Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Siapa Namamu?

Bab 9 Siapa Namamu?

Menjelang maghrib Bapak kembali lagi. Ia pergi cukup lama. Arum sedang duduk di pinggir akuarium menatap ikan-ikan berenang dengan damai. Bapak melihatnya cukup lama dan kembali meletakan bungkus rokok di atas mesin jahit. Tanpa disuruh Bapak sudah ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk keduanya. Sama seperti sarapan, makan siang dan makan malam selama sepuluh tahun ini, tidak ada bedanya. Keheningan dan perasaan canggung satu sama lain terutama dari Bapak tetap ia rasakan dan semakin menumpuk setiap harinya. Bapak berusaha untuk lebih memperhatikan Arum ketika ia makan. Apakah ia makan dengan lahap? Apakah nasinya terlalu kering atau terlalu basah? Apakah tahu putihnya terasa tidak enak. Apakah rebusan sayuran terlalu matang atau masih mentah?

Pertanyaan tersebut selalu menghantui Bapak setiap makan-makannya bersama dengan Arum. Namun, ia tidak pernah mendapat jawaban sama sekali. Tidak pernah selama bertahun-tahun ini. Reaksi Arum tidak pernah berubah-- datar, dingin dan hening. Bapak dibuat setengah mati frustasi dan tidak mengerti. Dan pada tiap-tiap makan yang ia lakukan bersama dengan Arum, selera makan Bapak tidaklah ada sama sekali. Jika bukan karena rasa lapar dan suara keroncongan ia terus menerus mengganggu Bapak memilih untuk tidak makan ketimbang melihat wajah satu-satunya perempuan dalam hidupnya seolah-olah hanya mayat hidup yang menemaninya.

Selesai makan Arum kembali ke kamarnya. Beberapa buket bunga bawa masuk untuk menyelesaikan garapan untuk besok pagi. Bapak merapikan sendiri meja makan dan membawanya ke bak cuci piring. Malam ini ia harus menyelesaikan pesanan pelanggan. Sudah banyak dari mereka yang memberikan keluhan karena kinerja Bapak yang seperti tidak biasanya. Ia bekerja begitu lamban dan tidak teliti. Padahal label griya Bapak dapat dibilang memiliki kualitas yang mumpuni. Bapak berusaha untuk semaksimal mungkin memenuhi permintaan pelanggan, sehingga tidak ada komplain masuk. Namun, kali ini berbeda. Tenggat waktu sudah molor dan pesanan tidak kunjung jadi. Pak Yono beberapa kali bertanya soal progres kebaya dari kenalannya. Bapak hanya menjawab, "Akan segera saya selesaikan."

Arum sibuk sendiri menata bunga-bunga dan pernak-perniknya. Biasanya ada pesanan pelanggan yang memintanya untuk merangkai dari bunga asli. Sehingga ia harus cepat membuat dan menyerahkan kalau tidak bunga itu akan segera layu. Lama Arum tenggelam dalam rangkai demi tangkai kelopak bunga ia tersadarkan dengan kertas yang ada di lacinya. Kertas tersebut muncul begitu saja secara ajaib ketika ia mengibaskan kain Bapak ke lantai. Kali ini bukan satu melainkan dua. Seolah-olah kertas tersebut hendak mengajaknya berkenalan satu sama lain.

Arum mengamati ketika kertas itu. Ia ambil dan ia baca ulang pesan di dalamnya. Dilihat dari tulisannya Arum tahu itu tulisan seseorang, namun siapa. Ia tidak mengenal manusia lain selain Bapak yang selalu ada di rumah. Sempat kepikiran olehnya untuk membalas, namun dengan cara apa. Akhirnya ia menyobek kertas dari catatan hariannya dan mengambil pena. Ia ingin menuliskan sesuatu, namun tidak tahu apa. Kertas terakhir menanyakan nama "Siapa namamu?" Apakah ia harus menjawab pertanyaan itu. Arum pun tidak merasa yakin untuk menjawab. Jangan-jangan hanya orang iseng saja yang tidak sengaja menyelipkan diantara kain Bapak.

