Bab 12 Sebuah Perubahan dan Keyakinan
Bab 12 Sebuah Perubahan dan Keyakinan
Aku kerap duduk termenung di depan cermin kamarku. Menatap bola mataku sendiri yang hitam dan dalam. Namun, aku tahu ada sesuatu yang hilang pada diriku entah apa.
Tulisan pertama itu ia buat dengan penuh pemikiran yang dalam dan lama. Namun, entah sudah keberapa kali ia membuang tiap lembaran kertasnya ke lantai dan menulis ulang semuanya.
Aku tidak melakukan banyak hal selama di rumah. Aku lebih sering duduk lama di depan akuarium dengan dua ikan milik Bapak.
Arum mengambil kertas tersebut dan ia baca dengan suara pelan. Namun, tulisannya seperti tidak menarik. Ia sobek lagi kertas itu dan dibuang begitu saja. Sudah hampir pukul empat sore dan ia masih duduk di depan meja kamarnya seraya memikirkan apa yang hendak ia tulis. Namun, buntu, tidak ada pencerahan sama sekali. Bagaimana ini? pikir Arum. Ia tidak ingin membuat orang di seberang sana kecewa dengan balasan suratnya yang tidak layak.
Apa yang harus aku ceritakan? tanya Arum pada dirinya sendiri. Ia lama mengamati hamburan kertas di lantai yang berserakan. Barangkali aku tidak perlu membalasnya lagi, pikir Arum. Namun, tidak bisa, ia merasa harus membalasnya. Orang ini pasti telah meluangkan waktu lebih untuk menuliskan kata-kata dalam pikirannya, memasukkannya ke dalam surat berwarna putih ini kemudian dengan sembunyi-sembunyi menyelipkan diantara belanjaan kain Bapak. Arum yakin orang ini juga melakukan hal yang sama untuknya. Ia pasti juga harus berhati-hati dan diam-diam agar tidak ketahuan sama denganku, pikir Arum. Maka ia memutuskan untuk membalas, meskipun balasan apa yang layak masih ia pikirkan lama.
Tiba-tiba terdengar suara Bapak dari luar kamar, "Arum, makan dulu, ini sudah hampir gelap." Arum mengamati jam dinding dan memang sudah malam. Tidak terasa sejak tadi siang ia tidak keluar sama sekali dari kamar. Bapak tidak berani untuk mengganggunya. Arum segera keluar kamar dan Bapak sudah ada di depan meja makan
Mereka makan seperti biasanya, hening tanpa ada percakapan sama sekali. Ketika melihat Arum keluar kamar Bapak melihat berbagai uwelan kertas terlihat di lantai kamar Arum. Bapak hendak mengetahui lebih jelas lagi, namun Arum langsung menutup pintu. Bapak memasak menu serupa untuk Arum. Namun, ada hal yang tidak seperti biasanya terjadi. Arum mengambil salah satu tempe goreng milik Bapak. Bapak terkejut bukan main namun berusaha menahan perasaannya.
Apa yang terjadi dengannya? pikir Bapak. Baru kali ini Bapak melihat Arum makan dengan menu lain yang memiliki rasa. Sejak terakhir kali Bapak salah meletakan sayur di piringnya, Bapak benar-benar merasa sungkan jika melakukan kesalahan fatal lagi. Namun, Bapak diam saja. Ia senang dalam diam dan dengan hati-hati mendekatkan tempe goreng yang ada diatas piring lebih dekat dengan piring Arum. Arum mengambil lagi tempe tersebut untuk kedua kalinya. Bapak berusaha mencuri pandangan ingin melihat ekspresi wajah Arum. Namun, ia merasa tidak enak. Berkali-kali ia usap keningnya untuk menenangkan diri, namun sangatlah sulit.
Selesai makan Arum meneguk air putih dan berucap, "Apakah ada teh hangat?" Bapak terdiam lama menatapnya. Arum dibuat bingung dengan kebingungan Bapak sendiri. "Apakah ada teh hangat di dapur?" Arum mengulang pertanyaannya.
"Tidak ada, tapi Bapak bisa buatkan," jawab Bapak sedikit gelagapan dan canggung.
"Tidak usah, Bapak selesaikan saja makannya, Arum bisa buat sendiri," ujar Arum yang langsung beranjak ke dapur.
