Bab 11 Perasaan Lain Arum
Bab 11 Perasaan Lain Arum
Esoknya Arum terbangun lebih awal. Ia harus ikut membantu Bapak mengepak buket bunga yang akan diambil pagi itu. Kali ini buket bunga yang ia garap tidak seperti biasanya. Ia lebih banyak menempatkan warna-warna terang termasuk warna merah dari bunga mawar. Buket bunga mawar jauh lebih banyak dari bunga lainnya. Ia juga mengemas bunga mawar satuan. Dan semua buket ia berikan sepucuk kertas berisi kata-kata. Bapak hendak membacanya namun Arum langsung menyerobot dan mengambil begitu saja. Ia tidak ingin Bapak tahu apa yang tertulis. Buru-buru ia masukkan semuanya ke bagor dan menyerahkannya pada Bapak.
Dalam hati Bapak merasa ada hal lain yang terjadi dengan Arum. Tidak seperti biasanya ia seperti ini, bahkan menambahkan pemanis kata-kata di atas kertas dengan tulisan dan buah pikirnya sendiri. Biasanya karyawan toko yang kemudian memberikan kartu ucapan bukan dari Arum sendiri. Bapak tahu Arum hanya suka bekerja merangkai bunga bukan merangkai kalimat puitis. Bapak beranjak ke pagar depan dan menyerahkan dua bagor tersebut. Ia menatap Arum dari luar jendela. Ada hal lain yang membuat anak perempuannya berbeda pagi ini. Ia tampak sedikit bergairah untuk melakukan sesuatu. Dan ini cukup mengejutkan Bapak. Setelah sekian lama ia tidak melihat Arum yang berjiwa, kali ini ia tampak sedikit lebih ceria setelah ditekan oleh kemurungan bertahun-tahun lamanya.
"Apa sudah diberikan?" tanya Arum pendek sambil tidak menoleh sama sekali.
"Sudah..." jawab Bapak pelan.
Ia tidak bertanya lagi. Bapak dibuat sedikit canggung dengan tingkah Arum pagi ini. Ia tampak begitu bersemangat untuk membuat berbagai macam rangkaian bunga dalam bentuk lain. Bapak memperhatikannya dari meja jahit dengan sesekali mencuri pandangan. Biasanya Arum hanya membuat satu jenis buket saja. Ia tidak hendak berkreasi dengan model lain karena Bapak tahu ia tidak suka untuk berbuat sesuatu diluar kebiasaan sehari-hari. Seperti halnya makan, ia hanya makan nasi putih, tahu putih, air putih dan rebusan sayur. Hambar dan tawar. Sama dengan caranya merangkai bunga. Tidak ada model lain dan hanya satu macam. Sempat hal ini di komplain oleh pihak toko, namun Bapak memohon supaya buket bunga buatan Arum tetap dapat diletakan di toko itu. Bapak ambil setengah uangnya pun tidak apa demi menutupi kebutuhan hidup yang lain.
Kali ini lain. Ia berkreasi sesuka hati bahkan dengan memberikan kartu ucapan dan surat-surat pada buket yang berukuran lebih besar. Kain flanel yang pernah Bapak beli pun jadi di tangan Arum. Ia membuat gantungan kunci, boneka bantal, dan berpakain pernak-pernik hiasan rambut seperti jepit, kuncir dan bandana dari kain flanel tersebut. Ia tidak lagi hanya mengenakan warna gelap, namun semua warna dapat dipadu padankan dengan baik dan selaras. Bapak memandangnya dari kejauhan sambil memperhatikannya apa yang ia kerjakan. Namun, Arum hanya fokus pada tangan dan kain flanelnya, ia tidak peduli hal lain selain apa yang ada di depannya.
Pesanan kali ini sama yaitu gorden. Mak Ratih meminta Bapak untuk membuat gorden lagi. Bapak menggunting beberapa kain seraya mengukur menggunakan meteran jahit.
"Kapan Bapak ke pasar lagi?" tanya Arum tiba-tiba.
Bapak dibuat terkejut namun tertahan, "Bapak belum tahu, apa ada yang kau butuhkan?"
"Aku butuh kain flanel lagi, yang kemarin sudah habis," jawabnya singkat.
"Besok Bapak segera ke pasar untuk beli kain flanel," ujar Bapak dengan cepat.
Selepas bertanya Arum langsung kembali ke mejanya dan menyelesaikan kembali buket bunga yang lain. Bapak memandangnya dengan penuh arti berharap ada hal baik yang terjadi pada Arum setelah sekian lama terpuruk pada masa lalu yang selalu menghantui. Bapak tidak pandai berkomunikasi dari hati ke hati. Bukan tidak pandai, hanya saja ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia takut jika niat tulusnya untuk membantu justru membuat orang itu tidak nyaman, ia hanya takut membuat Arum merasa tidak nyaman dan risih dengan keberadaannya. Ia tidak mau itu terjadi.
Selama ini Bapak hanya mampu menyimpan perasaannya sendiri. Ia begitu senyap dan diam sama dengan Arum. Namun, diam-diam hatinya terbentur berkali-kali, lagi dan lagi sampai tidak berbentuk. Hati Bapak telah lama kandas sejak ia kehilangan cahaya mata Arum yang ia lihat sehari setelah dibawa pulang dari rumah sakit. Hati Bapak hancur berkeping-keping melihat dirinya sendiri gagal mengemban amanah sebagai orang tua seorang anak perempuan berusia lima belas tahun. Perempuan yang ditemukan dalam keadaan miris dan menyedihkan di rumah kosong setelah direnggut kehormatannya sebagai perempuan dan dibuat trauma seumur hidup.
"Esok, aku akan bangun pagi-pagi sekali untuk segera ke pasar," ujar Bapak sambil mengukur kembali gorden.
***
Teruntuk Arum...
"Kematian bukan lawan dari kehidupan, kau bukan lawan dariku. Kematian adalah bagian dari kehidupan, dan kau adalah bagian dariku pula."
Aku suka sajak yang kau berikan kemarin. Sajak mengenai kematian seorang perempuan yang terperangkap pada tubuh yang masih hidup. Apa yang kau lakukan sehari-hari, Arum? Apakah kau pernah keluar untuk pergi ke taman depan kompleks, misalnya?
Cukup membosankan berada di sini, aku belum memberitahu aku berasal dari mana ya? Biarkan ini menjadi rahasia yang akan terbuka dengan sendirinya. Kemarin kau menanyakan namaku pada surat itu. Namun, aku rasa nama bukanlah hal penting selagi kita mengenal satu sama lain dengan perasaan untuk dapat menjalin hubungan pertemanan yang baik. Bukankah begitu, Arum? Coba kau ceritakan kegiatanmu sehari-hari aku akan senang membaca surat darimu. Aku tunggu.
Hal yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Surat balasan itu melampirkan sajak mengenai kematian sebagai balasan sajaknya yang lalu. Arum menorehkan tinta hitamnya dan menuliskan, "Aku sudah mati dan akan terus mati. Aku tidak akan terbangun dan akan terus tenggelam pada lautan kematian yang telah membunuhku sepuluh tahun lalu."
Ia membalas bahwa "Kematian adalah bagian dari kehidupan bukan lawan dari kehidupan itu sendiri." Arum termenung lama membaca surat itu. Ia baca berulang kali sajak itu yang entah didapat dari mana. Apakah sajak itu murni dari hasil pikiran dan renungannya tentang sesuatu atau ia pernah membacanya di suatu buku atau tempat. Arum tidak tahu. Namun, ia suka balasan itu. Ia merasa ada perasaan lain yang tersirat di hatinya ketika membaca surat itu.
Namun, jika ia ingin membalas surat ini, balasan apa yang pantas? Aku tidak tahu apa yang harus aku ceritakan mengenai keseharianku, pikir Arum. Pikirannya mulai menerawang dan mengingat-ingat sesuatu. Aku tidak pernah kemana-mana dan selalu berada di dalam rumah, lebih tepatnya di dalam kamarku seorang diri. Tidak ada yang boleh masuk selain diriku bahkan tidak untuk Bapak. Arum mengalami kebuntuan membalas surat.