Namun, ada dorongan kuat dari hatinya untuk membalas. Ia buka tutup pena dan menuliskan sesuatu. Kemudian ia lipat menjadi dua bagian. Tengah malam ia keluar kamar hanya untuk mengambil segelas air. Ia melihat Bapak sudah tidak ada di meja jahit dan tertidur pulas di kursi ruang tamu. Arum meletakkan gelasnya dan beralih ke meja jahit Bapak. Ia mencari-cari mana kain yang akan dikirim Pak Yono ke pasar bukan ke pelanggan individual. Dan di antara kain yang sudah jadi itu Arum menyelipkan kertasnya. Dengan langkah kecil-kecil dan jinjit yang tidak bersuara ia kembali ke kamar membiarkan Bapak tertidur pulas.

***

"Permisi, Pak!" ujar seseorang pagi-pagi.

"Sebentar," jawab Bapak dari dalam.

"Mau ambil pesanan untuk Pasar," ujar Pak Yono.

Setiap hari Kamis Pak Yono secara khusus akan datang untuk mengambil beberapa kain yang sudah siap untuk dibawa kembali ke Pasar Kembang Rakyat. Mak Ratih yang memintanya. Biasanya Mak Ratih meminta untuk dibuatkan gorden dengan ukuran yang super besar. Biasanya gorden tersebut akan dijual untuk kalangan konglomerat dengan jendela berlapis kayu jati yang juga berukuran besar. Mak Ratih hanya mau Bapak yang menjahit karena ia tahu Bapak sangat telaten dalam menjahit. Nantinya pelanggan akan datang ke Pasar bertemu dengan Mak Ratih dan saling tawar menawar harga sampai mencapai deal. Bapak dengan buru-buru keluar membawa empat gorden yang ia lipat berulang kali karena ukurannya yang mirip jalan aspal.

"Empat ya, Pak?" tanya Pak Yono sambil mengeluarkan catatan keuangannya.

"Iya, empat."

"Baik, ini saya ambil sekarang ya, Mak Ratih sudah menunggu di Pasar. Jika butuh kain lagi bisa hubungi saya."

"Baik, Pak, atau ndak nanti saya bisa ke Pasar juga."

"Oh yowes, malah bagus itu. Memang biasanya datang langsung ketempat dan melihat kain secara langsung itu lebih legowo daripada lewat perantara. Ya sudah saya pamit dulu ya, Pak."

"Ya, Pak Yono, terima kasih banyak."

Pak Yono pergi dengan membawa empat gorden besar dan berat yang ia letakkan di belakang jok motor vespanya. Diam-diam Arum mengintip dari balik gorden rumah. Ia melihat Bapak masuk dan buru-buru kembali ke mejanya untuk merangkai buket kembali.

"Pak, Arum butuh kain flanel," ujar Arum tiba-tiba.

"Untuk apa?" tanya Bapak hati-hati. Tidak biasanya Arum meminta sesuatu.

"Tagihan rumah menunggak dan mau tak mau harus lunas. Arum bisa buat boneka kecil-kecilan dari kain flanel. Kalau Bapak ke Pasar Arum titip sekalian," ujar Arum yang langsung kembali fokus pada bunga di atas meja.

Bapak menatapnya lama. "Seharusnya ia tidak perlu khawatir soal tunggakan biaya rumah. Namun, ia tetap berusaha untuk membantuku," batin Bapak. Bukankah aku yang menjadi orang tua di sini, namun mengapa anakku yang lebih memikirkan soal rumah.

"Arum, kau tidak perlu khawatir soal rumah, biar Bapak yang--"

"Bawakan saja kainnya, Pak," jawab Arum dingin dengan tidak menoleh sama sekali. Perhatiannya hanya tertuju pada buket bunga yang harus jadi hari itu juga.

Bapak pasrah dan mengiyakan. Ia merasa tidak enak pada Arum. Bahkan dalam keadaannya yang masih seperti ini ia tetap memikirkan semuanya. Arum tahu Bapak akan kesulitan jika hanya bertahan dari pesanan jahitan seseorang yang kadang ada kadang tidak. Sehingga harus ada pemasukan dari hal lain yang dapat melunasi hutang-hutang rumah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel