Bab 4 Sang Idola
Bab 4 Sang Idola
“Aku dan Aaron adalah saudara, dia adalah kakakku,” ucap Jashie.
Briyan menyeringai senang dengan jawaban Jashie. Ia senyam-senyum sendiri menatap pada Aaron yang sedang memesan makanan. Merasa ada harapan untuk Briyan bisa dekat dengan Aaron yang ia anggap idola untuknya.
Menyadari Aaron yang berjalan kembali ke tempat duduknya semula, membuat Briyan mengulum bibir. Berharap Aaron dapat menyapanya dan memberikan senyuman itu, seperti Aaron yang memberikan senyuman termanisnya pada Jashie.
Aaron terlihat tidak menanggapi kehadiran Briyan di sana. Ia masih terus fokus dengan Jashie, sehingga mengabaikan Briyan yang juga duduk di sana. Sikap Aaron yang sedikit cuek padanya membuat Briyan semakin penasaran pada sosok Aaron, yang senyumnya membuatnya terpukau.
Selama di kantin, Briyan terus memandangi Aaron tanpa menggubris Briyan. Ia benar-benar tidak peduli akan keberadaan Briyan di sana. Dunianya saat ini seakan hanya bersama dengan Jashie, tidak ada orang yang lain, termasuk Briyan.
Hari-hari Briyan semakin mengagumi sosok Aaron. Namun, Aaron masih cuek terhadapnya. Ia tidak menunjukkan sedikitpun perhatiannya pada Briyan. Berbeda dengan Briyan, sejak kejadian di dalam kegiatan MOS, Jashie yang selalu bersikap baik dan lembut pada siapapun kerap kali mendapat bully-an dari teman-teman satu kelasnya. Tak jarang Jashie menangis setelah jam pelajaran usai. Kerap kali ia di seret ke toilet oleh anak-anak nakal di kelasnya.
“Kamu ini lelaki atau perempuan? Bicara dengan tegas saja tidak bisa,” ujar salah seorang yang membawanya ke toilet sekolah.
“Maafkan aku, Kak, tetapi aku harus pulang,” ucap Jashie mencoba mencari celah untuk keluar dari bully-an mereka yang terbilang nakal di sekolah. Jashie yang lemah kerap kali meminta maaf, padahal dirinya sendiri tengah ditindas oleh mereka yang merupakan anak nakal di sekolah itu.
“Wah, anak mami. Jam segini sudah mau pulang. Kita bermain-main saja dulu,” ajaknya lagi.
Briyan yang sudah terdesak untuk buang air kecil segera berlari ke dalam toilet. Setelah selesai membuang air kecil, Briyan melihat keberadaan Jashie yang tersudut, di hadapan Jashie ada beberapa anak yang tengah mengepungnya.
Briyan tersenyum melihat keberadaan Jashie di tengah mereka. Ia merasa ini adalah kesempatan baik untuk Briyan bisa lebih dekat dengan Aaron melalui Jashie.
“Jashie, pantas saja aku mencarimu ke mana-mana tetapi aku tidak menemukanmu, ternyata kamu ada di sini. Ayo, Aaron sudah mencarimu,” Briyan menarik tangan Jashie tanpa menoleh pada mereka yang masih belum puas untuk melakukan perundungan pada Jashie yang kemayu, lemah lembut bagaikan seorang puteri.
Briyan dan Jashie menghampiri Aaron di ruang kelasnya. Briyan begitu berharap dapat bertemu dengan Aaron, sejak pertemuan pertamanya dengan Aaron yang memberikan ia roti, makanan dan minuman padanya. Ia begitu gencar untuk terus dapat bertemu dengan Aaron. Rasanya sehari tidak bertemu dengan Aaron membuatnya merasa gelisah dan merindu. Entah dari mana perasaan itu muncul, yang jelas, Briyan begitu sangat ingin bertemu dengan Aaron dan berbincang-bincang dengannya.
Saat ini kelas Aaron sedang sepi, karena di jam terakhir ini tidak ada guru yang masuk kelas. Briyan menghampiri Aaron dengan setengah berlari, meninggalkan Jashie yang tengah berjalan sangat pelan di belakangnya, bagaikan siput yang lamban. Begitulah pendapat Briyan akan Jashie.
“Hay, kak Aaron!” sapa Briyan.
“Briyan, ada apa kamu ke sini?” tanya Aaron yang terlihat jutek padanya.
“Kita ke kantin yuk, kak!” ajak Briyan.
“Ke kantin?” tanya Aaron memastikan.
“Iya, kita makan siang bersama,” ujar Briyan.
“Aku tidak bisa,” sahut Aaron berjalan mendekati Jashie yang berada di depan pintu kelasnya.
Briyan menyipitkan matanya melihat sikap Aaron yang begitu cuek kepadanya. Sedangkan kepada Jashie, ia bersikap begitu sangat baik dan begitu hangat. Kasih sayangnya terhadap Jashie begitu jelas terlihat.
“Hay, Jashie. Kamu sudah pulang?” tanya Aaron.
“Iya, Kak. Kakak sudah pulang atau masih ada jam pelajaran setelah ini?” Jashie berbalik tanya.
Aaron menggeleng-gelengkan kepalanya. Pertanda ia sudah tidak ada jam pelajaran setelah ini. Lagi pula saat ini guru yang mengajar sedang tidak datang karena alasan tertentu.
