Bab 6 Si Peneror
Bab 6 Si Peneror
Aaron dan Jashie turun dari mobil. Masuk ke dalam rumah. Di sana Patricia sudah menunggu kedatangan kedua putera tercintanya. Mereka masuk ke dalam rumah dan mengecup lembut pipi Patricia yang tersenyum menyambut kedatangan mereka.
“Mama sudah menunggu kalian sejak tadi. Kenapa kalian lama sekali pulangnya?” tanya Patricia cemas.
“Tadi aku menemani Jashie ke toko buku, Ma,” jawab Aaron.
“Iya, Ma. Mama tidak perlu cemas seperti ini, ya!” pinta Jashie bergelayut manja di tangan Patricia.
“Iya, sebaiknya kalian ke kamar dan setelah itu makan siang bersama Mama!” titahnya.
Dengan semangat Aaron dan Jashie mengiyakan perintah Patricia. Mereka beranjak menuju kamar masing-masing.
Dang ding dong…
Sedari tadi notifikasi gawai Aaron terus berdering. Pertanda ada sebuah pesan masuk. Briyan mengeluarkan gawainya dan melihat notifikasi pesan tersebut.
“Nomor siapa ini?” tanyanya pada dirinya sendiri saat melihat pesan dari kontak yang tidak ia kenali.
Setibanya di kamar, notifikasi ponselnya terus berbunyi. Menangkap pesan dari nomor yang sama, dan yang tidak Aaron kenali siapa pemilik nomor tersebut.
“Hay Kak Aaron, sedang apa?” Aaron membaca pesan masuk di dalam gawainya satu persatu.
Setelah mengganti pakaiannya, ia kembali mengambil gawai yang sempat ia campakkan di atas kasur. Aaron kesal, gawai itu terus berdering menandakan pesan masuk. Ada beberapa pertanyaan dari si pengirim pesan.
“Kak Aaron sedang apa?”
“Kak Aaron sudah makan apa belum?”
“Kak Aaron sudah sampai di rumah?”
Pertanyaan-pertanyaan konyol yang membuat Aaron merasa geram sendiri membacanya. Aaron menggerak-gerakkan jari jemarinya mengetik sebuah pesan balasan.
“Kamu siapa?”
Aaron duduk di tepi ranjangnya menantikan pesan balasan dari nomor tersebut. Tidak butuh waktu lama, pesan balasan pun masuk.
“Aku Briyan, Kak.” Pesan balasan itu membuat Aaron semakin kesal. Ia merasa tidak memberikan nomor ponselnya pada siapapun termasuk Briyan. Merasa tidak senang, Aaron kembali mengirimkan pesan balasan,
“Dapat nomor aku dari siapa?”
“Dari Jashie, Jashie menyebarkan kontak Kak Aaron di kelas,” pesan balasan kali ini begitu cepat dari perkiraan Aaron.
Mendapatkan pesan seperti itu membuat Aaron murka pada Jashie yang telah menyebarkan nomor ponselnya. Ia berjalan keluar kamar dengan membanting pintu. Membanting pintu kamar Jashie yang berada tepat di depan kamarnya.
Jashie yang baru saja selesai mengganti pakaiannya merasa kaget dengan sikap Aaron yang terlihat murka padanya.
“Kenapa kamu memberikan nomorku pada orang lain, Heh?” hardik Aaron.
Rasa kaget bercampur dengan sedih yang dirasa Jashie saat ini, mendapatkan hardikan dari Aaron. Selama ini Jashie tidak pernah melihat kemarahan di wajah Aaron. Ia merasa bersalah karena telah memberikan nomer Aaron pada Briyan. Namun, apa hendak di kata, saat Jashie tidak memiliki daya dan upaya untuk tidak memberikan nomer tersebut pada Briyan.
“Maafkan aku, Kak.” Hanya kata itu yang keluar dari bibir Jashie. Jashie yang berhati lembut, sangat mudah untuk bersedih saat hatinya merasa terluka. Kali ini ia benar-benar merasa sedih akan kemarahan Aaron.
“Ah, sudahlah!” Aaron berjalan kembali keluar dan menghampiri Patricia yang sudah menunggunya di ruang makan.
Aaron duduk di hadapan Patricia. Patricia mengernyitkan dahi saat ia tidak melihat Jashie di ruangan yang sama. Biasanya Jashie selalu turun bersama dengan Aaron, tapi kali ini hanya Aaron yang turun ke ruang makan sendirian.
“Jashie mana?” tanya Patricia.
“Di kamar, Ma.”
“kenapa masih di kamar? Dia tidak ikut makan siang bersama kita?” tanya Patricia penuh selidik.