Bapak terdiam menahan keterkejutannya dengan perangai Arum barusan. Apakah ia hendak membuat secangkir teh hangat? pikir Bapak. Ini tidak biasa. Perubahan sikap ini begitu mengejutkan Bapak yang hanya mampu memperhatikannya dari meja makan ketika Arum berada di dapur. Sepertinya ia cukup bisa untuk membuat secangkir teh bagi dirinya sendiri. Namun, Bapak masih termenung lama dan tidak berniat menghabiskan makan malamnya lagi. Ia berusaha memperhatikan Arum dari kejauhan, melihatnya apakah ia baik-baik saja di dapur. Selesai membuat teh, Arum langsung kembali masuk kamar. Tidak lupa Arum mengucapkan selamat malam pada Bapak, ia akan tidur lebih cepat.
Bapak membereskan sisa makanan dan mencuci piring. Pikirannya melintas hal lain dan kalut di dalamnya. Perubahan apa ini? pikir Bapak. Dan tiba-tiba matanya berair dan mengalir air mata begitu saja. Bapak terkejut mengapa ia menangis. Ia usap air mata tersebut dan kembali untuk mencuci piring. Namun, tidak bisa. Air matanya terus keluar dan semakin lama semakin deras sulit untuk berhenti. Kali pertamanya Arum menyapa dengan mengucapkan selamat malam. Kali pertamanya Bapak merasa diperhatikan setelah sepuluh tahun diabaikan.
***
"Stok gorden di toko mulai tipis, Pak. Mamak minta dibuatkan lagi, bagaimana?" tanya Pak Yono.
"Bisa, namun sedikit butuh waktu lebih lama," ujar Bapak sambil memilih kain yang hendak ia beli. "Saya mau ambil kain brokat putih ini, sekalian sama jarum pentul dua picis. Banyak sekali jarum yang hilang di meja jahit," ucap bapak.
"Sebentar dulu, Pak, dijawab dulu bagaimana bisa tidak? Mak Ratih yang minta. Nah, itu dia Mak Ratih!"
"Bagaimana, Yon?" tanya Mak Ratih pada Pak Yono.
"Ini silahkan bicara sendiri Mak," ujar Pak Yono yang dari tadi kurang mendapat perhatian Bapak yang sibuk memilih kain.
"Saya bisa tapi butuh waktu lebih lama, Mak. Ada banyak pesanan pelanggan yang belum jadi."
"Rezeki jangan ditolak," ujar Mak Ratih dengan penuh penekanan.
Bapak terdiam mendengarnya. Apa Mak Ratih tahu soal kesulitan dalam atap rumahnya atau ia hanya menebak saja.
"Ini sengaja saya tawarkan ke sampeyan dulu. Tapi kalau semisal ndak mau yang ndak papa, bisa saya tawarkan ke orang lain," ujar Mak Ratih sambil menghitung uang.
Bapak semakin berpikir lama. Memang ia butuh tambahan uang untuk menambal keperluan rumah. Uang dari penjualan bunga Arum tidak bisa menutup lubang hutang lainnya.
"Pie? Nek sampeyan bisa ambil saja. Nanti saya yang kongkalikong soal tenggat waktunya ke pelanggan."
"Ya sudah, Mak, saya ambil. Tapi saya minta tolong jangan terlalu mepet waktunya. Saya kesulitan bagi waktunya."
"Ok, ini saya kirim pesan ke orangnya dulu. Bagaimana dengan Arum, sehat?"
Bapak diam cukup lama dan langsung menjawab, "Sehat. Alhamdulilah semakin lama semakin sehat. Kemarin saya beli kain flanel untuk dia dan sekarang saya beli lagi."
"Oh ya bagus. Arum bisa jahit yang lain, lumayan buat tambah-tambah pemasukkan. Kapan-kapan kalau senggang ajak Arum kemari. Nanti saya tunjukkan berbagai macam kain ndak cuma kain flanel."
Bapak tersenyum mendengarnya, "Semoga saya bisa segera membawanya keluar rumah ya, Mak. Itu harapan saya dari dulu."
Mak Ratih yang dari tadi sibuk menghitung uang terdiam sejenak. Namun, ia menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya, ia tidak ingin Bapak merasa tidak enak.