Bab 10 Sepucuk Surat Tiba
Bab 10 Sepucuk Surat Tiba
Buru-buru Arum menuju meja jahit Bapak. Ia ingin tahu apakah ada kertas itu lagi. Bapak sedang keluar ke salah satu rumah pelanggannya untuk mengukur jahitan. Arum memanfaatkan waktu untuk mencari kertas yang ia sudah tunggu-tunggu. Pada kain-kain Bapak yang baru saja diantar oleh Pak Yono kemarin tidak ia temukan apapun. Oh, barangkali di gulungan kain yang lain. Ia gelar kain tersebut menjuntai panjang di atas lantai, namun tidak ada sepucuk kertas pun. Arum membuka gulungan yang lainnya, namun sama saja, ia kebas-kebaskan kain vitrase berwarna putih itu dan tidak ada. Arum terdiam lama. Ia merasa dibohongi dan dipermainkan entah oleh siapa.
Ia hanya merasa tidak seharusnya ia berkhayal seperti ini. Hanya membuang-buang energi dan perasaannya. Ia hempaskan kain itu ke lantai dengan kasar. Ruang jahit Bapak jadi kacau balau karena ulahnya. Semua gulungan yang barusan diantar Pak Yono tergelar berantakan begitu saja. Arum menatap ruang jahit itu lama. Ruang jahit yang sudah berantakan dari sananya dan semakin ia buat berantakan. Sampai akhirnya ia melihat satu gulungan yang masih rapi. Hanya tinggal satu gulungan itu yang belum ia buka. Ia segera beranjak ke gulungan terakhir dengan perasaan malas. Barangkali isi gulungan ini akan sama dengan yang lain. Ia lelah memeriksa gulungan berat satu persatu. Dan ketika ia hempaskan sekali terdapat kertas keluar. Ia terdiam dan sejurus kemudian langsung menggamitnya.
Ia merasa aneh. Kertas kali ini tidak seperti kertas yang sebelum-sebelumnya. Ini bukan kertas melainkan sepucuk surat. Sejurus kemudian ia langsung merapikan kembali semua gulungan kain Bapak dan meletakkannya di tempat semula. Jangan sampai Bapak tahu jika Arum melakukan ini. Bapak tidak akan menduganya. Selama ini citra yang Bapak tahu Arum begitu pendiam dan tidak ingin diajak bicara oleh siapapun. Namun, kali ini ada seseorang diluar sana yang hendak mengajaknya bicara melalui tulisan kata.
Teruntuk Arum...
Jiwa yang terpenjara dalam tubuhmu terkadang kerap merepotkan ketika sedang tidak tenang dan meronta-ronta menuntut kebebasan. Kau bertarung dengan dirimu sendiri dalam keadaan diam dan senyap. Kau tahan semuanya dengan kekuatan kesendirian yang kau jadikan benteng untuk mencegah hal diluar dirimu masuk. Hal-hal yang dapat membuatmu resah dan gelisah layaknya seseorang yang kehilangan pujaan hatinya. Aku mengamatimu yang begitu elegan, dalam bayangan yang kubuat sendiri. Dengan gerak tangan yang selalu tenang dan ketegaran hati dari mata hitam mu yang mendalam. Kau mampu tenang dalam keadaan apapun meskipun badai dalam dirimu sedang pasang dan menghantamkan dirimu terkapar di tepi laut dengan napas terengah-engah.
Kau berbeda dan itu tidak salah. kau berbeda karena matamu mampu berbicara dan bersuara lebih lantang dari mulutmu sendiri. Tidak seperti orang-orang yang berteriak koar untuk menyuarakan sesuatu yang mereka pikir suara mereka akan memberikan perubahan yang berarti. Namun, kenyataannya tidak sama sekali. Justru perpecahan baru akan segera tersulut dengan orang-orang yang penuh dengan rasa sakit hati dan hendak menuntut balasan. Penolakan dari matamu tersebut mutlak dan sikapmu yang menantang maut untuk kembali mengembalikan dirimu adalah hal yang membuatku kagum.