Aaron menggeleng-gelengkan kepala. Sembari menyalin makanan ke piringnya. Merasa tidak nyaman karena Jashie yang tidak ikut makan di ruang makan, Patricia berinisiatif untuk memanggil Jashie ke kamarnya.
“Jashie, buka pintunya sayang. Ayo kita makan siang bersama!” ajak Patricia.
Tidak ada suara dari dalam kamar Jashie. Patricia berusaha membuka pintu kamar itu, tetapi pintu kamar itu terkunci. Tidak ada jawaban atau tanda-tanda Jashie yang terjaga.
“Apa mungkin Jashie ketiduran?” gumam Patricia.
“Kalau kamu belum tidur, kamu bisa ikut makan dengan Mama dan Aaron ya, sayang!” ajak Patricia.
Lebih dari lima menit ia berdiri di hadapan kamar Jashie, tetapi jashie tidak jua membuka pintu kamarnya, membuat Patricia merasa yakin bahwa Jashie sudah terlelap karena lelah.
Patricia kembali ke ruang makan.
“Jashie tidak turun, Ma?” tanya Aaron.
“Tidak, mungkin dia sedang tidur.” Patricia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sedang tidur?” tanya Aaron memastikan.
Aaron dan Patricia kembali melanjutkan santap siangnya. Setelah selesai santap siang, Aaron berlarian di tangga menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Sebelum masuk ke kamarnya, Aaron melihat pintu kamar Jashie yang masih tertutup.
Ia mendekati kamar itu dan mengetuk pintunya berkali-kali berharap Jashie yang berada di dalam kamar itu membukakan pintu untuknya. Tidak jua mendapatkan jawaban, Aaro kembali masuk ke dalam kamarnya.
Aaron menatap kembali pada ponselnya yang masih tergeletak di atas kasur. Begitu banyak pesan masuk dari Briyan. Membuatnya merasa risih mendapatkan pesan itu. Aaron menonaktifkan volume dering ponselnya. Kemudian meletakkan kembali ponsel itu di atas kasur.
Biasanya, Jashie selalu datang ke kamarnya untuk berbagi ilmu, atau membaca novel bersama, tetapi, kali ini Jashie benar-benar mengurung diri di dalam kamarnya. Aaron merasa gelisah. Ia tidak tega, jika jashie sampai mengurung diri dan mogok makan karena dirinya.
Aaron kembali berjalan menuju kamar Jashie.
“Jashie!” panggil Aaron lembut dari luar kamar.
“Jashie, maafkan Kakak. Kakak tidak marah padamu, Jashie. Buka pintunya!” pinta Aaron. Cukup lama Aaron mengetuk pintu kamar itu.
Tidak sia-siap usaha Aaron untuk membuat Jashie membuka pintu kamarnya. Akhirnya Jashie pun membuka pintu kamar itu. Jashie terlihat sedih. Tampangnya yang kusut membuat Aaron merasa bersalah.
“Maafkan Kakak, Jashie. Kakak tidak bermaksud untuk marah-marah sama kamu.” Aaron merangkul Jashie yang masih memasang tampang murung di wajahnya.
“Aku juga minta maaf sama Kakak,” ucap Jashie membalas rangkulan itu.
“Lain kali jangan berbuat seperti itu lagi, ya. Kakak tidak suka jika ada orang yang mendapatkan kontak kakak dengan cara seperti ini. Kalau ada orang yang mau meminta kontak Kakak, suruh mereka meminta langsung pada Kakak,” ucap Aaron.
Jashie mengangguk lemas. Masih merasa bersalah pada Aaron. Namun, ia merasa lega karena Aaron sudah kembali bersikap lembut padanya. Aaron sudah tidak memasang tampang marah padanya.
“Kakak sudah tidak marah lagi padaku?” tanya Jashie.
“Tidak, Kakak tidak marah padamu.” Aaron tersenyum dengan sangat manis dan mengusap kepala jashie yang ada di depan dadanya.
Permasalahan mereka kali ini telah usai dengan saling mengucapkan kata maaf dan memaafkan satu sama lain. Setelah merasa lega melihat Jashie yang sudah tidak bersedih dan murung lagi, Aaron memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya.
Ia melihat kembali ponselnya yang masih hidup layarnya karena ada beberapa pesan masuk dari Briyan.
Aaron tidak suka mendapatkan pesan perhatian dari Briyan yang seolah memberikan perhatian lebih padanya. Dengan segera, Aaron memblokir nomor ponsel Briyan tanpa membaca apa isi pesan yang dikirimkan ole Briyan padanya.
Ia merasa lega untuk sejenak terlepas dari terror SMS dari Briyan.
Bersambung…