Bab 13 Perasaan Mak Ratih
Bab 13 Perasaan Mak Ratih
Bapak berusaha mengatur nada suaranya agar tidak terlalu kentara bahwa ia menyembunyikan perasaan sedihnya. "Saya sudah berusaha cukup lama, namun hasilnya tidak kunjung terlihat," ujar Bapak dengan nada merendah.
Mak Ratih masih diam dan menyimak arah pembicaraan Bapak. Luka lama itu kembali teringat ketika ia membayangkan Gayatri satu-satunya putri sama seperti putri yang dimiliki Bapak.
"Kita manusia memang hanya bisa berusaha, ndak ada cara lain," ujar Mak Ratih dengan nada suaranya yang medok khas orang Jawa. "Saya juga berusaha sampai sekarang dan saya ndak akan menyerah pada apapun bahkan saya mati pun saya ndak peduli. Saya akan seperti ini terus dan terus untuk anak saya." jawab Mak Ratih dengan nada suara bergetar.
Pasar kala itu mulai menyepi. Lapak samping kanan kiri mulai beberes dan memasukkan kembali dagangannya yang berada di luar. Lalu lalang orang yang sibuk memikul dagangan dipundak pun juga cukup membuat keadaan riuh. Namun, Mak Ratih sengaja meminggirkan diri agar dapat berbicara empat mata tidak jauh dari Lapak.
"Ra ono cara sek liyane. Memang sulit, terutama kita sebagai roang tua. Saya pribadi sebagai Ibu, istri yang ditinggal minggat suaminya ndak tahu kemana, dan sekarang harus menghadapi cobaan lain seperti sekarang. Tapi, ya sudah, saya terima semuanya. Yang jelas saya ndak akan menyerah pada Gayatri. Saya akan selalu ada dalam keadaan apapun untuk dia, karena sampeyan tahu," ujar Mak Ratih sambil menatap Bapak lekat, "Karena saya Ibunya! Saya Ibunya Gayatri. Saya tahu Gayatri adalah perempuan yang kuat. Ia hanya butuh waktu saja. Tidak peduli lima tahun sepuluh tahun atau berapa tahun pun, saya akan tetap ada untuknya.
Sampeyan juga harus seperti itu. Sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar, namun sekali sampeyan menyerah pada keadaan Arum, maka sampeyan bakal kehilangan Arum selama-lamanya. Ia tidak akan kembali lagi, bahkan ia tidak akan jadi anakmu lagi. Maka seberat apapun cobaan hidup, kudu ikhlas lan legowo, kui kuncine, ora ono meneh." Mak Ratih berucap demikian di samping Bapak dengan suara bergetar menahan tangis. Bapak dapat merasakan jiwa Mak Ratih yang begitu rapuh dan tua. Jiwa seorang Ibu yang benar-benar terluka ketika mengatahui kenyataan yang terjadi pada putrinya.
"Ibu mana yang terima anaknya diperlakukan seperti itu? Tidak ada!" ujar Mak Ratih lantang. Beberapa buruhnya mendengar dengan jelas namun berpura-pura tidak tahu. Mereka sudah tahu jika Mak Ratih akan bereaksi dengan penuh emosional jika sudah membahas soal Gayatri terutama pada orang yang ia kenal yaitu Bapak. Mak Ratih merasakan perasaan senasib dengan Bapak. Perasaan menjadi orang tua gagal yang tidak mampu melindungi anaknya. Perasaan itulah yang sampai sekarang terus membuat Mak Ratih sulit untuk hidup tenang dan bernapas lega. Ada gemuruh penuh sesak dalam hatinya sampai saat ini dan tidak akan kunjung membaik jika ia belum melihat senyum yang tersungging pada wajah Gayatri.
"Kalau Arum minta apa turuti saja, kita ndak bisa apa-apa solanya. Kita mau berbaik hati pun juga tidak tahu harus bagaimana. Jadi, aku sendiri merasa bersykur sekali pas sampeyan bilang Arum minta kain flanel karena dia mau buat boneka dan gantungan kunci. Saya langsung bilang sama Pak Yono buat carikan kain flanel berbagai macam warna jangan hanya yang standar saja. Itu perubahan yang sangat baik. Jangan sampai sampeyan rusak suasana hatinya. Kalau bisa jaga terus supaya ia punya ketertarikan lain."