“Kalau begitu ayo kita pulang bersama, Kak Aaron!” ajak Briyan.
Aaron menatap pada Jashie, dan kembali beralih tatap pada Briyan yang sudah berdiri di dekatnya.
“Aku tidak bisa, aku akan menemani Jashi ke toko buku,” tolak Aaron berjalan menuju bangkunya, dan mengambil tas yang ada di atas meja, lalu menyandangnya.
Aaron menarik tangan Jashie dan berjalan keluar dari kelas itu meninggalkan Briyan yang juga berdiri di sana. Mereka pergi bersama tanpa memikirkan Briyan yang hanya memandang kesal pada si pemilik punggung yang berada di hadapannya.
Briyan terus mengikuti mereka hingga ke parkiran mobil di mana Aaron memarkirkan mobilnya. Mereka berdua masuk ke dalam mobil tanpa mengajak Briyan yang sedari tadi mengikuti mereka.
Mendung di langit terasa begitu sama dengan mendung di dalam hati Briyan. Harapannya untuk pulang bersama dengan Aaron gagal total karena Aaron yang menolaknya secara mentah-mentah. Bahkan Aaron tidak berbasa-basi padanya untuk memberikan tumpangan, meskipun hanya sampai di persimpangan jalan. Bahkan Mobil itu terus berjalan meninggalkan Briyan begitu saja yang sudah berdiri di samping pintu mobil.
Dari dalam mobil, Jashie merasa iba pada Briyan yang sudah menolongnya dari anak-anak nakal di toilet tadi. Ia menatapi Briyan dari kaca spion mobil. Briyan masih berdiri di tempatnya tanpa beranjak selangkahpun menghadap pada mobil yang hendak ia tumpangi tadi.
Tiba-tiba hujan lebat mengguyur kota. Briyan yang masih berdiri di sana – di bawah hujan memandangi mobil Aaron, segera berlari dan berteduh di parkiran roda dua.
“Kak, berhenti. Kita harus memberikan tumpangan pada Briyan,” ajak Jashie.
“Tidak perlu, Briyan pasti bisa pulang sendiri ke rumahnya,” tolak Aaron menghentikan mobilnya.
“Tapi kasihan, Kak. Briyan akan susah pulang jika dalam keadaan hujan lebat seperti ini,” rewel Jashie, “nanti kalau Briyan sakit bagaimana? Apa kakak mau tanggung jawab karena telah meninggalkannya begitu saja?” cerocos Jashie.
“Jashie, Briyan pasti bisa pulang sendiri. Untuk apa kita pikirkan?” tanya Aaron berusaha memastikan pada Jashie.
“Tidak kak, akan sulit bagi Briyan untuk pulang ke rumahnya saat hujan lebat seperti ini. Lagi pula jarak dari parkiran ke gerbang sekolah juga cukup jauh, Kak. Belum sampai di gerbang Briyan akan basah kuyup, Kak.” Jashie tak kalah cerewetnya meminta sedikit pengertian Aaron untuk memberikan tumpangan pada Briyan yang tengah berteduh di parkiran motor sekolah.
“Bukankah kita harus ke toko buku, Jashie? Sedangkan persimpangan antara toko buku dan rumah Briyan itu cukup jauh,” Aaron bersikukuh menolak untuk memberikan tumpangan pada Briyan.
“Tidak perlu. Aku sudah tidak ingin ke toko buku. Lebih baik, kakak mundur sekarang, dan berikan tumpangan pada Briyan. Hari ini Briyan sudah menyelamatkan aku, Kak!” ujar Jashie.
“Kamu ini cerewet sekali,” geram Aaron terkekeh dengan sikap Jashie yang begitu perhatian kepada orang lain. Aaron begitu minta ampun dengan sikap Jashie yang benar-benar keras kepala. Tidak ingin mendengarkannya.
Aaron kembali menyalakan mesin mobilnya dan memutar balik mobilnya, ke tempat di mana Briyan berada. Hujan turun semakin lebat di sertai dengan angin yang begitu kencang. Dari langit yang terlihat kelam, memperkirakan hujan ini tidak akan cepat berhenti.
Mobil pun berhenti tepat di hadapan Briyan. Jashie membuka sedikit kaca mobilnya, berteriak memanggil Briyan, karena suaranya kalah deras dengan suara hujan deras yang gaduh di atas genteng.
“Briyan, Ayo naik!” pekik Jashie.
Dengan senang hati, Briyan berlari menghampiri pintu mobil itu, membukanya dan masuk ke dalam mobil itu dengan segera, karena tidak ingin badannya basah kuyup terkena hujan.
“Terima kasih, kak Aaron. Terima kasih Jashie, kamu sudah berbaik hati untuk memberikan aku tumpangan,” ujar Briyan dengan senyuman sumringah. Briyan merasa senang karena Aaron telah berbaik hati padanya untuk memberikan tumpangan seperti apa yang diharapkannya tadi untuk dapat pulang bersama dengan Aaron yang menjadi pujaan di sekolahnya.
“Iya, sama-sama,” ucap Jashie memberikan senyumannya pada Briyan. Sedangkan Aaron ia masih sibuk dengan setir mobilnya dan matanya tengah focus pada jalanan yang tengah di tempuhnya dalam keadaan basah. Membuat mulutnya enggan menjawab ungkapan terima kasih Briyan.
Bersambung…