie?” tanya Aaron merasa heran dengan sikap Jashie.
“Aku takut jika Briyan melihat kita, bagaimana kalau kita ke kantin, Kak!” ajak Jashie.
“Baiklah,” Aaron mengikuti Jashie yang mengajaknya ke kantin sekolah. Di mana kemungkinan Briyan juga akan ada di sana. Jashie menatap sekeliling, sedangkan Aaron sedari tadi memperhatikan tingkah Jashie.
“Kamu tidak perlu takut padanya, Jashie!” ucap Aaron memberikan saran.
Jashie mengangguk pelan, sembari terus memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Briyan di sana. Merasa Aman, Jashie duduk di bangku yang sudah kosong.
“Jashie, kamu mau makan apa?” tanya Aaron.
“Seperti biasa saja, Kak.”
“Baiklah akan kakak pesankan untukmu,” Aaron berjalan cepat menghampiri si pemilik kantin untuk menyampaikan pesanan Jashie dan juga dirinya. Setelahnya, Aaron pun kembali duduk di sebelah Jashie.
“Bagaimana dengan pelajaran mu kali ini? Apakah kamu merasa kesulitan?” tanya Aaron.
“Tidak kak, aku merasa nyaman dengan pelajaran tadi. Semuanya akan terasa mudah, jika kita menyukainya, Kak.”
“Kakak bangga sama kamu,” Aaron mengusap lembut rambut Jashie. Rasa sayangnya semakin hari semakin bertambah pada Jashie. Ia tidak bisa memungkiri rasa sayang dan cinta itu. Ia selalu ingin menunjukkan bahwa adalah orang yang sangat menyayangi dan mencintai Jashie lebih dari apapun.
“Hay, Kak Aaron, Hay Jashie!”
Tiba-tiba Briyan datang dengan membawakan sekotak makanan yang ia taruh di atas meja. Jashie dan Aaron saling beradu pandang. Ada tatapan takut di mata Jashie saat Briyan berada di hadapan mereka dan duduk dengan santai di bangku kosong itu.
“Kak, ini aku ada bawakan makanan untuk Kakak, rasanya lezat loh, Kak. Ayo cobain Kak,” Briyan membuka kotak makanannya dan menyodorkan makanan itu pada Aaron. Bersikap manis, berharap Aaron membalas perhatian yang ia berikan.
Sementara Briyan sibuk menawarkan makanan pada Aaron yang hanya diam dan menatapnya dengan kesal, Jashie hanya bisa menunduk, tak mampu membalas manic mata Briyan yang selalu menyipit saat menoleh ke arahnya. Membuatnya benar-benar merasa takut.
Aaron menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Briyan yang terus-terusan ingin mendekatinya, ia merasa jengah dengan sikap itu.
“Kami sudah memesan makanan. Kamu bisa memberikan makanan ini kepada orang lain, Briyan,” ucap Aaron dengan dingin.
Briyan masih bersikukuh, menawarkan makanan itu kepada Jashie.
“Pagi-pagi sekali aku sengaja membuatkan ini hanya untuk Kak Aaron.” Semakin Aaron menolak pemberian darinya, semakin Briyan menjadi-jadi untuk selalu bisa mendapatkan perhatian dari Aaron.
“Tidak ada makanan selezat ini, loh, Kak Aaron,” ucap Briyan dengan bangganya.
Aaron terus memandang pada Briyan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Aaron merasa kurang suka dengan sikap Briyan. Briyan sudah berani-beraninya untuk bersikap sok akrab dengannya dan memberikan bekal untuknya.
Aaron menatap pada Jashie yang masih menunduk. Tidak berani mengangkan kepalanya, apalagi angkat bicara untuk menolak apa yang dilakukan Briyan saat ini. Jashie di mata Aaron terlihat tertekan saat Briyan masih di hadapan mereka.
“Jashie, kamu mau mencicipi makanan buatanku, ‘kan?” tanya Briyan.
Jashie masih terpaku. Aaron yang menyadari ketakutan Jashie pada Briyan, tak ingin berlama-lama di tempat itu. Aaron berdiri dan menarik tangan Jashie untuk ikut bersama dengannya. Mereka meninggalkan Briyan begitu saja. Jashie yang hanya terdiam sedari tadi merasa heran dengan sikap kakaknya, yang menunjukkan rasa ketidak sukaannya pada Briyan.
“Kak,” panggil Jashie. Namun, Aaron mengabaikan panggilan itu, ia terus berjalan dengan menggenggam kuat tangan Jashie, enggan untuk melepaskan tangan itu. Sementara itu, Jashie terus mengikuti langkah kaki Aaron yang entah kemana ia membawanya kali ini.
Jashie kembali diam. Tidak ingin bicara, sesampainya mereka di taman belakang sekolah. Tampang Aaron masih terlihat kesal. Jashie sangat paham dengan sikap Aaron yang tidak suka ada orang lain mengusiknya, termasuk Briyan.
Aaron duduk di bawah batang pohon yang cukup rindang. Manic hitam pekat itu tiada henti memandangi Jashie yang duduk di sebelahnya. Ia mengelus lembut rambut Jashie.
“Kakak tahu, kamu ketakutan saat Briyan datang, iya, ‘kan?” tanya Aaron.
Jashie menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Teringat akan Briyan, Jashie merasa iba dengan Briyan yang ditinggal begitu saja. Padahal Jashie sangat tahu apa yang dilakukan Aaron adalah suatu perbuatan yang baik.
“Kak, kenapa Kakak bertindak seperti itu pada Briyan?” tanya Jashie.
Aaron melebarkan matanya. Ia tidak percaya mengapa Jashie mempertanyakan sikapnya pada Briyan, di saat dirinya sendiri merasa ketakutan saat Briyan berada di sana. Sehingga ia tidak mempu menengadahkan kepalanya karena Briyan membuatnya tertunduk dengan sekali lintas tatapan matanya.
“Kenapa kamu malah prihatin seperti itu padanya?” Aaron berbalik tanya.
“Bukan begitu Kak, hanya saja aku merasa apa yang Kakak lakukan kali ini adalah salah,” Jashie menyampaikan pendapatnya.
“Aku tidak melakukan kesalahan apapun, Jashie,”
Jashie kembali menggeleng lembut. Ia berdiri menatap ke sekeliling, kemudian ia kembali duduk. Menatap intens pada Aaron yang tersenyum padanya.
** Bersambung **