"Kemarin saya lihat kamarnya penuh dengan gumpalan kertas yang dibuang di lantai. Sepertinya Arum sedang ingin menulis sesuatu tapi sedang bingung saja."
"Wah, bagus itu!"
"Dan Arum membuat teh sendiri di dapur."
Mak Ratih menatap lama Bapak dengan pandangan terkejut. Ia manggut-manggut sebentar, Bapak memperhatikannya terus.
"Bagus itu, Alhamdulilah nek ngono," ujar Mak Ratih dengan mata berkaca-kaca. "Semoga keadaannya terus membaik seperti ini begitu pula dengan Gayatri. Aku kangen dia ada di pasar ikut bantu buruh yang lainnya. Wong Gayatri itu perempuan yang pandai dan menarik. Siapa yang tidak kenal Gayatri di pasar ini. Coba tanya saja semua lapak, pasti mereka kenal," ujar Mak Ratih dengan mengusap air matanya yang menetes sekali.
"Bagaimana dengan Gayatri sendiri, Mak? tanya Bapak hati-hati.
"Masih sama. Masih sama ketika terakhir kali ia ditemukan di bawah tangga penuh dengan sampah itu. Aku bersumpah jika aku tahu siapa orangnya sampeyan tahu saya bakal ngapain 'kan?" ujar Mak Ratih dengan amarah yang dapat dirasakan Bapak. Wajahnya begitu memerah dengan air mata yang terus mengalir. Mak Ratih menarik napas dalam untuk mengatur emosinya agar lebih tenang.
"Saya ndak akan melupakan dan memaafkan orang ini. Entah satu atau dua atau lebih saya ndak tahu. Yang jelas sampai saya masuk liang lahat, saya akan teus mendendam pada mereka. Saya sudah tidak peduli apakah saya berdosa atau tidak. Agama mengajarkan umat manusia untuk tidak saling mendendam sesama manusia. Namun, saya ndak bisa. Dendam saya benar-benar dendam kesumat dan baru akan lega ketika orang itu mendapat balasan yang sama. Kalau pun mereka tidak mendapat balasan di dunia, saya yakin ada balasan setimpal nanti di akhirat. Dan akan saya bawa dendam ini sampai ke akhirat!
Gayatri itu perempuan yang baik sama seperti Arum. Ndak suka neko-neko dan selalu menurut sama orang tua. Saya tidak pernah menemukan Gayatri main dengan laki-laki karena ia tahu harus membantu Ibunya di Pasar. Remaja pada umumnya lebih suka main dengan teman-temannya, nongkrong sana nongkring sini, tapi Gayatri ndak pernah. Justru dia nongkrongan sama buruh-buruh di sini," ujar Mak Ratih seraya menunjuk buruh-buruhnya yang sedang memasukkan berbagai gulungan kain ke toko.
"Saya minta maaf, Mak. Mak Ratih harus menceritakan ini semua. Saya tidak bermaksud."
"Halah, tidak apa. Kita ini sama, jadi saya merasa senang jika bisa bercerita. Dengan siapa saya bisa cerita seperti ini. Jika saya cerita orang justru mencemooh saya dengan mengatakan saya tidak dapat mendidik anak perempuan dengan baik. Makanya anak perempuan saya sampai diperkosa laki-laki. Mereka bilang saya tidak bisa mengajari Gayatri untuk jadi perempuan yang baik, yang di rumah, yang tidak pernah keluar malam, yang tidak bekerja, yang bisa masak, nyapu, ngepel. Sekalian saja jadi pembantu seumur hidup!" ujar Mak Ratih kesal. Saya ndak mau anak saya jadi tanggungan orang lain bahkan suaminya sendiri. Ia harus mandiri baik dari diri sendiri maupun fiannasial. Saya ndak mau ia tergantung dengan orang lain." ujar Mak Ratih.