Senang berkenalan denganmu Arum. Perasaan terhormat dapat langsung menuliskan pesan ini padamu. Barangkali kita belum pernah bertemu atau pernah bertemu di papasan jalan di suatu waktu. Namun, aku senang kita dapat menjalin komunikasi lagi. Akhirnya kau membalas pesanku.
Arum mengerutkan dahinya. Ia berpikir amat keras. Apakah ia pernah mengenal seseorang selain di rumah ini. Hanya ada dua orang manusia di rumahnya tidak ada orang lain. Lantas mengapa orang ini selalu menyelipkan pesannya di kain Bapak. Seketika Arum dilanda kebingungan sendiri ia ingin membalas namun tidak tahu dengan cara apa dan hendak menulis apa. Mengapa orang ini seperti mengetahui apa yang ia rasakan? Arum tidak tahu harus membalas apa. Kertas dan pena yang disiapkan dari tadi tidak disentuh sama sekali. Berkali-kali ia mencoba menerka kata-kata dalam pikirannya namun tidak bisa. Ia hanya merasa tidak bisa saja. Pesan terakhir yang ia balas adalah namanya sendiri. Ia memberitahu siapa namanya, tidak lebih. Dan kali ini orang itu mengirim pesan panjang berupa kalimat yang penuh dengan luapan perasaan yang sama dirasakan oleh Arum. Satu lagi, Arum merasa diam-diam ia merasa senang karena ada yang mau berkenalan dengannya.
Ia mulai menuliskan kata demi kata. Pelan namun pasti ia menerka kalimat apa yang pantas ditulis diatas kertas itu. Sesekali Arum membayang-bayangi sesuatu diluar dirinya. Ia menghadap pada cermin dan melihat bayangnya sedang berkerut memikirkan sesuatu. Arum termenung. "Aku tidak pernah berwajah seperti ini sebelumnya," pikirnya. Wajahnya nampak serius dan penuh perhatian hanya untuk membalas surat yang entah dari siapa. Setidaknya ia tidak boleh mengecewakan orang ini, pikirnya. Ia sudah mau berkenalan dan menyapa dan itu cukup membuat Arum sedikit merasa lebih hidup kembali.
***
Adalah sekitar dua jam ia duduk terdiam di depan meja dengan cermin besar di depannya. Barangkali kalimat yang ia lukiskan adalah yang terbaik untuk saat ini. Arum membacanya ulang dengan hati-hati seraya menunjuk satu kata demi kata menggunakan jari telunjuknya. Ia tidak ingin ada salah tulis atau ada kalimat yang tidak berkesinambungan satu sama lain. Di lantai samping kanan kirinya telah banyak uwelan kertas yang berkali-kali gagal ia tulis. Jika ada satu kata yang salah maka akan ia meremas kertas tersebut dan buang ke sembarang tempat.
Butuh waktu cukup lama baginya untuk menuangkan pikiran pada satu lembar kertas. Namun, entah mengapa ada perasaan lega sekaligus penuh harapan yang ia nantikan. Dan ketika Bapak sudah terlelap. Ia berjinjit penuh dengan ketenangan melangkah ke arah meja jahit Bapak. Ia selipkan sepucuk surat tersebut ke salah satu jahitan Bapak yang akan diberikan ke Pak Yono esok hari. Dengan harap cemas ia melipat kembali surat tersebut dan kembali ke kamar dengan langkah jinjit yang sama.
Malam itu ia merasa tidak dapat tidur. Pikirannya terganggu entah oleh apa. Apakah karena surat itu? pikir Arum. Berkali-kali ia membolak-balik badan namun tidak ada posisi tidur yang membuatnya nyaman dan justru semakin terjaga. Ia bangun sejenak dan melihat langit-langit kamarnya yang remang dan sepi. Arum menghembuskan napas berat. Malam ini tidak seperti malam-malam yang lain. Apakah surat itu akan mendapat balasan? batinnya. Ah, jangan terlalu berharap, barangkali ini hanya kebetulan yang tidak wajar saja. Barangkali hanya seseorang yang iseng atau anak kecil yang suka usil saja. Ia berusaha memejamkan matanya dan memaksakan diri untuk segera tidur.